Jumat, 06 Agustus 2010

Nenek Penjual Bunga Cempaka




Hari ini, kemarin dan hari-hari sebelumnya, kulihat orang tua itu menyapu halaman masjid, mengumpulkan helai demi helai daun-daun yang jatuh berserakan. Kata orang-orang, pekerjaan itu sudah dilakukannya sejak ia masih muda. Pekerjaan nenek itu adalah penjual bunga Cempaka.

Si Nenek itu harus berjalan jauh ke pasar kota untuk menjual bunga Cempaka. Itu kerja rutin hariannya. Selepas berjualan, beliau singgah ke masjid di kota untuk sholat zhuhur. Selepas berdoa dan wirid sekadarnya, nenek itu membersihkan dedaun yang berserakan di halaman masjid. Itu dilakukannya tiap hari berjualan bunga Cempaka. Terik matahari zhuhur tidak pernah dirasakannya. Setelah halaman masjid bersih dari dedaun, barulah beliau pulang ke desanya.

Bagi jama’ah dan pengurus masjid, mereka terus menyaksikan nenek itu melakukan pekerjaan tersebut. Terkadang ada rasa iba melihatnya. Namun, tidak ada yang mau mencegahnya. Mereka membiarkannya melakukan. Toh, pekerjaan baik, mengapa harus dilarang dan dicegah.

Namun, suatu hari pengurus masjid memutuskan untuk membersihkan dedaun yang berserakan di halaman masjid sebelum nenek itu datang. Mereka ingin membantu si nenek agar tidak perlu bersusah payah membersihkan halaman masjid.

Niat baik itu ternyata telah membuat nenek tersebut menangis. Ia bersedih. Bahkan beliau bermohon supaya diberi kesempatan membersihkan halaman masjid seperti biasa. Karena si nenek bermohon dengan menangis, akhirnya, pihak masjid membiarkan situasi berjalan seperti biasa: si nenek tetap dapat membersihkan halaman masjid.

"Saya ini perempuan bodoh, nak. Saya tahu amal saya yang kecil ini mungkin juga tidak benar dijalankan. Saya tidak mungkin selamat pada hari kiamat tanpa syafaat Rasulullah sollallahu `alaihi wasallam. Tiap kali saya mengambil selembar daun, saya ucapkan satu shalawat kepada Rasulullah sollallahu `alaihi wasallam. Saya berharap bila mati nanti, saya ingin Rasulullah menjemput saya. Jadi, biarlah semua dedaunan ini bersaksi bahwa saya telah membacakan shalawat untuk beliau".

Itulah jawaban nenek desa itu ketika ditanya.. Sebuah kebiasaan yang telah beliau lakukan sejak muda dulu, dan itu berlangsung sampai usia tua. Nenek tua bisa jadi tidak faham bahwa Allah SWT telah berfirman:

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيما

"Sesungguhnya Allah dan Malaikat-Nya bershalawat kepada Nabi. Wahai orang-orang yang beriman bershalawatsalamlah kepadanya" (QS Al-Ahzab 33: 56).

Juga nenek tua itu juga bisa jadi tidak tahu bahwa Rasulullah Saw pernah bersabda:

"Tidak seorang pun yang memberi salam kepadaku kecuali Allah akan menyampaikan kepada ruhku sehingga aku bisa mennjawab salam itu” (HR Abu Dawud dari Abu Hurairah. Ada di kitab Imam an-Nawawi, dan sanadnya shahih).

Kisah ini saya dengar dari Kiai Madura, D. Zawawi Imran, membuat bulu kuduk saya merinding. Perempuan tua dari kampung itu bukan saja telah mengungkapkan cintanya kepada Rasul dalam bentuk yang tulus, tetapi ia juga menunjukkan kerendahan hati, kehinaan diri, dan keterbatasan amal di hadapan Alloh SWT. Lebih dari itu, ia juga memiliki kesadaran spiritual yang luhur: Ia tidak selalu mengandalkan amalnya. Ia menggantungkan pada rahmat Alloh. Siapa lagi yang dapat merangkum rahmat semua alam selain Rasululloh Saw?

Sebuah bentuk kecintaan beliau kepada Rasulullah Saw. Sebuah harapan yang sederhana pula, disandarkan pada pekerjaan menyapu halaman masjid itu, mengumpulkan helai demia helai dedaunan yang berserakan. Kesederhanaan laku orang desa, yang tidak pandai berteori, tetapi lebih faham pada aksi nyata nan sederhana. Tidak muluk-muluk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar