Jumat, 06 Agustus 2010

Lir Ilir

(Tembang Sunan Kalijaga)


Lir-ilir, Lir Ilir
Tandure wus sumilir
Tak ijo royo-royo
Tak sengguh temanten anyar

Cah Angon, Cah Angon
Penekno Blimbing Kuwi
Lunyu-lunyu penekno
Kanggo masuh Dodotiro

Dodotiro Dodotiro
Kumitir Bedah ing pinggir
Dondomono, Jlumatono
Kanggo Sebo Mengko sore
Mumpung Padhang Rembulane
Mumpung Jembar Kalangane
Yo surako surak Iyo!!!


Pengantar

Tembang di atas barangkali sudah akrab di telinga kita, apalagi bagi orang Jawa yang berada di wilayah penyebaran agama Islam Wali Songo. Ada yang mencoba menguraikan makna tembang di atas, baik dalam konteks hubungannya dengan sejarah, syariat Islam, sampai kepada hakikat yang terkandung di dalamnya.

Tulisan singkat ini mencoba menguraikan makna tembang tersebut. Jika ada kekurangan atau kesalahan adalah karena keterbatasan penulis dalam pemahaman, semoga Alloh SWT memaafkan. Jika ada kebaikan di dalamnya, hal itu semata-mata datang dari Alloh SWT


Terjemahan Bebas Tembang dan Makna yang Terkandung

1. Lir-ilir, Lir-ilir
(Bangunlah, bangunlah)
Tandure wus sumilir
(Tanaman sudah bersemi)
Tak ijo royo-royo
(Demikian menghijau)
Tak sengguh temanten anyar
(Bagaikan pengantin baru)

Makna:

Sebagai umat Islam kita diminta bangun. Bangun dari keterpurukannya, bangun dari sifat malas untuk lebih mempertebal keimanan yang telah ditanamkan Alloh SWT dalam diri kita, yang dalam hal ini dilambangkan dengan tanaman yang mulai bersemi dan demikian menghijau. Terserah kepada kita, mau tetap tidur dan membiarkan tanaman iman kita mati, atau ,bangun dan berjuang untuk menumbuhkan tanaman tersebut hingga tumbuh besar dan mendapatkan kebahagiaan seperti bahagianya pengantin baru.

Tembang ini diawalii dengan ilir-ilir yang artinya bangun-bangun atau bisa diartikan hiduplah (karena sejatinya tidur itu mati). Bisa juga diartikan sebagai sadarlah. Tetapi yang perlu dikaji adalah apa yang perlu untuk dibangunkan? Apa yang perlu dihidupkan? Hidupnya Apa? Ruh? Kesadaran? Pikiran? Terserah kita apa yang perlu dihidupkan. Jangan lupa, di sini ada unsur angin. Berarti cara menghidupkannya adalah dengan menggerakkan (kita fikirkan ini secara dinamis), gerak yang menghasilkan udara. adalah ajakan untuk berdzikir. Inilah usaha untuk menghidupkan sesuatu itu. Berdzikir, maka ada sesuatu yang dihidupkan.

Tandure wus sumilir, Tak ijo royo-royo tak senggo temanten anyar. Bait ini mengandung makna kalau sudah berdzikir maka di situ akan didapatkan manfaat yang mampu menghidupkan pohon yang hijau dan indah. Pohon adalah sesuatu yang memiliki banyak manfaat bagi kita.

Pengantin baru ada yang mengartikan sebagai Raja-Raja Jawa yang baru memeluk agama Islam. Demikian maraknya perkembangan masyarakat untuk masuk ke agama Islam, namun taraf penyerapan dan implementasinya masih level pemula, layaknya penganten baru dalam jenjang kehidupan pernikahannya.


2 Cah angon, cah angon
(Anak gembala, anak gembala)
Penekno Blimbing kuwi
(Panjatlah (pohon) belimbing itu)
Lunyu-lunyu penekno
(Biar licin dan susah tetaplah kau panjat)
Kanggo masuh dodotiro
(untuk membasuh pakaianmu)

Makna:

Cah angon cah angon penekno blimbing kuwi. Mengapa “Cah angon? “ Bukan “Pak Jendral”, “Pak Presiden” atau yang lain? Mengapa dipilih “Cah angon?” Cah angon adalah seorang yang mampu membawa makmumnya, seseorang yang mampu “menggembalakan” makmumnya di jalan yang benar. Sebutan anak gembala oleh Alloh SWT adalah perlambang “hati (nurani)” yang digembalakan. Bisakah kita menggembalakan hati kita dari dorongan hawa nafsu yang demikian kuatnya?

Anak gembala diminta memanjat pohon belimbing yang buahnya bersegi lima. Buah belimbing menggambarkan lima rukun Islam. Meski licin dan susah (memanjatnya), kita harus tetap memanjat pohon belimbing tersebut sekuat tenaga, tetap berusaha menjalankan Rukun Islam apapun halangan dan resikonya.

Lalu, kenapa “Blimbing?” Belimbing berwarna hijau (ciri khas Islam) dan memiliki 5 sisi. Ia merupakan isyarat dari agama Islam, yang dicerminkan dari 5 sisi buah belimbing yang menggambarkan rukun Islam. Inilah dasar dari agama Islam. Sedangkan “Penekno” adalah ajakan para wali kepada Raja-Raja Tanah Jawa untuk mengambil Islam dan dan mengajak masyarakat untuk mengikuti jejak para Raja itu dalam melaksanakan Islam.

Lunyu lunyu penekno kanggo masuh dodotiro. Walaupun dengan bersusah payah, walupun penuh rintangan, tetaplah diambil (buah belimbingnya) untuk membersihkan pakaian kita. Yang dimaksud pakaian adalah (pakaian) taqwa. Pakaian taqwa ini yang harus dibersihkan. Ini etos hidup Muslim. Untuk apa semua itu? Gunanya adalah untuk mencuci (membersihkan) pakaian kita, yaitu pakaian taqwa.


3. Dodotiro, dodotiro
(Pakaianmu, pakaianmu)
Kumitir bedah ing pinggir
(terkoyak-koyak dibagian samping)
Dondomono, Jlumatono
Jahitlah, Benahilah!!)
Kanggo sebo mengko sore
(untuk menghadap nanti sore)

Makna:

Dodotiro dodotiro, kumitir bedah ing pinggir. Pakaian taqwa harus kita bersihkan, yang jelek jelek kita singkirkan, kita tinggalkan, perbaiki, rajutlah hingga menjadi pakain yang indah. Bukankah ”sebaik-baik pakaian adalah pakaian taqwa?“ Pakaian taqwa sesekali bisa jadi terkoyak dan berlubang di sana sini. Kalau sudah begini, kita diminta untuk selalu memperbaiki dan membenahinya agar kita siap ketika dipanggil menghadap Alloh SWT.

Dondomono jlumatono kanggo sebo mengko sore. Pesan dari para Wali bahwa suatu ketika kamu akan mati dan akan menemui Sang Mahapencipta untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatanmu. Maka benahilah dan sempurnakanlah keislamanmu agar kamu selamat pada hari pertanggungjawaban kelak.


4. Mumpung padhang rembulane
(Mumpung bulan bersinar terang)
Mumpung jembar kalangane
(mumpung banyak waktu luang)
Yo surako surak iyo!!!
Bersoraklah dengan sorakan Iya!!!)

Makna:

Kita diharapkan melakukan hal-hal di atas (no 1-3) ketika kita masih sehat (dilambangkan dengan terangnya bulan) dan masih mempunyai banyak waktu luang. Jika ada yang mengingatkan maka jawablah dengan Iya!!!

Mumpung padhang rembulane, mumpung jembar kalangane. Para wali mengingatkan agar para penganut Islam melaksanakan hal tersebut ketika pintu hidayah masih terbuka lebar, ketika kesempatan itu masih ada di depan mata, ketika usia masih menempel pada hayat kita.

Yo surako surak hiyo. Sambutlah seruan ini dengan sorak sorai “mari kita terapkan syariat Islam” sebagai tanda kebahagiaan.


Penutup

Lir ilir adalah judul tembang di atas. Ia bukan sekedar tembang dolanan biasa, tapi tembang yang mengandung makna mendalam. Ia mengarahkan hakikat kehidupan dalam bentuk syair yang indah.

Carrol McLaughlin, seorang profesor harpa dari Arizona University terkagum kagum dengan tembang ini. Beliau sering memainkannya. Maya Hasan, seorang pemain Harpa dari Indonesia pernah mengatakan bahwa dia ingin mengerti filosofi dari lagu ini.

Para pemain Harpa seperti Maya Hasan (Indonesia), Carrol McLaughlin (Kanada), Hiroko Saito (Jepang), Kellie Marie Cousineau (Amerika Serikat), dan Lizary Rodrigues (Puerto Rico), mereka pernah menterjemahkan lagu ini untuk keperluan bermain dalam musik Jazz pada konser musik “Harp to Heart“.

Sunan Kalijaga, seperti Sunan-sunan lainnya dari Wali Songo, beliau suka berdakwah melalui seni. Lebih dari itu, tembang Sunan Kalijaga ini tidak lebih sebagai sebuah seruan kebaikan dari seorang pengemban dakwah. Ia sama saja dengan tembang-tembang lain yang diniatkan untuk menggugah mata hati manusia akan hakikat hidupnya.

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu” (QS Al-Anfal: 25).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar