Jumat, 06 Agustus 2010

Ndut Fuad di Pesantren

Tanggal 18 Juli, sore hari, Ndut Fuad masuk asramanya. Kami telah menghantarkannya sampai ke kamar asramanya. Walau dengan perasaan tak menentu, aku dan ibunya, itu anak akhirnya kami tinggalkan. Kalau ditanya perasaanku, jawabannya: tidak karuan, campur aduk, yang terasa tapi tak terkatakan. Tidak bisa didefinsikan perasaan yang demikian. Begitu pula istriku. Lagi-lagi, air matanya mengalir. Sedih, karena selama ini Ndut Fuad adalah kesayangannya.

"Mana Mama", tanyanya ketika pulang sekolah, ketika ia masih belajar di Sekolah Dasar. Duh, walau aku di depan matanya, ia tak pernah bertanya: Mana papa? Paling banter, ada kebiasaannya: cium tangan. Lantas ia mencari mamanya di seputar rumah. Untuk keperluan bercanda, sesekali ibunya ngumpet di belakang lemari pakaian. Lalu, daarrr, dia mengagetkan Ndut Fuad. Terkekeh-kekehlah mereka berdua. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala.

Sekarang Ndut Fuad harus direlakan untuk memiliki dunianya sendiri di Pesantren. Dunia yang sama sekali asing baginya, bagiku (walau aku pernah jadi santri kalong di Pesantren Ulil Albaab di Universitas Ibnu Khaldun Bogor bertahun-tahun yang lalu) dan bagi ibunya. Malamnya, tidak kurang ada 132 SMS "berbalas pantun" antara ibu dengan anak. Itu berlangsung sampai tengah malam, dan berhenti setelah aku marah padanya dan menyuruhnya tidur.

Pagi, siang, sore, dan malampun tiba, SMS dan telefon, terus saling sahut di antara keduanya. Aku masih membiarkannya. Ibunya "belum rela" hatinya, sementara sang anak sedang berusaha beradaptasi. Aku fikir, segalanya harus berproses. Ndut Fuad perlu waktu untuk berproses di tempat barunya, sementara ibunya berproses tidak menemukan anaknya lagi setiap harinya. Ahad, senin, sampai rabu, ada saja barang yang diantar ibunya (tentu ditemani olehku). Sampai-sampai temanku yang yang jadi kepala sekolah SMAIT di pesantren itu menyindirku: "Ditengok terus?", katanya, tetapi mukanya tidak menghadap ke arahku, lantas dia ngeloyor begitu saja. Diamput, kataku dalam hati. Aku misuh-misuh, tetapi hanya bisa senyum-senyum ketika temanku itu berlalu di depanku.

Satu pekan berlalu. Jum'at, Ndut Fuad telefon ke ibunya bahwa ahad ini ia dibolehkan pulang paginya dan harus masuk sebelum jam 17.00. Hari itu dia pesan agar dimasakkan Gurame rica-rica dan sayur cah kangkung, dua jenis masakan kesukaannya. Ketika adiknya ditanya mau dimasakkan apa; dia hanya bilang: "Ikut abang saja".

Dari Jum'at sampai ahad pagi, istriku mempersiapkan segalanya, termasuk memasakkannya pada siang ahad. Jam 09.30 aku dikejutkan oleh kedatangan Ndut Fuad. Dia dijemput oleh Pak De Agus yang sekalian menjemput anaknya juga di sekolah yang sama. Rumah jadi meriah. Rumahku juga diramaikan oleh keluarga Om Iyul yang hadir bersama istri dan anak satu-satunya (Maulida). Maulida memang bersahabat baik denga kedua anakku itu, Ndut Fuad dan adiknya. Jadilah makan siang berlangsung heboh. Gurame rica-rica laku keras. Begitu juga dengan sayur cah kangkung. Sementara gulai ikan asem pedes belum laku, belum mau disentuh. Baru aku saja yang mau memakannya.

Usai makan, Ndut Fuad dan adiknnya bercengkerama di kamarnya. Aku tidak tahu apa yang mereka perbincangkan. Sesekali hanya terdengar cekikikan mereka berdua. Sepekan tidak berjumpa intens, itu bagaikan sudah berbulan-bulan tidak bertemu.

Waktu beranjak terus. Jam 13.00, 14.00, 15.00, dan jam 16.00. Tiba waktunya Ndut Fuad kembali ke asrama pesantren. Hari itu Ndut Fuad diantar oleh Pak De Agus; aku, istriku dan Fauzan (adik Ndut Fuad); juga keluarga Om Iyul. Karena mobil Pak De Agus tidak cukup, keluargaku naik mobilnya Om Iyul. Sore itu, Ndut Fuad kembali ke asrama pesantren. Tetapi dari sore itu sampai malam hari, SMS dan telefon terus berseliweran di antara anak beranak itu: ibunya dan Ndut Fuad.

Sepekan berikutnya berlalu, ibunya mulai terheran-heran. Ia mulai merasakan bahwa anaknya mulai dapat beradaptasi. SMS dan telefon genggamnya mulai berkurang lalu lalang antara jari-jari dan telinganya. Aku hanya bersukur bahwa Ndut Fuad sudah menemukan "dunia"nya. Aku hanya berharap Ndut Fuad sudah menemukan irama hidupnya, menemukan lingkungan barunya, telah punya teman banyak dan bisa betah di dalamnya. Ada harapan yang berkelebat di relung-relung hatiku: Ndut Fuad bisa mengenal ilmu dunia dan ilmu akhirat dan menjadi bekal buat kehidupannya kelak.

"Ya Allah kami. Berikan kemudahan baginya untuk menuntut ilmu. Bukakan pundi-pundi ilmu baginya. Berikan kefahaman baginya. Ya Allah kami. Dialah permata hati kami. Karenanya, kasihilah dia dengan kasih sayangMu yang tiada berbatas".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar