Jumat, 06 Agustus 2010

Ndut Fuad Jadi Santri




Sore, sekitar jam 14.30, kami sekeluarga mengantarkan si Ndut Fuad, anakku, jadi santri di SMPIT Insantama. Sekolah itu masih berada di sekitar Bogor juga, kota domisili kami sekeluarga. Kami boyongan ke sekolah tersebut: aku, istriku (yang sembunyi-sembunyi menangisi “kepergian” anaknya itu. Baru kali ini ia melepaskan anaknya dan tidak bakalan dapat melihatnya beberapa waktu lamanya), ada adiknya Ndut (Fauzan), Tantenya, om Bambang (yang selamanya ini setia mengantarkan Ndut sekolah di SD Polisi 5), Pak De Agus (yang kita boleh numpang mobilnya. Kebetulan beliau mengantarkan anaknya jadi santriwati di sekolah yang sama, tetapi di Sekolah Menengah Atas), Bu De Sofie, Nisaa’ (Nama panjangnya Sobrina Fitriyah Chairunniss’. Ini yang jadi santriwati itu), dan dua adiknya (Nabila dan Farhan).

Kusebut namanya Ndut bukan bermaksud memberi nama “jelek” kapadanya. Ia tidak lebih sebutan sayang kami, aku dan istriku, kepadanya. Lagi pula tubuhnya memang ndut yang menggemaskan. Tapi kini, masya Allah, tubuhnya semakin menjulang tinggi, yang telah melewati tinggi tubuhku. Alhamdulillah, ia tumbuh dan besar dengan kasih sayang kami.

Mobil Pak De Agus luar biasanya penuhnya. Penuh orangnya. Penuh barang-barang bawaan kedua santriwan-santriwati itu. Bahkan dalam perjalanan ke sekolah Insantama, Pak De Agus harus menambahkan angin pada ban-ban mobilnya..

Di perjalanan yang singkat (sekitar 20 menit), mobil dipenuhi canda. Tetapi ibunya Ndut Fuad kulihat tidak dapat menyembunyikan perasaan galaunya, akan berpisah dengan anaknya. Dia sayang pada Ndut. Bahkan dalam sayangnya itu, sering dilimpahkan dalam bentuk perasaan gemas yang tak tertahankan: kulit putranya itu dicubit sayang,, direngkuhnya, lalu kemudian diciuminya.

Ini hari ahad, tanggal 18 Juli 2010. Mobil melaju tanpa hambatan. Padahal biasanya hari ahad begini, Bogor selalu dirundung persoalan macet jalanan. Hujan turun rintik-rintik membasahi, permukaan kaca depan mobil yang kemudian disapu oleh wiper mobil yang bergerak ke kiri dan kanan.

Aku duduk di depan, mendampingi Pak De Agus, sementara istriku duduk berdampingan dengan anaknya itu, seakan tidak ingin melepaskannya. Tangannya melingkar ke bahu Ndut Fuad. Sesekali diciuminya. Ia memang sayang anak-anaknya, yang kadarnya tak terkatakan. Itu yang terasakan olehku.

“Aku belum bisa sepenuhnya tega melepaskannya untuk jadi santri, berbulan-bulan tanpa dapat melihat anakku itu”, begitu yang terkatakan dari mulutnya ketika kuputuskan anakku itu kusekolahkan di sana. Keputusanku itu kulakukan agar anakku punya bekal ilmu agama Islam. Syukur-syukur ia dapat menjadi pemimpin masa depan, seperti tekad yang dicanangkan oleh pengurus Yayasan sekolah tersebut.

“Harus direlakan hatimu, agar anakmu itu legowo hatinya dalam menuntut ilmu”, itu yang kukatakan kepada istriku.

Hari-hari berikutnya, apalagi mendekati hari H Ndut Fuad masuk sekolah, acap kulihat air mata istriku mengalir begitu saja. Dia sesungguhnya rela anaknya itu menjadi santri. Namun rasa sedih seorang ibu mengalir begitu saja.

“Anakmu itu masih berada di sekitar kota Bogor. Bahkan setiap saat bisa dijenguk kalau kita kangen”, kataku menenangkan perasaannya.

Pak De Agus juga mengingatkan agar perasaan sedih jangan diteruskan. “Kalau kita rela, maka anak akan mudah menerima pelajaran”, begitu nasehatnya. Aku maklum, beliau memang punya pengalaman bersekolah di Pondok Pesantren Modern Gontor. “Saya dijenguk keluarga paling setengah tahun sekali”, begitu katanya. “Kalau sering-sering dijenguk, nanti anak itu jadi tidak betah di sana”, kata Pak De Agus menambahkan.

Kami tiba tepat waktu, jam 14.30 Wib, waktu yang disyaratkan oleh fihak sekolah. Suasana sangat ramai. Area parkiran sudah dipenuhi mobil yang mengantarkan santriwan-santriwati oleh keluarganya.

Ibunya masuk ke ruangan registrasi, mengambil form isian akad serah terima antara fihak sekolah dengan orang tua murid. Disertakan juga dengan form isian barang bawaan santri.

Tak berapa lama kemudian, muncul Pak De Jabbar dan Bu De Endah. Anaknya juga disekolahkan di tempat yang sama dengan Ndut Fuad. Hanya saja Ndut Fuad di SMPIT, maka Raihan (anaknya itu) berada di level SMAIT.

Waktu terus bergulir. Menjelang masuk waktu shalat Ashar, kami digiring memasuki aula SDIT untuk melaksanakan shalat. Usai shalat, baru dilaksanakan acara serah terima santri. Beberapa dari anak-anak santri itu diambil untuk mewakili upacara secara simbolis. Untuk santriwan, oleh ketua yayasan sekolah mereka dikalungkan sorban, sementara wakil dari santriwati diserahkan buku oleh ketua asrama santriwati, ibu Fathimah.

“Itu murid saya. Dulu saya yang mengajarinya bahasa Arab”, tiba-tiba saja Pak De Agus neyeletuk. Dulu, beliau pernah mengajari Bahasa Arab kepada beberapa mahasiswa Institut Pertanian Bogor. Salah satu muridnya adalah ibu Fathimah itu.

Selesai acara serah terima santri, kami dipersilahkan ke asrama santri, mengantarkan anak-anaknya. Satu koper besar pakaian Ndut Fuad harus digotong, naik ke lantai dua gedung asrama. Dengan susah payah, koper itu tiba juga di sana, itupun Ndut Fuad ikut membantu menggotong.

Dua bulan sebelum didaftarkan di sekoiah itu, aku bersama istri meninjau sekoiah tersebut. Kebetulan dari keterangan kepala sekolah SDIT, mereka baru punya satu angkatan yang itu juga baru berjalan, yaitu SDIT, SMPIT, dan tahun ini baru ada SMAIT.

Itu memang sekolah baru, digagas sekitar 10 tahun yang lalu oleh teman-teman. Munculnya sekolah tersebut bermula dari keprihatinan kami atas ketidakjelasan maksud dan tujuan dunia pendidikan Indonesia. Beberapa teman-teman lalu berkumpul dan berniat membuat sekolah, minimal sekolah tersebut dapat menampung anak-anak kami. Syukur-syukur dapat berjalan baik. Kalaupun berhenti di tengah jalan, ya, kembalikan saja anak-anak itu ke sekolah terdekat.

Begitu idenya. Ternyata Alhamdulillah mampu bertahan dan berjalan sampai sekarang. Angkatan pertama SMAIT yang akan berlangsungpun, gedung dan asramanya masih dalam taraf penyelesaian, kata Ir. Ismail Yusanto. MSc, ketua yayasan (juga teman) yang lulusan UGM dari Fakultas Teknik jurusan Geodesi (ternyata mampu menangani dunia pendidikan).

Itu sebabnya ketika masuk ke dalam asramanya, kondisi masih belum dilengkapi. Ada tempat tidur tingkat dua, namun baru sebagian yang telah dirakit. Itupun belum satupun tempat tidur itu yang telah digelari kasur (busa). Jadi kasur busa itu sementara tergeletak di lantai, berjejer sekian banyak. Ini pula yang membuat istriku menitikkan air mata. Sedih hatinya membayangkan anaknya tidur dilantai dengan alas kasur busa itu.

“Nanti kita belikan kasur Palembang (kasur tipis yang biasanya dipakai untuk leyeh-leyeh di depan televisi)”, begitu kataku kepada istri agar hatinya tidak semakin gundah. “Nanti kita buatkan dua sarungnya sekaligus ke om Teguh. Om Teguh adalah penjahit kenalanku yang sangat baik hatinya. Terkadang sesekali kalau aku menjahitkan baju, ia tidak mau dibayar walau aku paksa untuk menerima uang jerih payahnya.

“Jangan”, katanya. “Aku ini mencari dulur di rantau orang. Saudara bagiku, bang, lebih penting daripada uang beberapa puluh ribu itu”, katanya. Ia telah menganggap aku dan istriku sebagai saudaranya. Sesekali, di antara kesibukannya, ia sempatkan datang ke rumah. Selalu ada saja buah tangan yang dibawanya. Bahkan, sebelum pulang, Ndut dan adiknya selalu mendapat “salam tempel”. Aku suka melarangnya, tetapi ia tetap bersikeras ingin memberi. “Aku jangan dilarang untuk yang satu ini. Mereka itu ponakanku”, begitu katanya. Sebuah persaudaraan yang indah dan mengharukan. Aku juga masih ingat bagaimana ia minta pendapat ketika akan membeli rumah dengan cara kredit. Alhamdulillah, rumah itu kini sudah ditempatinya.

Malam, jam 20.00 Wib. Kulihat istriku SMS-an dengan anaknya. “Ndut sudah makan malam. Dia makan pakai sayur sop dan ayam goring. Jam 21.00 waktu kami beranjak keperaduan, kulihat ia masih SMS-an.

“Sudah, ayo tidur”, kataku. Waktu beranjak ke 22.00 Wib

“Belum bisa tidur”, katanya. Dia tersenyum. Aku tahu ia masih menyimpan rasa sedih itu. Jam 01.00 Wib aku terbangun. Aku berusaha untuk memejamkan mata. Tetapi susah sangat untuk tertidur kembali.

Aku ke kamar mandi untuk buang air kecil, lalu berwudhuk. Di ruangan tamu aku gelarkan sajadah untuk sholat malam. Aku ingat ingat perkataan Ustadz Muhib, ketua asrama santriwan:

“Anak-anak ibu dan bapak sudah kami terima di sini untuk dididik. Namun kami juga ingin agar bapak dan ibu juga ikut mendoakan mereka”.

Dalam sujud-sujudku, aku berdoa agar Ndut Fuad mampu melewati hari-harinya dengan mudah, riang, dan gampang menangkap semua pelajaran yang ia terima.

“Ya Allah kami, jadikanlah anak itu sebagai permata kami, yang mampu menyejukkan hingga ke relung-relung terdalam pada rongga-rongga hati kami”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar