Kamis, 14 Mei 2009

Ibunda KIta, Di Manakah Dia Sekarang?

(Buat Manusia yang Masih Memiliki dan Menyayangi Bundanya)



Ketika kita menatap sesosok tubuh itu, seperti mengajak kita menerawang jauh ke tepi kasih sayang, di lautan yang jauh tak berbatas. Merenung, saat sesosok tubuh membawa genderang besar, tambur susah payah. Di dalam sana, engkau sepak dinding perutnya. Ia tidak marah, dan memang tidak akan pernah. Ia bahkan tersenyum, karena engkau nakal. Mengapa?

Dan ketika ia mengejan, bergulat dengan maut, ia seperti pasrah. Tetapi ingatannya tetap tertuju kepadamu: tubuh kecil, merah, dan tidak berdaya. Ia seperti Ibunda Nabi Isa as., Bunda Maryam:

"Maka rasa sakit (ketika) akan melahirkan anak, memaksa ia bersandar pada pangkal pohon Tamar (Korma). Ia keluhkan: aduhai, lebih baik aku mati saja kalau begini keadaannya dan (lebih baik) menjadi barang yang tidak berarti, atau menjadi sesuatu yang dilupakan (orang)" (QS 19:23).

Lalu, engkau perlahan besarnya: berbaring, kemudian menelungkup, lalu duduk, dan terakhir engkau berjalan dan berlari. Cobalah engkau tanyakan perjalanan waktu itu. Engkau masih anak kemarin sore, kata sosok tubuh itu. Masih hangat tangannya oleh ompolmu itu, masih bau tangan kirinya ketika engkau terberak di celana.

Kuakkanlah aktifitasmu dalam rentang waktu itu. Lalu, longoklah di dalam sana. Pernahkah engkau dengar lengking tangis tubuh kecilmu yang terbalut popok dan bau ompol? Tidak, wahai insan. Tetapi tubuh itu bergegas bangun di malam buta, ketika engkau haus, ketika engkau lapar dan menangis, ketika engkau sakit, walau matanya masih tersisa kantuk. Mengapa?

Jangan engkau tanyakan. Dan engkau tidak usah bertanya.

Kini engkau telah besar dan berangsur dewasa. Di manakah sosok tua itu kini? Bungkukkah ia? Mengubankah kepalanya putih seluruh? Tetapi ia tetap sayang padamu. Tidak pernah luntur oleh perjalanan waktu. Tidak oleh bungkuknya. Tidak oleh ubannya. Dan tidak oleh yang lainnya.

Hari ini, dapatkah engkau merenungkan semua itu? Seperti hari ini, kemarin, atau lusa, atau pula ketika engkau singkap kenangan puluhan tahun silam, tentang sayangnya yang tidak luntur oleh hujan atau lapuk oleh panas. Dia asuh dirimu, karena engkau si Biran Tulangnya, karena engkau permata hatinya. Dan lebih dari semua itu: engkau titipan Allah.

"Dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika seorang di antara mereka, atau kedua-duanya sampai berumur uzur berada dalam perlindunganmu, maka jangan engkau bentak mereka. Tetapi, ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia" (QS 17:23).

Sampai tiga kali Rasulullah berseru, ketika seseorang menanyakan tentang bhakti anak setelah Allah dan Rasul. Dan kita seharusnya tidak terpaku pada banyaknya bilangan itu. Tetapi, dapatkah bilangan itu berubah menjadi gerak dan perbuatan?

Di manakah sosok tua itu kini? Apakah ia telah mendahului kita, membawa kemuliaan, menghadap Dia, Allah Subhanaahu Wata'alaa? Tidak, ia masih hidup. Ia hidup pada tubuh kita dengan rasa sayangnya, ketika ia kandung tubuh-tubuh kita, ketika air susunya mengaliri darah kita, ketika ia besarkan kita. Ia masih hidup di dalam jiwa kita yang haus selalu dengan kasih sayangnya, dan tentang kemuliaannya yang pernah ia berikan kepada manusia.

"Ya Robbi. Kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidikku dari semenjak kecil" (QS 17:25).



Kampus Taman Kencana 1 Bogor
Awal bulan Desember tahun 1987

SEORANG IBU

Engkau menangis, ibu?
suami dan anak-anakmu
sudah kau berikan untuk Allah
berkalang tanah menjadi syuhada

Engkau semakin guncang bahumu, ibu?
suami dan anak-anakmu
apakah sesal bergayut di relung hati
menyesali nasib, menggugat Allah?

Dua puluh dua tahun, dulu
tahun-tahun di Tanah Daulah di kota Madinah
saat akad nikah berlangsung di Masjid Nabawi
ada setitik haru menyelinap
menghempas segunung bahagia menyesak
aku bertekad berjihad
menderaskan anak-anakku lewat rahim ini
selanjutnya, muncrat air susuku, mengalir keringatku
aku menangis ikhlas menjalaninya

Hari itu, ya Rasulullah
dan hari ini, semua telah impas
ada setitik haru di antara sejuta hempasan bahagia

Ya Rasulullah
aku menangis karena bangga
dan amanah Allah itu telah kembali
tak ada lagi sumbangan yang dapat kuberikan untuk agama ini
aku menangis karena Allah
dan aku bertanya:
Adakah kesia-sian yang kemarin dan hari ini?

Ya akhwat
jihadmu kini itu adalah
membawa anak-anakmu
mengemban amanah dan risalah ini
dan mencintai suamimu

Jumat, 08 Mei 2009

PARADIGMA BARU GAYA HIDUP

Sekilas Pandang

Menarik apa yang tertulis pada baligo ukuran 1 x 2 meter di sebuah swalayan: "Save our planet". Di bawahnya ada tulisan lain: "Dengan mengganti plastik dengan karton bekas, berarti Anda telah ikut menyelamatkan bumi kita ini".

Memang, hidup, bernafas, makan, minum dan melakukan kegiatan harian lainnya, adalah ragam aktifitas yang dilakukan manusia. Ia tidak terlepas dari faktor luar, yakni makhluk hidup dan lingkungan. Kita butuh lingkungan abiotik (semisal udara, air, dan tanah). Unsur-unsur ini terkait faktor lain, misalnya antara lain tumbuhan, hewan dan manusia. Faktor biotik (makhluk hidup) dan abiotik (benda mati), merupakan bagian dari ekosistem bumi. Ekosistem tersebut dipengaruhi oleh aktivitas dan siklus alam semesta, termasuk dalam hal ini adalah aktivitas matahari, planet, bintang dan benda angkasa lainnya.

Tindakan manusia selalu akan mempengaruhi ekosistem bumi. Dampak yang ditimbulkannya tergantung besar dan jenis tindakan manusia. Dalam kadar tertentu masih bisa dinetralkan oleh alam (self healing of systems). Jika manusia merusak dan melukai komponen abiotik, maka sesungguhnya manusia telah berusaha merusak dan melukai dirinya sendiri. Manusia memiliki kehidupan yang berkualitas apabila mau menjaga ekosistem dengan penuh cinta; cinta manusianya, tumbuhan, hewan darat dan air, lingkungan air, tanah, udara dan sumber daya alam lainnya.

Keterkaitan lingkungan biotik dan abiotik menumbuhkan cara untuk menyelamatkan kehidupan manusia. Ia terkait dengan pola pandang dan tindakan yang benar dari manusia. Pandangan mendasar bahwa menyelamatkan bumi (save our world) adalah langkah utama untuk menyelamatkan kehidupan (save our life). Menyelamatkan alam berarti menyelamatkan kehidupan dan peradaban manusia, kini dan seterusnya. Tulisan pendek ini bertujuan mengajak masyarakat menyelamatkan peradaban manusia melalui gerakan moral, aksi nyata melindungi alam, melalui paradigma baru dengan mengembangkan prinsip hidup yang benar.

Paradigma Dasar

Gaya hidup itu terletak pada pola konsumsi, efektifitas dan efisiensi penggunaan sumber daya alam dan berapa besar anggaran belanjanya. Mengurangi yang tidak penting (reduse), memakai kembali (re-use), mendaur ulang (recycle), memperbaiki (repair) dan mengganti dengan yang lebih hemat (replacement) adalah kunci hidup yang dimaksud.

1.
Berhematlah dengan Mengurangi yang Tidak Penting (Reduce)

Prinsip pertama ini letaknya pada “mengutamakan kebutuhan daripada keinginan”. Masalah utama globalisasi sosiokultural adalah konsumerisme. Manusia cenderung tergoda iklan, gaya hidup, dan perilaku hedonisme, ketimbang memikirkan kebutuhan utama. Banyak orang tua membiarkan anaknya tidak mendapat asupan gizi seperti susu, sementara ia mampu membeli rokok. Ikat pinggang dikencangkan, tetapi mereka beli kosmetik atau alat elektronik yang lagi ngetrend. Tindakan ini menyebabkan ia tidak punya tabungan /simpanan jangka panjang. Terjadilah tingkat konsumsi sumber daya berlebihan. Ada yang gila membeli MP4, namun sebulan kemudian ia sudah bosan menggunakannya. Tidak ada pada mereka budaya hemat, cermat, efisien, dan efektif, sesuai kebutuhan hidupnya.

Mari mulai mengurangi pembelian aksesoris, pakaian yang tidak perlu, berhemat kertas di kantor, baca koran online, kurangi penggunaan daya lampu yang berlebihan, matikan TV yang tidak menayangkan acara yang berkualitas. Kurangi bepergian yang tidak penting dengan kendaraan karena berdampak langsung pada pengguanan bahan bakar, menambah polusi dan gas rumah kaca. Bila menginginkan sesuatu, bertanyalah apakah barang ini memang dibutuhkan? Tahan lamakah? Adakah yang lebih baik dan tahan lama? Dari apa dibuat, bagaimaan menggunakan dan kapan dibuang? Apakah diproduksi secara manusiawi dan hemat? Apakah barang tersebut dapat diperbaharui, dipanen dan diternak dengan pantas?

2. Menggunakan Kembali (Re-use)

Ini adalah aksi memakai kembali barang yang tadinya dianggap sudah tidak berguna dan akan buang. Sedikit kotor atau lecet, lantas ingin dibuang atau mengganti dengan barang baru. Perlu diubah sikap “ringan tangan” membuang barang, atau membeli barang baru, lebih canggih atau lebih baik, padahal barang tersebut masih dapat dipergunakan. Karena ada fitur baru pada sebuah HP, kita terdorong membelinya. padahal belum tentu fitur tersebut dibutuhkan.

Pada baju pantas pakai dan pakaian bayi, daripada dibuang, lebih baik kita berikan ke panti atau ke yatim piatu. Atau berikan kepada adik atau saudara muda dan yang membutuhkan.

3. Mendaur Ulang (Recycle)

Daripada membuang barang yang tidak diperlukan lagi, ada baiknya anda mencoba mendaur ulang. Misalnya, mendaur ulang sampah organik di rumah, menggunakan botol plastik air minum atau apapun sebagai pot tanaman, atau mendaur ulang kertas menjadi kertas kembali. Aksi seperti ini belum menjadi kebiasaan di Indonesia.

Walau tidak sempurna melakukannya, daur ulang masih lebih baik daripada membuang barang ke tempat sampah atau membakarnya. Carilah informasi mengenai barang-barang apa saja yang bisa didaur ulang. Hal pertama dalam proses daur ulang ini adalah dengan membersihkan dan memisahkan barang-barang yang akan didaur ulang sebelum memberikannya pada pemulung. Sering kali, pemulung enggan mengambil barang yang bercampur sampah yang tidak dapat didaur ulang.

4. Memperbaiki yang Rusak (Repair)

Aksi ini merupakan tindakan penting dan membutuhkan skill. Kita malas belajar memperbaiki. Barang seperti jam dinding, sepatu /baju robek, kalkulator, dan lain-lain, umumnya dibiarkan menjadi barang bekas. Misal lain adalah membuang barang elektronik yang sub bagiannya rusak (terbakar), langsung dibuang. Padahal masih bisa mengganti bagian yang rusak tersebut.

Sikap membeli barang yang awet, dan menjaga dan memperbaikinya bila rusa, maka akan awet dipakai dalam jangka panjang. Bahkan, barang tersebut bisa diwariskan. Atau bisa difikirkan bahwa suatu barang bisa dialihfungsikan untuk tujuan lain. Atau, diberikan kepada orang yang membutuhkannya.

5. Subtitusi dengan Barang yang Hemat (Replacement)

Intinya, memilih barang yang memiliki fungsi yang hemat dan ramah lingkungan. Memilih lampu hemat energi, mengganti kertas tissue dengan sapu tangan, barang elektronik yang hemat energi, menggunakan mesin dengan bahan bakar yang efisien, baca koran, buku, majalah yang cetak online, menggunakan kendaraan umum, membiasakan berjalan kaki ke suatu tempat jika masih berjarak 100-200 meter; semua itu adalah tindakan dalam memilih gaya hidup.

Ayo, Mari Berubah

Mau dan mencari cara berubah adalah kunci gaya hidup dengan paradigma baru. Aksi global berhemat, rajin merawat bumi, membuat kita kaya dan sehat. Mari kita selamatkan kehidupan semesta ini beserta seluruh isinya.

Jumat, 01 Mei 2009

Kurikulum Pendidikan Kita

Pengantar

Biasanya tahun ajaran baru, masyarakat sibuk sekaligus repot. Toko-toko yang menyediakan buku dan alat tulis, pakaian seragam, sepatu, atau kebutuhan sekolah lainnya, ikut panen.

Anak-anak gembira karena masuk sekolah, lebih tinggi satu derajat dan dapat suasana baru. Namun orang tua sedih bercampur bingung, sebab harga-harga untuk kebutuhan sekolah anak mereka ikut-ikutan naik. Mereka harus berpikir tentang uang sekolah, sumbangan gedung sekolah, dan segala sesuatu kelengkapan untuk anaknya bersekolah.

Tahun ajaran baru ternyata membawa emosi dan kepahitan yang sama bagi orang tua, kecuali mereka yang mampu membayar semua biaya pendidikan anak-anaknya. Namun pada waktu yang bersamaan pula, jarang sekali orang tua menanyakan program dan kurikulum pendidikan bagi anak-anaknya, apalagi menghendaki macam pendidikan dan pengajaran apa yang ingin didapat dari sekolah.

Istilah Pendidikan dan Pengajaran

Bagi anak didik, tingkatan pendidikan Taman Kanak-kanak sampai Sekolah Lanjutan Umum, adalah tahapan yang sangat sensitif dan penting bagi kehidupan anak. Inilah tahapan pembinaan pola berpikir, tahap mengatur tingkah laku dan membangun kepribadiannya.

Setiap hari anak didik bersiap sekolah, pergi dan menghabiskan waktunya setengah hari atau sepanjang hari di sekolahnya. Kemudian anak itu pulang, dan besoknya kembali mengulangi hal-hal yang sama. Faktanya, peran orang tua tinggal sedikit, terbatas mengarahkan dan memberikan nasihat. Itupun kalau mereka sempat, bila tidak disibukkan dengan pekerjaannya. Mereka lebih suka menyerahkan sepenuhnya kepada institusi sekolah.

Kita percaya bahwa di negeri tercinta ini, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan telah berusaha maksimal untuk menyelenggarakan suatu metoda pendidikan yang mengacu kepada pengadaan sumber daya manusia (SDM). Tetapi bagi orang tua, agaknya perlu bertanya, program pendidikan yang bagaimana yang telah disiapkan untuk menghasilkan anak didik yang benar dan layak pakai?

Bagaimanakah pola yang telah berjalan mampu membentuk pola berpikir, membangun kepribadian yang kuat, dan bertingkah laku yang lurus?

Ada 2 (dua) perkara yang langsung tertangkap bila kita membaca istilah proses “pendidikan” dan “pengajaran”, yaitu (1) proses untuk mendisiplinkan sikap dan tingkah laku anak didik, dan (2) mengembangkan ilmu pengetahuan (dan teknologi).

Proses pendidikan, selayaknya ditujukan kepada pemeliharaan anak dalam membentuk tingkah laku serta mengarahkannya kepada jalan yang benar agar mereka nantinya mampu menentukan sikap terhadap dirinya, di tengah keluarga dan masyarakatnya.

Selain itu, anak didik perlu pengawasan akan tingkah lakunya, yaitu mengetahui sejauh mana kerterikatan anak terhadap mafahim (pemahaman ide dan nilai-nilai tentang kehidupan) yang diberikan kepadanya. Tujuannya tidak lain adalah agar ide-ide dan nilai-nilai tersebut selalu berputar dalam lingkaran iman, sehingga dapat diterapkan serta dijadikan sebagai bagian dari kepribadiannya. Dengan kata lain, agar ia dapat membina pola pemikiran, mensucikan jiwa dan menguatkan kepribadiannya.

Perlu diingat bahwa pendidikan tidak hanya memberikan kumpulan informasi berbagai disiplin ilmu dan pengetahuan belaka kepada anak didik saja, melainkan ia merupakan proses penanaman mafahim /ide-ide tentang kehidupan yang menentukan dan membentuk tingkah laku tertentu. Secara bersamaan perlu dilakukan pengawasan sampai sejauh mana anak didik menerapkan ide-ide tersebut. Dengan kata lain, mengawasi keterikatan anak didik dengan ide-ide yang diberikan dan memaksanya untuk mengikutinya.

Untuk menerapkan hal di atas, dibutuhkan adanya kurikulum dan program pendidikan yang tepat dan benar, yaitu kurikulum yang bisa menjelaskan pendidikan macam apa yang diperlukan dalam tahap pembentukan mafahim tentang kehidupan.

Untuk membuat, mempersiapkan kurikulum dan program pendidikan semacam ini, diperlukan pengetahuan lebih dini tentang dasar-dasar yang menentukan pribadi individu, tahap-tahap pendidikan yang di dalamnya diberikan pengetahuan untuk membentuk pribadi individu tersebut, baik dalam bentuk pengarahan maupun dengan paksaan.

Tahapan Pendidikan

Mengetahui tahap-tahap pendidikan adalah sama pentingnya seperti halnya mengetahui dasar-dasar yang diperlukan untuk membentuk kepribadian individu. Setidak-tidaknya, ada 4 (empat) tahapan usia yang semestinya berintegrasi dalam penyusunan kurikulum pendidikan kita. Pertama, tahap usia 0-7 tahun. Kedua, tahap 7-10 tahun. Ketiga, tahap usia 10-15 tahun. Keempat, tahap usia 18 tahun ke atas.

Dengan mengetahui berbagai tahap usia tersebut, menuntut pula pengetahuan akan pemecahan problematika pendidikan dan apa-apa yang menyangkut mafahim /ide-ide tentang kehidupan, agar kurikulum dan program pendidikan lebih mantap dan sempurna.

a. Usia 0-7 Tahun (Batuta, untuk menggantikan istilah Balita)

Tahap usia ini adalah saat anak sangat membutuhkan pemeliharaan dan kasih sayang seorang ibu. Setelah anak mulai belajar berbicara, peran ibu menjadi sangat vital. Sebab, bahasa yang pertama kali dikenal adalah bahasa ibunya. Bagi kaum Muslimin, bahasa utama adalah bahasa Arab, yang merupakan bahasa Agama dan kebudayaan Islam, disamping sebagai bahasa komunikasi.

Oleh karena itu, bahasa yang harus diajarkan kepada si anak adalah bahasa Arab. Dalam hal ini setiap ibu harus menyadari kewajibannya untuk menguasai bahasa tersebut, walaupun ia bukan bangsa Arab ataupun keturunan Arab. Ketika anak telah mencapai usia 6 tahun, ia wajib mulai diajarkan adab dan sopan santun serta sifat-sifat akhlak yang mulia:

“Apabila anak telah mencapai usia 6 tahun, maka hendaklah diajarkan adab dan sopan santun” (HR. Ibnu Hibban).

b. Usia 7-10 Tahun

Tahap ini merupakan upaya pemeliharaan anak dengan pengarahan, pemberian nasehat, teguran dan peringatan, bahkan bila diperlukan dengan pukulan pada saat-saat tertentu, serta harus diperhatikan sikap-sikap yang lebih sesuai dan layak dilakukan oleh anak didik pada tahap tersebut.

c. Usia 10-15 Tahun (Masa Pubertas; Masa Rawan)

Barangkali tahapan usia ini merupakan saat yang sangat memusingkan para orang tua. Tetapi ia sangat penting, karena pada tahapan usia ini seorang anak menuju proses akil-baligh. Tahapan ini pula merupakan tahap yang paling penting dalam pendidikan anak karena merupakan tahap perubahan /pubertas, sehingga diperlukan perhatian yang khusus. Inilah “tahap ta’dib”, yaitu tahapan pengawasan /pendisiplinan yang memerlukan adanya hukuman. Perhatikanlah sabda Rasulullah Saw:

“Suruhlah anak-anakmu mengerjakan shalat pada usia 7 (tujuh) tahun dan pukullah pada usia 10 (sepuluh) tahun bila mereka tidak shalat”
(HR. Al-Hakim dan Abu Daud).


Shalat merupakan salah satu kegiatan anak yang paling penting. Kita menyuruh bahkan memaksa anak mengerjakannya pada usia 7 (tujuh) tahun, tetapi tidak sampai menjatuhkan sanksi bila tidak mengerjakannya. Namun kita wajib memukulnya bila usia 10 (sepuluh) tahun anak tersebut tidak mau melakukannya. Dengan demikian, usia tersebut merupakan langkah awal untuk memasuki tahapan baru kehidupan mereka, yang memerlukan cara-cara baru mendisiplinkan mereka, memelihara akhlak mereka dalam bertingkah laku, yang belum pernah diterapkan sebelum mereka berusia sepuluh tahun.

Jika usia baligh (patokannya + 15 tahun), inilah tahap untuk menyempurnakan kepribadian dan mulai membebankan tanggung jawab kepada mereka. Betapa pada usia demikian merupakan mulai kiprahnya sebagai manusia dewasa, demikianlah Allah SWT telah menggariskannya:

“(Dan) ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin (dewasa). Lalu, jika menurut pendapatmu mereka telah (cukup) cerdas, maka serahkanlah harta-harta itu (yang ada dalam pengawasanmu) kepada mereka…..” (QS An Nisaa’ 6).

Ini merupakan perintah wajib, yang ditunjukkan pada usia cukup untuk kawin plus cerdas. Sebab, tanggung jawab kepemilikan dan pengelolaan harta merupakan kegiatan sangat penting yang memerlukan banyak perhatian dan kesadaran.

Demikianlah sekilas pendapat tentang pentingnya kesadaran semua pihak dalam seluruh tahapan pendidikan dan apa-apa yang dibutuhkan dari seluruh tahapannya, yang berupa kegiatan pemeliharaan dan pengarahan yang baik.

Program Pendidikan bagi Pembentukan SDM

Anak didik yang berasal dari Asia menurut sebuah laporan menunjukkan keunggulan komparatif bila dibandingkan dengan anak didik dari Eropah dan Amerika. Secara genetis, bisa jadi kita bangsa Asia lebih baik dari orang bule. Tetapi model dan metode pendidikan, serta kurikulum yang berjalan pada masing-masing wilayah amat jauh berbeda. Secara jujur harus diakui bahwa kita masih terus coba-coba antara satu model dengan model lainnya. Belum pernah ada sekolah yang mempunyai program pendidikan yang jelas, terperinci dan sesuai dengan tahapan usia anak didik.

Tujuan pendidikan untuk berupaya mendisiplinkan tingkah laku individu dalam kehidupan serta mengawasi keterlibatannya dengan disiplin tersebut sejak kecil hingga dewasa, menimbulkan berbagai pertanyaan:

(1) Usaha apa untuk pembentukan tingkah laku?
(2) Apa pengertian tingkah laku?
(3) Bagaimana disiplin yang diinginkan?
(4) Komponen apa yang membangun dasar kepribadian individu agar menjadi baik, berakhlak terpuji dan berjalan lurus?

Menurut pakar ilmu pendidikan, dasar-dasar pembentukan individu adalah tergantung kepada pembentukan (pemahaman) akidah, ibadah, akhlak, serta proses bermuamalah anak didik. Aqidah merupakan landasan /dasar pembentukan insani. Darinya terpancar seluruh ide-ide tentang kehidupan yang mampu mempengaruhi tingkah laku. Ia juga merupakan landasan berpikir, yang di atasnya dibangun seluruh ide manusia. Aqidah menentukan pandangan hidup, menjelaskan arti keberadaan manusia di dunia. Ia harus jelas, kuat dan kokoh, ditempuh dan ditimbang atas dasar akal, sehingga terhindar dari khurafat dan hal-hal yang menyesatkan.

Di samping itu, manusia mempunyai 3 (tiga) macam hubungan, yaitu (a) hubungan dengan Rabbnya dalam urusan ibadah; (b) hubungan dengan dirinya sendiri dalam urusan akhlak, makanan dan pakaian; dan (c) hubungan manusia dengan sesamanya dalam urusan muamalah.

Inilah kegiatan /aktivitas sehari-hari yang biasanya dilakukan manusia dalam kehidupan yang memerlukan adanya peraturan dan pengarahan. Jika peraturan ini terpancar dari dasar pemikirannya (aqidah), maka tentu pribadi individu akan mengikuti jalan yang benar. Jika tidak, maka kepribadiannya akan sering melakukan hal-hal yang bertentangan, yang menyebabkan adanya kekhawatiran dan keresahan, sehingga kehidupannya penuh dengan kesengsaraan serta penderitaan.

Disini kami ingin bertanya kepada pihak yang menyusun program pendidikan, apakah mereka telah membuat kurikulum yang dapat mengatur perbuatan manusia dan mengatasi problematika hidupnya?

Apakah setiap wali murid pernah bertanya kepada pihak pimpinan sekolah tentang ada tidaknya program pendidikan yang sudah ditetapkan dalam kurikulum ? Lalu diusahakan pelaksanaanya dengan senantiasa mengawasi keterikatan siswa dengan program tersebut?. Juga, apakah pihak pimpinan sekolah atau Departemen pendidikan pernah memikirkan masalah ini untuk memilih dan menentukan pemecahan yang tepat?.

Kita belum pernah menyaksikan hal semacam ini. Mereka tidak pernah merencanakannya dan selalu bertolak dari satu alasan yaitu adanya perbedaan ideologi/agama dalam masyarakat. Padahal yang sebenarnya tidaklah demikian, sebab negara-negara di Timur Tengah maupaun dunia Islam lainnya secara keseluruhan tidak memperhatikannya, bahkan mereka tidak diizinkan memecahkan masalah tersebut sejak masa penjajahan sampai saat ini.

Atas dasar itu, maka pendidikan ibadah, akhlak dan muamalah dalam kehidupan masyarakat bukan merupakan tanggung jawab sekolah, khususnya di Timur Tengah. Jika demikian mengapa yang dulunya bernama Departemen pendidikan diganti dengan Departemen Ilmu Pengetahauan di berbagai negeri-negeri Islam?

Pengetahuan Tentang Kebudayaan dan Sains

Adapun tentang ilmu pengetahuan, kurikulum pendidikan yang telah ditentukan, termasuk seluruh mata pelajaran yang berkaitan dengan hal ini, telah bercampur aduk antara pengetahuan Sains & kebudayaan, yang sedikit banyak telah mempengaruhi tingkah laku dan kepribadian murid.

Marilah kita lihat contohnya. Pelajaran Bahasa, yang menjadi bagian dari kebudayaan, adalah satu-satunya alat yang diperlukan manusia untuk menyampaikan apa yang manusia inginkan. Dengan bahasa, seseorang dapat mencatat tujuannya dan dapat mengungkapkan apa yang ada dalam hatinya.

Demikian juga dengan pelajaraan Sejarah, yang menghubungkan antara masa lampau dengan sekarang. Juga pelajaraan Geografi, yang menjelaskan bentuk negeri, posisi, cuaca dan kekayaan alam yang diberikan Allah kepada negeri tersebut. Semua itu merupakan bagian dari kebudayaan yang berkaitan langsung dengan pendidikan. Saat ini kita boleh bertanya, bagaimana kedudukan ketiga ilmu pengetahuan tersebut dalam kurikulum pendidikan di negeri-negeri Islam? Juga sejauh mana perhatian perguruan tinggi terhadap materi pelajaraan tersebut.

Memang, tahap pendidikan yang dimulai sejak kanak-kanak sampai dewasa merupakan tahap pendidikan yang harus dapat menyempurnakan pembinaan kepribadian anak didik agar mampu berpikir dewasa mengenali diri, dan mengetahui sebab keberadaaannya di dunia yang fana ini. Juga, supaya ia mempunyai pola pikir yang dapat memahami segala sesuatu dengan cara yang khas dan mempunyai pola tindak yang dapat membawanya berjalan sesuai dengan persepsi /mafahim yang telah diimaninya.

Jika kepribadiannya telah ditegakkan atas dasar tersebut, maka ia akan berusaha mengembangkan pola pikirnya yang dapat memperkokoh jiwa dan memperkuat kepribadiannya dengan berbagai ilmu pengetahuan yang dikehendakinya, sekaligus dapat merealisasikan tujuan hidupnya. Oleh karena itu, dalam momen menjelang tahun ajaran baru dan Hari Pendidikan Nasional 2 Mei setiap tahunnya, mari merenungkan jagad dunia pendidikan Indonesia ini, berusaha menyumbangkan ide, atau bahkan mampu untuk mewujudkan dunia itu ke dalam kehidupan yang nyata. Ayo!