Jumat, 19 Maret 2010

Kebenciannya Awal dari Hidayah

Oleh: M. Syamsi Ali MA.


Pagi itu, Rabu 10 Pebruari, kota New York dilanda badai salju. Sejak tengah malam salju turun tiada henti, membuat jalanan menjadi sepi dan licin. Kebanyakan warga memilih tinggal di rumah. Berbagai institusi ditutup sementara, termasuk sekolah-sekolah dan bahkan Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Saya sendiri sebenarnya malas meninggalkan rumah pagi itu. Tapi entah mengapa, rasanya saya terpanggil melangkahkan kaki menuju kantor PTRI, dan selanjutnya ke Islamic Center. Ternyata kantor PTRI juga pagi itu hanya dibuka hingga pukul 12 siang.

Saya segera menuju Islamic Cultural Center of New York dengan tujuan sekedar shalat Zhuhur dan Ashar sekalian. Lazimnya, ketika ada badai salju atau hujan lebat, jamaah meminta untuk menjamak shalat. Setiba di Islamic Center saya segera menuju ruang shalat, selain untuk melihat apakah pemanas ruangan telah dinyalakan atau belum, juga untuk shalat sunnah.

Tiba-tiba saja Sekretaris memanggil, ‘Some one is waiting for you!’. ‘Let me do my sunnah and will be there!’, jawabku.

Setelah shalat sunnah, segera saya menuju ke ruang perkantoran Islamic Center. Di ruang tamu sudah ada seseorang yang relatif berumur, tapi nampak elegan dalam berpakaian. ‘Hi, good morning!’, sapaku. ‘Good morning!’, jawabnya dengan sangat sopan dan ramah. ‘Waiting for me?’, tanyaku sambil menjabat tangan. ‘Yes, and I am sorry to bother you at this early time’, katanya sambil tersenyum.

Saya mengajak pria berkulit putih tersebut ke ruangan kantor saya. Dengan berbasa-basi saya katakan ‘wah mudah-mudahan Anda diberikan pahala atas perjuangan mengunjungi Islamic Center dalam suasana cuaca seperti ini’. ‘Oh not at all!. We used to this kind of weather’, jawabnya.

‘So, what I can do for you this morning’, tanyaku memulai pembicaraan. Tanpa saya sadari orang tersebut masih berdiri di depan pintu. Barangkali dia tidak ingin lancang duduk tanpa dipersilakan. Memang dia nampak sopan, tapi dari kata-katanya dapat dipahami bahwa dia cukup terdidik. ‘Please do have your sit!’, kataku. ‘Thanks sir!’, jawabnya singkat.

Setelah duduk saya ulangi lagi, pertanyaan sebelumnya ‘what I can do for you this morning?’. ‘Sambil membalik posisi duduknya, dia melihat ke saya dengan sedikit serius, tapi tetap dengan senyumnya. ‘I am here for….’, seolah terhenti..’for some clarifications!’, jawabnya. ‘I have been reading, I have observed, even I have learned about the religion, and to be honest I know about it a great deal!’, jelasnya.

‘That’s great!’, selaku. Tiba-tiba dia memotong ‘But I don’t know, from time to time, I feel my suspicion about it and about the Muslims grows’. Dia terdiam sejenak lalu menyambung ‘I kind of don’t believe what I know about it!’,. ‘What do you mean?’, tanyaku singkat.

Sekali lagi pria bule itu mengubah posisi duduknya lalu bercerita. ‘I used to be very angry…I really hated this religion!’, jelasnya. ‘In last many years, if it is in my hand I would have crashed it and its followers. I felt the religion and those who follow it invaded my country!, jelasnya dengan sangat serius. ‘And so, what happened?’, pancingku. Kini dia kembali tersenyum, lalu menyambung ceritanya.

Untuk singkatnya, saya menuliskan beberapa catatan ceritanya, bagaimana kebenciannya kepada agama Islam menjadi awal ‘kehausan’ untuk mencari tahu. Suatu hari dia membeli makanan di pinggir jalan (Halal Food) di kota Manhattan . Perlu diketahui, mayoritas mereka yang jual makanan di pinggir jalan di kota New York adalah Muslim. Lalu menurutnya, di gerobak penjual makanan itu tertulis ‘Laa ilaaha illa Allah-Muhammad Rasul Allah’ dalam bahasa Arab. Kebencian nya yang sangat kepada Islam membuatnya tidak bisa menahan diri untuk mengata-ngatai penjual makanan itu ‘don’t turn people away from buying your food with that ….(bad word)’, katanya sinis!.

Tapi menurutnya lagi, sang penjual itu tidak menjawab dan hanya tersenyum, bahkan merespon dengan ‘Thank you for coming, my friend!’.

Singkatnya, menurut dia lagi, sikap penjual makanan itu selalu teringat di pikirannya. Bahkan sikap itu menjadikannya merasa bersalah, tapi pantang untuk datang meminta maaf. Ketidakinginannya meminta maaf itu, katanya sekali lagi, karena kebenciannya kepada agama ini. ‘That really made me angry to my self, but really curious at the same time!’, sambungnya.

‘In the beginning, I was just googling some informations about the religion. Then listening to some lectures on Youtube (especially Hamzah Yusuf’s ones)’, ceritanya. Setelah itu kemudian membeli beberapa buku karangan non Muslims, termasuk sejarah Rasul oleh Karen Amstrong, Shari’ah oleh John Esposito, dan lain-lain.

‘The more I learned, the more I feel being suspicious and confused!’, heran nya. Saya kemudian memotong ‘Had you ever thought, why is that?’. ‘I don’t know, but I think media factors!’, jawabnya singkat. Tapi kemudian segera menyambung bahwa setiap kali dia melihat pemboman, pembunuhan, pengrusakan, dan bahkan beberapa aksi films, ada-ada saja Muslim yang terkait. ‘I really don’t know and confused, what kind of Islam these people are practicing?’.

Dia kembali berbicara panjang, seolah menyampaikan ceramah kepada saya tentang ‘jurang besar’ antara ilmu tentang Islam yang dia pahami dan berbagai perangai yang dia lihat dari beberapa Muslim selama ini. Di satu sisi, dia kagum dengan sikap penjual makanan tadi. Tapi di satu sisi, dia marah dengan sikap beberapa orang Islam yang justru melakukan berbagai (apa yang disebutnya sebagai) ‘kejahatan atas nama Islam’. ‘And so, which side will I be, if one day I will be a Muslim?’, tanyanya pada dirinya sendiri.

Setelah selesai, saya kemudian memulai mengambil kendali. ‘First, congratulations!’, kataku singkat. Dia nampak bingung dengan ucapan saya itu.

Segera saya sambung ‘You have been a real American!’. Dia tersenyum tapi masih belum paham.

‘Americans are those when don’t know they inquire’, jelasku. ‘I think your anger is well understandable. Firstly, because you don’t know and the remedy to that is to seek and inquire. Second, the media factors and the remedy to that is to clarify. And I think you did both’, jelasku.

Saya kemudian mengajak dia mendiskusikan berbagai hal. Mulai dari sejarah peperangan, terorisme, pembunuhan, pengrusakan, dari dulu hingga sekarang. Dan sebaliknya, bagaimana Islam telah memainkan peranan besar dalam membangun peradaban manusia.

‘Throughout our human’s history, what you are seeing these days are not surprising and new’. How many lives have been taken, properties have been destroyed, home damaged?’, tanyaku. ‘And from the beginning of Prophet Muhammad preached this religion in the 7th century in Arabia, up to this day….how many wars and killings that have been Muslims as perpetrators?’, tanyaku lagi.

Dia nampak hanya geleng-geleng kepala dengan contoh-contoh yang saya berikan. Dari Hitler, Stalin, Perang Dunia I dan II, Hiroshima dan Nagasaki , dst. Berapa di antara mereka yang terbunuh, dan siapa yang melakukan? Peperangan di Irak, berapa yang terbunuh ketika jet-jet Amerika men drop bom di perkampungan-perkampungan? Siapa mayoritas tentara Amerika?

Kemudian, kata saya, pernahkah dilakukan studi secara dekat, untuk mengetahui apakah benar bahwa pemboman, pembunuhan, pengrusakan yang dilakukan oleh beberapa Muslim selama ini, walau atas nama Islam, memang justified by Islam? Dan benarkah bahwa memang motif nya karena memperjuangkan Islam dan Muslims, atau karena memang Islam dan Muslims adalah jembatan menuju kepada ‘interest tertentu?’, ceritaku panjang lebar.

Tanpa terasa, waktu adzan Zhuhur telah tiba. ‘Sorry, that is what we call adzan or the call to pray’, jelasku. Saya diam sejenak, dia juga nampak diam mendengarkan adzan dari Sheikh Farahat, muadzin yang baru diterima sebagai pegawai di Islamic Center. Suara tamatan Al-Azhar ini memang sangat indah.

Setelah adzan, saya kembali menyambung pembicaraan. Saat ini kita membicarakan berbagai ketidakadilan yang terjadi di berbagai belahan dunia, dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Secara ekonomi hanya segelintir yang menikmati kue alam, secara politik ada pemaksaan sistemik kepada negara lain, dan seterusnya.

‘With all this, and by no way to say that killings, especially when we come to the lives of innocents and civilians, are justified in the name of struggling for justice’, lanjutku.

Tapi karena waktu sangat singkat, saya bertanya ‘what do you think? Is there any thing that you do object to?’, pancingku. Dia nampak diam, tapi tersenyum dan mencoba berbicara.

‘You are right!’, katanya singkat. ‘I have been unfair to my own self! My association of Islam to behavior of some Muslims is completely unfair’.

‘You got the point, sir!’, jawabku singkat. ‘Now, I have to leave you for a while. I need to pray!’, kataku sambil meminta maaf.

Tiba-tiba saja dia melihat saya dengan sedikit serius. Kali ini tanpa senyum dan berkata ‘What should I do to be a Muslim?’, tanyanya. ‘Are you serious?’, tanyaku. ‘Yes!’, jawabnya singkat. ‘Follow me!’, kata saya seraya menggiringnya. Saya ajak dia ke ruang wudhu, mengajarinya berwudhu, lalu ke ruang shalat. Sambil menunggu waktu iqamat, saya menyampaikan kepadanya,

‘What I am going to do is leading you in declaring your new faith by what we call shahadah. And it is to testify that there is no god worthy to be worship by Allah and Muhammad is His Messenger’, jelasku seraya mengingatkan apa yang pernah dia lihat dahulu di gerobak penjual makanan itu.

Sebelum iqamat dimulai saya ajak, Peter Scott, nama pria tersebut ke depan jamaah dan menuntunnya mengucapkan ‘Asy-hadu anlaa ilaaha illa Allah wa asy-hadu anna Muhammadan Rasul Allah’, seraya diikuti gema takbir sekitar 200-an jamaah shalat Zhuhur hari itu.

‘Peter, now you are a Muslim, like others here today, nothing in you is less. In fact, you are better then us because you chose to be, not only born into it and follow it’, jelasku sambil meminta untuk mengikuti gerakan-gerakan shalat sebisanya, tapi dengan konsentrasi.

Allahu Akbar! Semoga Peter Scott selalu dijaga iman dan amalnya, serta dijadikan pejuang di jalanNya!

New York, 10 Pebruari 2010.

Kontrol Populasi

Sebuah Konspirasi dan Tipudaya


Pengantar


Kontrol populasi merupakan praktek mendasar dari seluruh Konspirasi New World Order (NWO = Tatanan Dunia Baru) yg diadopsi dari Ritual kaum Pagan. Inilah konspirasi Illuminasi Yahudi yang berada di bawah kendali Freemasonry Yahudi Internasional.

Praktek ini banyak variasinya. Dari praktek sukarela seperti program KB, kondomisasi, hingga praktek sadis berupa perang dan pemusnahan etnis. Ada juga bentuk program dalam bidang kesehatan, makanan dan konspirasi penyakit (misalnya flu burung dan babi, SARS dan penyakit rekayasa genetis lainnya), dan Proyek Kemiskinan yang kita saksikan terjadi sehari-hari di depan mata. Bahkan kaum Pagan sudah mematok awal program untuk mengurangi jumlah umat manusia secara drastis ini pada Desember 2012. (www.december212012.com).

Masih ingat dengan isu panas Proyek Namru-2 beberapa waktu lalu? Adalah Siti Fadhilah Supari orang Indonesia pertama dalam beberapa dekade ini yang berani menentang kepentingan Amerika Serikat. Kebaniannya mirip Soekarno di era tahun 1960-an yang berani berteriak, ‘’Go to hell’’ kepada Amerika.

“Saya berjuang sendiri untuk melawan sebuah ketidakadilan yang bisa membuat kehancuran”, kata Siti Fadhilah. Ia memang sendiri. Ada ribuan orang di anggota DPR dan DPRD diam saja dan sibuk untuk memperbesar kekuasaan. Tak ada dukungan pers, politisi, cendekiawan, atau siapa pun. Ia pada posisi sulit karena tidak mau menjadi antek di sebuah komunitas antek.

Februari lalu, ia melansir buku dalam edisi Indonesia dan Inggris berjudul, “Saatnya Dunia Berubah” (It’s Time for the World to Change). Kedua edisi buku – dicetak cuma 2000 eksemplar – sudah terjual habis dan sedang dicetak ulang. Buku itu sepi dari publikasi pers. Di buku ini, ia betul-betul menelanjangi praktek WHO, badan kesehatan dunia, bagaimana WHO mewajibkan Indonesia mengirimkan virus flu burung ke laboratoriumnya di Hongkong. Tahu-tahu sampel itu sudah ada di tangan Amerika.

Usaha Mengurangi Populasi Muslim

Berbagai upaya dilakukan untuk mencegah pertambahan populasi penduduk Muslim. Ketakutan itu ditutup-tutupi dengan jargon-jargon “kepedulian terhadap angka kematian ibu dan anak; membuka kesempatan untuk hidup panjang dan sejahtera; kesulitan pemenuhan konsumsi barang produksi karena sumber daya alam yang terbatas; dan jargon lainnya.

Kontrol populasi dipelopori dari teori “Ledakan Penduduk” yang dicetuskan oleh Thomas Robert Malthus (1798) seorang pemikir Yahudi Inggris, theolog dan ekonom. Malthus menyebutkan bahwa jumlah penduduk dunia cenderung melebihi pertumbuhan produksi (barang dan jasa). Karenanya, pengurangan ledakan penduduk merupakan keharusan, yang dapat tercapai melalui bencana kerusakan lingkungan, kelaparan, perang atau pembatasan kelahiran.

Upaya kontrol populasi pada dasawarsa 60-an telah diungkapkan secara terang-terangan oleh para pemimpin Eropa dan Amerika dalam strategi jahat mereka dalam bentuk pemusnahan terhadap bangsa-bangsa tertentu secara bertahap. Mesir dan India (sebagai Negara yang berpopulasi terbanyak di dunia) yang segera menerapkan program pembatasan kelahiran.

Selain itu, kesepakatan organisasi gereja dan berbagai lembaga yang mengucurkan dana melimpah untuk merealisasikan program tersebut di Dunia Islam. Kesepakatan Roma, Lembaga Ford Amerika (dengan program Kesehatan /Kesejahteraan Keluarga”), Lembaga Imigrasi Inggris (yang dengan terus terang menyerukan perlindungan alam dengan membatasi pertumbuhan manusia, dengan cara pembantaian massal manusia).

Bulan Mei 1991,pemerintah AS mengekspose beberapa dokumen rahasia yang isinya berupa pandangan pemerintah AS bahwa pertambahan penduduk dunia ketiga merupakan ancaman bagi kepentingan dan keamanan AS. Salah satu dokumen itu ialah instruksi Presiden AS nomor 314 tertanggal 26 November 1985 yang ditujukan kepada berbagai lembaga khusus, agar segera menekan negeri-negeri tertentu mengurangi pertumbuhan penduduknya. Di antaranya negeri-negeri itu adalah India, Mesir, Pakistan, Turki, Nigeria, Indonesia, Irak dan Palestina.

Dokumen itu menjelaskan sarana-saran yang digunakan secara bergantian, berupa upaya menyakinkan orang-orang maupun pemaksaan negeri-negeri tersebut agar melaksanakan program pembatasan kelahiran. Bentuk persuasif ialah memberi dorongan kepada penjabat /tokoh masyarakat untuk memimpin program pembatasan kelahiran di negeri-negeri mereka, memusnahkan faktor penghalang berupa faktor individu, sosial, keluarga, dan agama yang menganjurkan dan mendukung kelahiran.

PBB mensponsori konferensi pertama kontrol populasi ini tahun 1994 di Kairo. Pada pertemuan ini dianalisa masalah overpopulasi dan mengajukan sejumlah langkah, diperdebatkan pendekatan mengkontrol fertilitas (ketika itu dipromosikannya penggunaan alat kontrasepsi, perkembangan ekonomi liberal dan diserukannya peningkatan status wanita). Tujuan utama konferensi itu adalah menerima asumsi bahwa pertumbuhan penduduk menyebabkan kemorosotan ekonomi dan dilakukannya usaha-usaha untuk mengkontrol pertambahan penduduk di Dunia Ketiga oleh hambatan keyakinan agama, misalnya mendorong memiliki keluarga besar dan kurangnya pendidikan bagi wanita.

Semua Usaha itu menyebabkan diterimanya pandangan bahwa pertumbuhan penduduk menyebabkan kemerosotan dan kemandegan ekonomi, kemiskinan global, kelaparan, kerusakan lingkungan dan ketidakstabilan politik. Filosofi semacam itu telah menjadi mesin pendorong bagi PBB dan Bank Dunia. Pertumbuhan penduduk adalah sebuah problem bagi Afrika, Amerika Latin dan Asia. Jika masalahnya mau terpecahkan, maka negara-negara itulah harus melaksanakannya. Dalam hal ini, korban yang telah sangat menderita malah dipersalahkan dengan riset empiris yang mendukung asumsi semacam itu.

Di Indonesia dibuat program-program yang mendukung upaya kontrol populasi dikomandoi BKKBN dan LSM lokal, nasional dan asing. Untuk kalangan Ibu diterapkan KB dengan slogan hindari 4Ter (Terlalu muda,Terlalu tua, Terlalu sering dan Terlalu dekat). Untuk kalangan bapak diarahkan melakukan kondom dengan segala fasilitasnya dan larangan untuk berpoligami. Untuk kalangan remaja adanya pembatasan usia kawin di aats 18 tahun sehingga dilarang pernikahan dini dan pendidikan seks /reproduksi dengan istilah Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR) yang memacu naluri seksual dengan slogan “SAVE SEX” dan melarang pernikahan dini.

Untuk kalangan remaja dikeluarkan program Dunia RemajaKu Seru (DAKU). Awalnya program DAKU dikenal di negara Uganda, Afrika, dengan nama The World Start With Me, lalu diadaptasi ke beberapa negara seperti Thailand, Vietnam, Kenya, Afrika Selatan, Mongolia, Cina, Pakistan, serta Indonesia. Program ini sepertinya didisain untuk negara-negara yang memiliki populasi banyak.

Untuk Indonesia ada proyek percontohan di Jakarta pada beberapa sekolah sejak tahun 2005, 2006, 2007 di 12 SMU-SMK Jakarta (yaitu SMAN 100, SMA Angkasa 2 dan SMKN 27, SMAN 67, SMAK 7 Penabur dan SMKN 32, SMA Muhammadiyah 19, SMAN 53, SMK Jaya Wisata Menteng, SMAN 7, SMK Walisongo dan SMAN 105).

Program tersebut dikembangkan di beberapa propinsi, di antaranya Bali, Sumatera Utara, Lampung dan Jambi. Program ini disosialisasikan terlebih dahulu oleh suatu LSM yaitu World Population Foundation dan LSM lokal Yayasan Pelita Ilmu.

Program tersebut diperuntukkan bagi anak-anak usia 12-19 tahun, dirancang berbasis teknologi informasi yang membuat anak-anak remaja bisa langsung secara mudah mengakses berbagai modulnya. Dalam modul tersebut, anak diajarkan untuk bercinta yang sehat tetapi tidak melalui pernikahan. Sebuah ajakan dan legalisasi hubungan lawan jenis untuk menyalurkan naluri seksualnya tanpa harus menikah.


---------------------------------------------
Longok juga ke:

http://www.conspiracyarchive.com/NWO/
http://www.theforbiddenknowledge.com/hardtruth/newworldindex.htm
http://www.educate-yourself.org/nwo/nwonewsindex.shtml

Benarkah Ledakan Populasi Itu Menyengsarakan

Sebuah Mitos Sesat yang Dibangun Barat



Pengantar


Penelitian struktur genetik penduduk menyatakan bahwa hampir 15.000 tahun yang lalu, jumlah penduduk dunia adalah 15 juta orang (setara dengan penduduk New Delhi, India sekarang). Sedangkan penduduk pada masa Isa al–Masih (2000 tahun yang lalu) meningkat menjadi 250 juta (hampir setara dengan jumlah penduduk Indonesia yang sekarang).

Era revolusi industri abad ke-18, penduduk dunia mengalami kenaikan hingga tiga kali lipat menjadi sekitar 700 juta jiwa (setara dengan jumlah penduduk Eropa sekarang). Abad berikutnya, penduduk dunia meningkat rata-rata 6% per tahun, mencapai 2,5 miliar tahun 1950, dan meningkat lebih dari angka rata dalam kurun 50 tahun berikutnya menjadi 18%, hingga mencapai angka 6 miliar penduduk di penghujung abad ke-21.

Meskipun laju tingkat pertumbuhan itu melambat, jika tidak ada bencana demografis, maka penduduk dunia diperkirakan mencapai 9 miliar pada tahun 2050 nanti. Per September 2008, jumlah penduduk dunia secara resmi tercatat 6,72 miliar .

Jargon "Kelebihan" Versi Sesat

Tingkat pertumbuhan penduduk dalam satu abad terakhir kerap dituding sebagai penyebab utama pendorong dunia barada dalam jurang bencana, karena kita kekurangan pangan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang jumlahnya begitu besar. Tingginya tingkat pertumbuhan penduduk dunia menjadi penyebab kemiskinan, kerusakan lingkungan, keresahan sosial, dan kemajuan ekonomi di Dunia Ketiga mustahil terjadi. Walhasil, sejumlah pemerintah dan lembaga-lembaga internasional mengembangkan dan menerapkan sejumlah program di Dunia Ketiga untuk mengurangi tingkat pertumbuhan penduduk.

Jargon tersebut dikaitkan “kelebihan” dalam hal pemanfaatan sumber daya alam, dikonsumsi manusia lalu menimbulkan ketidakseimbangan global yang dikaitkan dengan jumlah penduduk.

Mencermati asumsi tentang efek pertumbuhan penduduk itu, peningkatan jumlah penduduk sama sekali tidak berkontribusi terhadap segala derita yang dialami dunia. Justru asumsi itu terkait pada agenda politik tertentu untuk melabel masalah peningkatan jumlah penduduk global yang dituding sebagai penyebab bencana alam. Agenda tersebut mengalihkan perhatian dunia dari penyebab yang sesungguhnya, yaitu gaya hidup, pola hidup, konsumerisme kelewatan, kemiskinan, dan penindasan terhadap Dunia Ketiga, agar Barat dapat mempertahankan supermasinya.

Negara-negara maju menghadapi masalah serius. Jepang, Rusia, Jerman, Swiss, dan banyak negara Eropa Timur mengalami penurunan tingkat pertumbuhan penduduk akibat program pembatasan kelahiranyang mereka terapkan. Negara-negara lain juga mengalami penurunan tingkat laju penduduk, seandainya tidak ada gelombang imigran.

Penurunan jumlah penduduk di Barat yang relatif terhadap negara-negara Dunia Ketiga dan negeri-negeri Muslim, berefek terhadap hak yang absah, berdasarkan jumlah penduduknya, untuk menuntut keterwakilan yang lebih baik dan lebih banyak di lembaga-lembaga internasional.

Barat Takut Ledakan Populasi Umat Islam

Isu kelebihan penduduk ini merupakan alasan untuk menjelek-jelekkan negara-negara yang jumlah penduduknya bertambah. Pada saat yang sama isu ini digulirkan untuk melindungi negar-negara tersebut dari potensi hilangnya pengaruh mereka di masa yang akan datang.

Mari kita lihat proses masuknya Turki ke Uni Eropa. Ketika bergabung dengan Uni Eropah, jumlah penduduknya mencapai hampir 70 juta, membuat Turki layak diberi jumlah anggota parlemen terbanyak kedua dalam parlemen Uni Eropa. Perkiraan demogafis menunjukan Turki akan melampaui Jerman dalam hal jumlah kursi parlemen pada tahun 2020. Karena itulah keberadaan Turki memiliki banyak konsekuensi, baik langsung maupun sampingan, bagi arah dan masa depan UE, termasuk isu menjengkelkan tentang rencana pemekaran Eropa masa datang.

Isu ini dijadikan alasan oleh Valery Giscard d’Estaing dari Perancis untuk menentang masuknya Turki. D’Estaing mengatakan bahwa hal itu bisa memicu munculnya tuntutan serupa: masuknya Maroko ke Uni Eropah.

Inggris sebagai bangsa pertama di dunia yang mengalami industrialisasi, namun secara umum ada 8 (delapan) faktor yang memicu industrialisasi. Salah satu di antaranya adalah pertumbuhan penduduk. Setelah bersatunya dengan Skotlandia tahun 1707, penduduk Inggris Raya mencapai 6,5 juta jiwa. Satu abad berlipat ganda menjadi 16 juta. Laju pertumbuhan itu terjadi setelah tahun 1750. Ini ledakan jumlah penduduk terbanyak dalam sejarah Inggris. Ia terkait dengan meningkatkan jumalah tenaga kerja dan konsumerisme barang-barang komoditas.

Asumsi yang Nonsens dan Menyesatkan

Sekarang mari kita lihat apa yang terjadi di China dan India, dua negara yang terbanyak penduduk dengan tingkat pertumbuhan yang mencengangkan. Tetapi ternyata jumlah penduduk besar adalah hal yang bagus. Meskipun menerapkan program pembatasan penduduk atas pengaruh Barat, China dan India tetap tidak mampu mengurangi laju pertumbuhan penduduk. Ternyata keduanya tetap bisa menjadi negara dengan laju perekonomian tercepat di dunia.

Fakta ini kontradiktif dengan pandangan Barat bahwa kelebihan penduduk menyebabkan semakin banyak pula sumber daya yang dihabiskan.

Kini kita bisa menyebutkan bahwa dunia tidaklah mengalami kelebihan penduduk. Pangan dan sumber daya alam masih lebih dari cukup untuk seluruh penduduk dunia. Justru sebagian besar dari sumber daya tersebut habis dirampok dan dikonsumsi oleh Barat secara berlebihan.

Sikap Ikhlas Manusia

Pengantar

Ikhlas dalam ketaatan adalah meninggalkan sikap riya. Ikhlas termasuk amal hati yang tidak bisa diketahui kecuali oleh seorang hamba dan Tuhannya.

Urusan ikhlas itu samar dan sulit difahami, sampai seorang hamba meneliti dan bertanya pada dirinya dan berpikir kenapa ia melaksanakan ketaatan itu atau kenapa ia melibatkan dirinya dalam ketaatan. Jika ia melaksanakan ketaatan itu semata-mata karena Allah, maka berarti ia ikhlas. Jika bukan itu, itu berarti ia telah riya. Nafsiyah (pola sikap) ini membutuhkan perilaku serius dan ada rentang waktu bagi prosesnya.

Tanda-tanda Ikhlas

Menyembunyikan kebaikan adalah tanda-tanda utama keikhlasan yang gampang diketahui setiap orang, baik diri sendiri atau orang lain. Al-Quthubi berkata: Al-Hasan pernah ditanya tentang ikhlas dan riya, kemudian ia berkata:

“Di antara tanda ikhlas adalah jika engkau suka menyembunyikan kebaikanmu dan tidak suka menyembunyikan kesalahanmu”.

Abu Yusuf berkata dalam buku Al-Kharaj: Mas’ar telah memberitahukan kepadaku dari Saad bin Ibrahim, ia berkata: Mereka (para sahabat) menghampiri seorang laki-laki pada perang Al-Qadisiyah. Laki-laki itu tangan dan kakinya terputus, ia sedang memeriksa pasukan seraya membacakan firman Allah:

مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا

“Mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni`mat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. (TQS. An-Nasa [4]: 69)

Seseorang berkata kepada laki-laki itu: Siapa engkau wahai hamba Allah? Ia berkata: Aku adalah seseorang dari kaum Anshar. Laki-laki itu tidak mau menyebutkan namanya.

Al Qur’aan dam Sunnah Nabi Saw Tentang Ikhlas

Ikhlas hukumnya wajib. Perilaku itu selalu bergandengan dengan ketaatan dan proses yang melingkupinya. Allah SWT berfirman:

إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَهُ الدِّينَ

“Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (Al Quran) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan keta`atan kepada-Nya. (TQS. Az-Zumar [39]: 2)

أَلاَ لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ

Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik) (TQS. Az-Zumar [39]: 3)

قُلْ إِنِّي أُمِرْتُ أَنْ أَعْبُدَ اللَّهَ مُخْلِصًا لَهُ الدِّينَ

Katakanlah: “Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama. (TQS. Az-Zumar [39]: 11)

قُلِ اللَّهَ أَعْبُدُ مُخْلِصًا لَهُ دِينِي

Katakanlah: “Hanya Allah saja Yang aku sembah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agamaku”. (TQS. Az-Zumar [39]: 14)

Ayat-ayat di atas merupakan seruan kepada Rasulullah saw., hanyasaja sudah dimaklumi bahwa seruan kepada Rasulullah saw. adalah juga seruan kepada umatnya.

Dalil dari As Sunnah tentang Wajibnya Ikhlas

Adapun dalil wajibnya ikhlas dari As-Sunah adalah hadits dari Abdullah bin Mas’ud riwayat At-Tirmidzi dan As-Syafi’i dalam Ar-Risalah dari Nabi saw., beliau bersabda:

«نَضَّرَ اللهُ امْرَأً سَمِعَ مَقَالَتِي فَوَعَاهَا وَحَفِظَهَا وَبَلَّغَهَا فَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ ثَلاَثٌ لاَ يُغِلُّ عَلَيْهِنَّ قَلْبُ مُسْلِمٍ إِخْلاَصُ الْعَمَلِ ِللهِ وَمُنَاصَحَةُ أَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَلُزُومُ جَمَاعَتِهِمْ فَإِنَّ الدَّعْوَةَ تُحِيطُ مِنْ وَرَائِهِمْ»

Allah akan menerangi orang yang mendengar perkataaku, kemudian ia menyadarinya, menjaganya, dan menyampaikannya. Terkadang ada orang yang membawa pengetahuan kepada orang yang lebih tahu darinya. Ada tiga perkara yang menyebabkan hati seorang muslim tidak dirasuki sifat dengki, yaitu ikhlas beramal karena Allah, menasihati para pemimipin kaum Muslim, dan senantiasa ada dalam jama’ah al-muslimin. Karena dakwah akan menyelimuti dari belakang mereka.

Hadist dari Ubay bin Kaab ra. riwayat Ahmad, ia berkata dalam Al-Mukhtarah isnadnya hasan. Rasulullah saw. bersabda:

«بَشِّرْ هَذِهِ اْلأُمَّةَ بِالسَّنَاءِ وَالرِّفْعَةِ وَالنَّصْرِ وَالتَّمْكِينِ فِي اْلأَرْضِ فَمَنْ عَمِلَ عَمَلَ اْلآخِرَةِ لِلدُّنْيَا لَمْ يَكُنْ لَهُ فِي اْلآخِرَةِ نَصِيبٌ»

Berikanlah kabar gembira kepada umat ini dengan kemegahan, keluhuran, pertolongan, dan keteguhan di muka bumi. Siapa saja dari umat ini yang melaksanakan amal akhirat untuk dunianya, maka kelak di akhirat ia tidak akan mendapatkan bagian apapun.

Hadits dari Anas riwayat Ibnu Majah dan Al-Hakim, ia berkata hadits ini shahih memenuhi syarat Bukhari Muslim, Rasulullah saw. bersabda:

«مَنْ فَارَقَ الدُّنْيَا عَلَى اْلإِخْلَاصِ ِللهِ وَحْدَهُ وَعِبَادَتِهِ لاَ شَرِيكَ لَهُ وَإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ مَاتَ وَاللهُ عَنْهُ رَاضٍ»

Barang siapa yang meninggalkan dunia ini (wafat) dengan membawa keikhlasan karena Allah Swt. saja, ia tidak menyekutukan Allah sedikitpun, ia melaksanakan shalat, dan menunaikan zakat, maka ia telah meninggalkan dunia ini dengan membawa ridha Allah.

Hadits dari Abi Umamah Al-Bahili riwayat An-Nasai dan Abu Daud, Rasulullah saw. bersabda:

«إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبَلُ مِنْ الْعَمَلِ إِلاَّ مَا كَانَ لَهُ خَالِصًا وَابْتُغِيَ بِهِ وَجْهُهُ»

"Sesungguhnya Allah tidak akan menerima amal kecuali amal yang dilaksanakan dengan ikhlas dan dilakukakan karena mengharap ridha Allah semata" (Al-Mundziri berkata isnadnya shahih).

Senja Itupun Bertasbih

Sepenggal Kisah Khalifah Abdul Malik bin Marwan



Lelaki itu berjalan di kegelapan malam yang dingin. Ia mengenakan pakaian yang bersahaja, meyaru menjadi orang kebanyakan. Sayup-sayup ia mendengar suara wanita yang sedang mensenandungkan puisi tentang kerinduan kepada seseorang.

Air mata ini mengalir bersama larutnya malam
sedih hati ini telah mengiris hati dan merampas tidurku
bergulat aku melawan malam
terawangi ribuan bintang di kegelapan
hasrat rindu mendera-dera yang melukai iwa

Sejenak lelaki ini terdiam. Ia terpaku mendengarkan bait puisi itu. Tiba-tiba saja sukmanya dikejutkan lagi. Kali ini bukan bait puisi yang disenandungkan, tetapi sebuah untaian doa yang dipanjatkan kepada Tuhan.

Ya Allah,
yang memperjalankan unta-unta,
yang menurunkan kitab-kitab,
yang memberikabulkan para pemohon,

Aku memohon kepadaMu
agar Engkau mengembalikan suamiku
yang telah pergi lama,
agar dengan itu Engkau lepaskan resahku.
Engkau gembirakan mataku.

Ya Allah,
tetapkanlah hukumMu
di antara aku dengan khalifah Abdul Malik bin Marwan
karena perang ini telah memisahkan kami.

Tubuh lelaki itu bergetar. Ada derai air mata di kelopak matanya. Lelaki itu sadar bahwa telah terjadi kezhaliman di sana, yang memisahkan seorang suami dengan istrinya.

Wanita itu, mensenandungkan puisi rindu dan doa. Ia sedang menuntut haknya. Hak kenyamanan badan. Hak ketenteraman bathin. Hak merasakan letupan gairah yang mempesona setelah Allah SWT menghalalkanya. Hak merasakan nikmatnya bertemu rasa dua air liur dari sepasang suami istri yang sah.

Lelaki itu sadar, sebenar-benarnya sadar. Kemudiaan dibuatlah maklumat perintah kepada seluruh warga negara:

"Siapapun yang menjadi seorang suami, ia tidak boleh meninggalkan Istrinya lebih dari enam bulan, dengan alasan apapun”.

Lelaki yang digugat itu bernama Abdul Malik bin Marwan. Ia adalah seorang Khalifah dari Bani Umayyah.

Kita mendapatkan pembelajaran bahwa sebagai seorang suami, hubungan intim dengan istri(-istri)nya adalah jalan membangun sakinah dan mawaddah itu, agar jiwa tenang di luar, tak tergoda oleh bayangan cantik yang lain. Hubungan intim itu adalah jalan menundukkan pandangan.

Ketika pulang kerja pada senja hari dengan tubuh letih, namun kau lihat senyuman manis bidadarimu menyambut dengan segelas air minum. Ada kelegaan di sana. Ada kebahagiaan di sana. Engkau ‘kan mengatakan padanya:

"Terima kasih cintaku”.

Kau kecup keningnya. Tak ada lagi yang dirasakan oleh dirimu dan istrimu selain ketenangan jiwa. Kenyamanan hati.

Di senja itu, malaikat menyaksikan senyuman istrimu sebagai tasbih. Pun, ucapan terima kasihmu adalah tasbih. Kecupanmu itu adalah tasbih. Semuanya bertasbih memuji keagunganNya, menyusupkan rasa cinta di hati. Ada kedamaian di sana, pada hati ini.

Jihad dan Partai Politik


Pengantar


Umat Islam di Indonesia ketika Gaza dibombardir Yahudi yang biadab, mereka memang bereaksi marah. Hanya sebatas itu, lalu segelintir orang ingin berangkat untuk membantu saudara-saudaranya yang ada di sana.

Ketika Amerika Serikat menganeksasi Afghanistan dengan alasan mencari Osama bin Laden, reaksi yang sama juga begitu. Begitu pula ketika Amerika dan sekutunya meluluhlantakkan Irak, menjatuhkan Saddam Hussein, dan alasan yang mengemuka adalah mencari senjata pemusnah massal, kita juga bereaksi kurang lebih sama dengan yang di atas.

Sesungguhnya, apakah kita cukup bereaksi demikian simpel. Bagaimana sebaiknya kita bersikap dan bertindak. Di bawah ini ada penjelasan sederhana tentang siapa yang berhak melaksanakan jihad (perang, qital), sebuah peran yang harus diambil oleh kaum Muslimin.

Jihad sebagai Kewajiban

Jihad tidak dibebankan kepada kelompok politik dan kelompok dakwah. Jihad, hukum asalnya adalah dibebankan kepada umat Islam. Umat Islam wajib menjalankan jihad ini melalui otoritas yang menyerukannya, yaitu sebuah negara yang mau menerapkan Syariat Islam dan sistem Khilafah. Otoritas ini sekarang masih belum ada. Para penguasa di negeri-negeri Islam mengabaikan jihad. Mereka bahkan melarang kaum Muslim melakukannya.

Pada beberapa kasus, jihad itu wajib, bahkan menjadi fardhu ’ain (kewajiban setiap orang) dari kaum Muslim, seperti dalam kasus ketika musuh menyerang dan menghancurkan wilayah (negeri) Islam. Dalam kasus seperti ini wajib atas semua kaum Muslim melakukan jihad untuk mengusir kaum kafir agresor. Dalam kasus seperti ini, setiap orang Islam wajib menjadi bagian dari perjuangan bersama dengan kaum Muslim lainnya.

Bagi kelompok politik dan dakwah, yang tidak memiliki struktur militer, tentu tidak memiliki sayap militer. Oleh karena itu, aktivisi atau anggotanya dapat melaksanakan kewajiban haji bersama kafilah yang manapun, Mereka dapat shalat berjamaah di belakang iman yang manapun. Ketika jihad perang menjadi wajib dan bahkan fadhu ’ain, mereka akan berperang di belakang pemimpin Muslim yang manapun yang ikhlas, tetapi tidak boleh berafiliasi dengan otoritas politik manapun yang tidak Islam.

Kewajiban jihad bertujuan membebaskan negeri-negeri Islam yang sedang diduduki dan didominasi oleh kaum kafir. Ini sesungguhnya tugas tentara yang merupakan sayap militer umat Islam. Namun tentara ini sekarang sedang berada dalam kekuasaan para penguasa yang mengabaikan jihad, dan bahkan menghalanginya. Oleh karena itu, umat harus menekan para penguasa agar mereka menggerakkan tentara. Apabila mereka menolak, maka umat wajib menyingkirkannya, dan kemudian menggantinya dengan seorang penguasa yang secara terbuka menyatakan jihad untuk membebaskan negeri-negeri Islam, bahkan menerapkan semua hukum jihad yang telah diwajibkan oleh Allah Dzat yang Maha Perkasa lagi Maha Kuasa.

Otoritas yang Sah Itu adalah Khilafah?

Orang-orang selalu menganggap bahwa mewujudkan sistem Khilafah adalah mimpi dan utopia. Sementara umat Islam sendiri tidak banyak mengenal sistem tersebut, di samping fakta di lapangan adalah begitu lemahnya umat Islam sekarang ini selain kuantitas yang ibarat buih.

Namun kita harus berkomitmen untuk terikat dengan metode Islam dalam melakukan perubahan. Masalahnya sekarang adalah mewujudkan kehidupan Islam; dan kehidupan itu tidak akan terwujudkan kecuali dengan mewujudkan terlebih dahulu sistem (kekuasaan) Islam, yang akan menerapkan syariah Islam.

Dalam masalah ini, mari kita ajukan solusi atas masalah-masalah parsial yang ada dalam realitas; dan menawarkan apa yang harus dilakukan dalam menyesaikannya. Oleh karena itu, perlu disampaikan secara rinci kepada masyarakat bahwa masalah-masalah ini solusinya adalah syariah Islam. Selain perlu menjelaskan sistem perekonomian dan solusi yang membelitnya, juga menjelaskan solusi pada aksi militer, dan penjelasan aspek-aspek sosial lainnya.

Kesalahan yang dilakukan oleh kebanyakan gerakan Islam, adalah mereka beranggapan bahwa berbagai permasalahan yang ada di tengah-tengah masyarakat dapat diselesaikan melalui aktivitas sosial, dan melalui gerakan-gerakan parsial. Mereka lantas mengerahkan semua potensi untuk mendirikan organisasi sosial, lembaga keuangan, dan berbagai lembaga pendidikan.

Mereka berpikir bahwa semua itu dapat menyelesaikan masalah. Padahal masalah-masalah ini secara mendasar adalah akibat dari sistem yang dijalankannya. Mustahil mengatasi semua masalah ini dan menghilangkannya dengan cara melepaskan diri kita dari sumber masalahnya, yaitu sistem yang sedang diterapkan.

Muncullah berbagai aktivitas yang sifatnya individual dan organisasi, sementara pada saat yang sama menutup mata dari setiap kebijakan yang dijalankan oleh sistem. Ini sama saja dengan melanggengkan realitas yang rusak. Realitas yang rusak ini mustahil dapat diubah kecuali dengan mengubah sistemnya.

Partai Politik yang Terbuka untuk Semua Orang Islam

Aktivitas dakwah tidak boleh ditujukan pada segmen elite masyarakat tertentu, melainkan untuk semua orang. Anggotanya bukan berasal dari komunitas budaya, ekonomi, atau sosial tertentu, melainkan berasal dari semua kalangan. Di dalamnya ikut bergabung intelektual, pelajar, profesional, orang kaya, orang miskin, kelas atas, menengah atau bawah, dan tidak ada pemikiran elitisme yang disematkan.

Partai yang dimaksud dengan demikian akan meluas dan ada di mana-mana. Anggotanya tidak hanya merekrut kalangan intelektual dan terpelajar saja, melainkan semua orang tanpa kecuali dijadikan obyek dakwah.

Kelompok lain, di antara kelompok yang beraktivitas dakwah dan sosial, mereka merekrut masyarakat melalui pendekatan kepentingan yang sifatnya materi dan emosional, untuk memenuhi kepentingan materinya. Ini sebuah kekeliruan. Seharusnya bukan pendekatan seperti itu, melainkan menyeru dan mengubah pikiran masyarakat.

Mempengaruhi dan mengubah pemikiran masyarakat itu pengaruhnya jangka panjang, sedangkan yang lain melakukan rekrutmen untuk pengaruhnya berlangsung cepat dan sesaat. Intinya, aktivitas yang benar dan shahih adalah membangun tsaqofah (budaya), opini umum, dan arahan politik di tengah-tengah umat.

Adakah partai politik dengan ciri seperti itu? Ada atau tidak ada, ia bukan masalah buat kaum Muslimin. Kalau ada, ikuti saja dan berkiprah dan berjalan bersamanya. Kalau tidak ada, mari wujudkan keberadaannya.

AS dan Terorisme

Sebuah Isu yang Dipaksakan


Pengantar


Ditembaknya Dulmatin alias Djoko Pitono, telah mencuatkan kembali isu terorisme di Indonesia. Namun isu itu selain janggal, kali ini terkesan dipaksakan. Pasalnya, isu ini muncul saat antiklimaks kasus skandal Bank Century yang dibawa ke Sidang Paripurna DPR dan menghasilkan keputusan melalui voting ‘Opsi C’ (bahwa bailout Century bermasalah). Isu ini juga muncul menjelang kedatangan Obama ke Indonesia. Dengan isu ini, Pemerintah seolah ingin menunjukkan kembali kepada pihak AS mengenai perhatian dan komitmennya terhadap kasus-kasus terorisme.

Selain itu, proyek kontra-terorisme memang merupakan salah satu prioritas dalam 100 hari program kerja Pemerintahan SBY. Dalam 100 hari itu diharapkan bisa dirumuskan ‘cetak biru’ penanganan terorisme, yang pelaksanaannya tentu membutuhkan waktu lebih dari 100 hari. Bahkan inilah salah satu inti dari pertemuan National Summit di Jakarta pada 29-31 Oktober 2009 lalu.

Karena itu, saat memimpin rapat terbatas bidang politik, hukum dan keamanan (Polhukam), SBY antara lain mengingatkan bahwa pemberantasan terorisme tetap menjadi agenda dalam penegakan hukum dan HAM (Detik.com, 5/3).

Lebih dari itu, komitmen pada isu terorisme ini juga menjadi kesepakatan dan pembicaraan antara Obama dan SBY saat pertemuan terbatas di Singapura. Saat kunjungan Obama ke Indonesia pertengahan Maret ini pun, hal ini akan kembali menjadi inti dan komitmen Indonesia-AS.

Umat Harus Mewaspadai Isu Ini

Umat Islam Indonesia harus memahami sekaligus mewaspadai isu terorisme ini dengan memahami beberapa hal berikut:

Pertama, terorisme hakikatnya adalah isu yang dijadikan proyek global AS jangka panjang setelah Peristiwa Peledakan WTC 9/11/2001. Proyek ini digunakan AS sebagai strategi untuk terus menjajah negeri-negeri kaum Muslim, termasuk Indonesia, semata-mata demi kepentingan AS dan Kapitalisme globalnya. Ini dilakukan dengan bantuan dan kesetiaan para penguasa negeri kaum Muslim yang berkhianat kepada Allah SWT, Rasul saw. dan umat Islam.

]يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ[

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil musuh-Ku dan musuh kalian sebagai teman-teman setia” (QS al-Mumtahanah [60]: 1).

Kedua, isu terorisme tersebut di Dunia Islam, khususnya di Indonesia, telah menciptakan keterbelahan umat Islam, diadu domba dengan sejumlah pengelompokan: moderat-radikal; liberal-fundamentalis; pluralisme-pluralitas, dan sebagainya. Keadaan ini secara langsung melemahkan umat Islam. Karena itu, umat Islam harus waspada, karena Allah SWT telah berfirman:

]وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا[

“Berpegang teguhlah kalian semuanya pada tali (agama) Allah dan janganlah bercerai-berai” (QS Ali ‘Imran [3]: 103).

Ketiga, isu terorisme terus diusung dan menjadi perhatian penguasa negeri ini (yang terjebak dalam proyek global AS) sampai seluruh komponen Islam yang dianggap mengancam agenda sekularisasi dan liberalisasi betul-betul bisa dibungkam.

Keempat, isu terorisme ini dijadikan alasan oleh Indonesia untuk mengagendakan kembali kerjasama militer dengan AS karena Indonesia dianggap serius memberantas terorisme.

]الَّذِينَ يَتَّخِذُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ[

“(Orang-orang munafik itu) ialah mereka yang mengambil orang-orang kafir sebagai teman penolong dengan meninggalkan orang-orang Mukmin” (QS an-Nisa’ [4]: 139).

Kelima, Indonesia adalah bagian dari Dunia Islam yang memiliki nilai strategis dari berbagai aspek: jumlah penduduk, sumber daya alam, serta geopolitik di kawasan Asia Pasifik maupun di Dunia Islam. Indonesia menjadi salah satu basis perang melawan terorisme, yang secara tegas menempatkan Islam dan kaum Muslim sebagai sasarannya. Karena itu, wajar jika selama ini Islam dan kaum Muslim menjadi korban dari isu terorisme ini. Memang itulah yang menjadi target AS.

]وَلاَ يَزَالُونَ يُقَاتِلُونَكُمْ حَتَّى يَرُدُّوكُمْ عَنْ دِينِكُمْ إِنِ اسْتَطَاعُوا[

“Orang-orang kafir tidak henti-hentinya berusaha memerangi kalian hingga mereka berhasil mengeluarkan kalian dari agama kalian—jika saja mereka mampu” (QS al-Baqarah [2]: 217).

Penutup

Isu terorisme akan terus dipelihara oleh AS sebagai gembong negara penjajah demi usaha menjajah dan menguasai kaum Muslim. Kaum Muslim selalu menjadi sasaran kaum kafir penjajah, termasuk melalui isu terorisme, jika mereka tidak memiliki pelindung. Pelindung mereka tentu bukan para penguasa yang menjadi pelayan negara penjajah seperti AS. Pelindung mereka tidak lain adalah seorang Khalifah yang bertakwa kepada Allah SWT. Itulah yang ditunjukkan oleh para khalifah pada masa Kekhilafahan Islam selama berabad-abad lamanya. Karena itu, mengangkat kembali seorang khalifah dalam institusi Khilafah Islam adalah pilihan yang bukan saja merupakan tuntutan syariah, tetapi juga tuntutan kondisi saat ini. Wallâhu a’lam bi ash-shawâb []

Menjustifikasi Kematian Para "Terorisme"

Oleh: Heru Susetyo*


Pengantar

“Amerika bisa menangkap Hambali dan Umar Al Faruq tanpa harus menewaskan mereka. Mengapa di tempat kita selalu mati?”


Ada fenomena aneh di balik kisah sukses Detasemen Khusus 88 membekuk para "teroris" setengah tahun terakhir ini. Yaitu, hampir semua"teroris"nya mati tertembak ataupun terbunuh dengan cara lain. Pasca peledakan hotel J.W. Marriot dan Ritz Carlton tanggal 17 Juli 2009, tak kurang dari sembilan"teroris" yang dianggap berperan langsung dan tidak langsung telah terbunuh.

Ibrohim, florist hotel Ritz Carlton terbunuh pada 8 Agustus 2009 di Temanggung, dalam drama pengepungan yang diliput banyak media massa. Pada hari yang sama Air Setiawan dan Eko Sarjono juga ditembak hingga tewas di Bekasi. Pada 16 September 2009, masih di bulan Ramadhan, empat ‘teroris’ termasuk buruan nomor wahid, Noordin M. Top, terbunuh dalam drama baku tembak di Solo. Kemudian, yang masih gres, dua buronan utama, kakak beradik Syaifuddin Zuhri dan Mohammad Syahrir, menjemput ajal di ujung senapan Densus 88 di Ciputat. Persis menjelang shalat Jum’at 9 Oktober 2009.

Yang paling baru, Densus 88 berhasil menembak mati Dulmatin dan dua orang pengawalnya di bilangan Pamulang, Banten, Jum’at, 12 Maret 2010 yang lalu.

Densus 88: It’s Oke, Tetapi Mengapa Harus Ditembak Mati?

Banyak pihak mengacungkan jempol terhadap ‘prestasi’ Densus 88. Memang, dari sisi produktivitas pemburuan "teroris", Densus 88 amat sangat produktif. Sembilan buron tewas hanya dalam kurun waktu dua bulan. Buronan nomor wahid pula.

Permasalahannya adalah, haruskah mereka dibunuh? Layakkah mereka dibunuh? Tak ada cara lainkah untuk mengakhiri perburuan dan mengungkap misteri terorisme ini selain dengan pembunuhan?

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, pertanyaan yang lebih mendasar adalah, benarkah mereka yang terbunuh itu benar-benar "teroris"? Kalaupun benar "teroris" apakah mereka memang harus dibunuh?

Di Manakah Dikau Presumption of Innocence?

Tanpa berpretensi untuk membela terorisme, sistem peradilan pidana Indonesia, dan juga hampir semua sistem peradilan di negara yang sehat demokrasinya, dan tegak rule of law-nya, memegang teguh asas ‘presumption of innocence’ alias ‘praduga tak bersalah.

Seseorang bisa jadi mencurigakan, bisa jadi tertangkap basah, bisa jadi memiliki ciri dan identitas yang cocok dengan pelaku kejahatan tertentu, ataupun menjadi buron karena alat-alat bukti dan saksi mengarah padanya, namun tetap saja ia tak dapat disebut sebagai bersalah sebelum pengadilan menyidanginya dan hakim menyatakan bersalah dan kemudian menghukumnya. Dan ini pun belum akhir perjalanan. Sang terhukum masih berpeluang mengajukan banding ke pengadilan tinggi, Kasasi dan Pengajuan Kembali ke Mahkamah Agung, hingga permohonan grasi ke Presiden.

Tidak semua saksi adalah tersangka. Tidak semua tersangka kemudian berkembang menjadi terdakwa. Tidak semua terdakwa menjadi terpidana. Dan tidak semua terpidana benar-benar menjalani hukuman sesuai yang dijatuhkan. Termasuk, tidak semua terpidana benar-benar melakukan tindak pidana yang dituduhkan terhadapnya. Banyak kasus salah tangkap, salah tahan, salah mendakwa, bahkan sampai salah menghukum.

Kendati demikian, proses peradilan harus dihormati. Karena di forum tersebutlah alat-alat bukti dan saksi diuji dan dipertukarkan keterangannya. Di majelis yang mulia itulah informasi dan keterangan terdakwa, saksi maupun korban dan ahli diperdengarkan.

Bukti Apa Sehingga Mereka Bisa Disebut Teroris?

Apabila para"teroris" telah menjemput ajalnya, instrumen dan media seperti apa yang dapat membuktikan bahwa mereka benar-benar "teroris"? Apalagi definisi tentang terorisme sendiri begitu banyak dan sangat bias. Ditingkahi pula oleh Undang-Undang Anti Teroris yang menyimpangi asas keadilan, utamanya dalam penangkapan dan proses penahanan yang berlangsung di luar kelaziman dalam hukum acara pidana dan nyata-nyata melanggar HAM.

Kalaupun benar mereka adalah teroris, maka pengadilan pun bisa mengungkap lebih jauh tentang motif, tujuan, peta jaringan, peran yang dimainkan, hingga unsur kesalahan masing-masing individu. Hukuman dapat dijatuhkan sesuai dengan peran dan derajat kesalahan serta tanggungjawab yang diemban setiap individu. Tentunya, hukuman untuk mastermind amat berbeda dengan mereka yang hanya ikut-ikutan. Hukuman bagi perencana, pemberi order, ataupun pelaku utama amat berbeda dengan mereka yang terseret karena keliru memilih teman dan berada di tempat dan waktu yang salah. Palu hakim masih memberikan beberapa pilihan. Sangat berbeda dengan laras senapan senapan polisi yang seringkali tanpa kompromi dan tak pula bertelinga.

Publik pun mengakui hal ini. Jasad dari Dani Dwi Permana dan Nana Ikhwan Maulana, keduanya dituding sebagai pelaku pemboman di hotel JW Marriot dan Ritz Carlton pada 17 Juli 2009, tak ditolak warga untuk dimakamkan di daerah tempat tinggalnya, karena beranggapan mereka hanyalah korban indoktrinasi dan bukannya perencana utama. Amat berbeda dengan reaksi warga setempat yang menolak pemakaman para ‘senior’ mereka di kediamannya masing-masing.

Mengapa Amrozi, Imam Samudera, Mukhlas, dan Ali Imron dapat tertangkap tanpa harus terbunuh? Mengapa dua buronan besar seperti Hambali (tertangkap di Ayutthaya Thailand tahun 2003) dan Umar Al Faruq (tertangkap di Bogor tahun 2002) dapat diciduk oleh pasukan Amerika Serikat dan Indonesia tanpa harus membunuh mereka?

Nasib “Teroris” di Luar Negeri

Dalam kasus lain, dua pemimpin Serbia dan jagal perang Balkan (1992–1996) yang bertanggungjawab atas genocide dan crime against humanity di Bosnia, Serbia dan Croatia, masing-masing adalah Slobodan Milosevic dan Radovan Karadzic, dapat ditangkap kemudian diadili pengadilan khusus di The Hague tanpa harus membunuh mereka. Ketika divonis pun, Milosevic ‘hanya’ mendapatkan hukuman seumur hidup, bukannya hukuman mati. Ia sendiri yang menjemput ajal di penjara karena sakit. Bukan atas peran fire squad, lethal injection, ataupun tiang gantungan.

Timothy McVeigh, "teroris" berkulit putih asli Amerika yang terbukti membom gedung federal (FBI) di Oklahoma City pada tahun 19 April 1995 dan menewaskan 168 rakyat tak berdosa, dapat ditangkap polisi Amerika tanpa harus membunuhnya. Padahal, ia memiliki kemampuan yang menakutkan, karena merupakan veteran tentara yang pernah terjun di Perang Teluk. Kendati kemudian ia dihukum mati pada tahun 2001, uniknya, banyak keluarga korban yang justru tak rela ia dihukum mati. Mereka mengatakan, apabila Tim Mc Veigh dihukum mati adalah sama artinya dengan mengulang kesalahan yang sama. Yaitu kembali mengulang kejahatan pembunuhan yang tak perlu, namun kali ini pelakunya adalah negara.

Mengapa Mereka Harus Dibunuh?

Maka, mengapa Ibrohim, Eko Joko Sarjono, Air Setiawan, Bagus Budi Pranoto, Hadi Susilo, Ario Sudarso, Noordin M. Top, Syaifuddin Zuhri dan Muhammad Syahrir harus dibunuh? Tak dapatkah polisi mengulang kisah ‘sukses’penangkapan Amrozi dkk? Pengadilan terhadap Amrozi dkk, sedikit banyak dapat mengungkap unsur pertanggungjawaban pidana setiap tersangka, derajat keterlibatan dan kebersalahannya, peran yang dimainkan dan seterusnya.

Anehnya, baik aparat, birokrat, maupun masyarakat cenderung menjustifikasi kematian para "teroris" tersebut. Tak ada reaksi luar biasa yang menentang ‘pembunuhan’ tersebut. Seolah-olah mereka memang layak untuk ditewaskan dengan cara demikian. Padahal, dengan tewasnya para tersangka "teroris" tersebut, maka sekian istri telah menjadi janda, sekian anak telah menjadi anak-anak yatim, sekian banyak orangtua tak percaya telah kehilangan anak tercintanya yang susah payah dibesarkan sejak bayi.

Penutup:
Julukan Itu Melekat pada Keluarganya .....


Yang lebih mengerikan, bagi keluarga, stigma sebagai "keluarga teroris" akan menghantui mereka seumur hidup. Bentuk hukuman sosial dari masyarakat yang tak dapat diklarifikasi karena aktor utamanya telah tewas. Maka, sang istri akan menyandang predikat istri teroris. Sang anak sebagai anak teroris. Ayah dan Ibu sebagai orangtua teroris. Paman dan Bibi menyandang predikat paman dan bibi teroris. Kampung yang didiami akan berpredikat kampung teroris. Luka sosial yang mesti diemban seumur hidupnya tanpa ada kemampuan membela diri.

Bila demikian halnya, tipis saja perbedaan antara negara, masyarakat, dan Noordin M. Top dkk. Ketiganya adalah sama-sama ‘teroris’, namun memainkan peran yang berbeda. Negara berpotensi menjadi ‘teroris’ karena menjalankan praktik ‘state terrorism’ . Antara lain dengan sewenang-wenang mengangkangi proses hukum dan ‘rule of law’ dalam proses penangkapan dan pelumpuhan tersangka "teroris".

Masyarakat pun berpotensi menjadi "teroris" apabila begitu saja menjatuhkan stigma "teroris" dan menjatuhkan penghukuman sosial kepada para ‘tersangka teroris’ dan keluarganya, tanpa ingin mengklarifikasi lebih jauh dan memberikan kesempatan kepada "keluarga teroris" untuk membela diri dan memperbaiki hidupnya.


---------------------------------
*)Penulis adalah Staf Pengajar FHUI–Depok,
Executive Committee World Society of Victimology.
http://www.hidayatullah.com/opini/opini/11003-menjustifikasi-kematian-teroris

Bulan Tempat Berkaca

Penggalan Adaptasi Catatan Alfi Arni



Bulan berkaca pada sepenggalan waktu
gemericik air danau sayup ditelan kepak gagak
Ia marah karena tak lagi menemukan bangkai dan darah

Di sana ada ribuan sayap Jibril memagari tepiannya
membawa bait-bait Tuhan berjarak sejengkal di hati manusia
hingga malam berganti rupa tak jua hilang gelap yang kian bersayap
tinggallah bulan berkaca menyesali wajah yang terbelah
bersaing dengan ketampanan yang bersembunyi di kedalamannya

Bagaimana lagi orang mempertanyakan Taman Firdaus
sementara dunia yang diciptakan tak mampu dilampaui keindahannya?
apatah lagi wujud neraka yang bergemuruh
bukankah duri mawar tak ingin menancap di kaki
perumpamaan untuk direnungkan, kaca buat bercermin

Jika kau mencintai, maka Allah yang paling mengasihi
Jika kau menaruh belas kasih tak satu jiwapun luput dari rahmatNya.
harus bagaimana lagi pesan itu dibawa?

Ribuan bahasa dan kisah penawar ketakutan,
mengetuk jiwa yang terkunci pada dinding keangkuhan
Berapa lagi ukuran kecintaanNya bahkan pada diri firaun sekalipun
diutusNya seorang Rasul membawa bait-bait cintaNya
kebanyakan gayung tak pernah bersambut,

Seorang penyair menepuk permukaan air danau
bukan Allah yang menyia-nyiakan hambaNya,
hati bertaut nafsu hingga mendengarkan rintihan:
“umatku, umatku, ummatku....”
tak juakah meluluhkan jiwa yang terlambat bercermin.

Hingga nanti bumi diguncangkan, kehidupan dijungkirbalikkan
bumi hijau menjadi hamparan rumput hitam,
bahkan kau adukan air mata yang jatuh di ujung dagu
menggantikan siapa yang kau Tuhankan di dalam hatimu

Nina

Setiap tahun, aku suka berkeliling ke berbagai panti asuhan dan rumah anak yatim. Kunjungan biasanya kulakukan dua kali. Awal bulan Ramadhan dan akhir bulan Ramadhan. Kunjungan pertama biasanya adalah survey untuk tahu kebutuhan panti asuhan atau rumah yatim tersebut. Baru pada kunjungan kedua aku membawa bantuan, sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan.

Ketika berkunjung ke salah satu rumah yatim, aku bertemu dengan bocah kecil yang bernama Nina.

"Apa yang engkau mau, sayang" begitu aku membuka percakapan. "Mau baju baru? Sepatu baru? Tas baru? Atau apa, nak?” bertubi-tubi cecaran pertanyaan dariku. Kulihat ia tersipu. Anak kecil yang polos itu terlihat malu. Lalu ia berkata:

“Aku malu mengatakannya. Takut om marah”.

"Kenapa malu?” kataku. “Katakan saja, om tidak akan marah”. Kataku mendesaknya. Tetapi Nina kecil itu tetap ragu mengatakannya.

“Nggak, ah”. Itu juga yang terus disebutkan: Ia ragu dengan keinginannya sendiri. Kupikir, bisa jadi, permintaan Nina itu adalah sesuatu yang mahal. Aku semakin ingin tahu. Aku mendekatinya.

“Ayo, katakan saja, apa inginmu”, kembali ia kudesak.

"Tapi janji, ya? Om tidak marah?" jawab Nina dengan manja. Jari tunjuk dan tengah tanganku kubentuk huruf V (Victory), sambil berkata:.

"Om janji tidak akan marah", kataku untuk meyakinkannya.

"Bener om tidak akan marah?" katanya, tetapi ia sendiri agak ragu. Aku segera menganggukkan kepala, pertanda setuju untuk tidak marah.

Nina menatap tajam wajahku, sementara aku berpikir, apa gerangan yang diminta Nina: Seberapa mahal benda yang diinginkan bocah kecil ini.

"Ayo katakan, jangan takut. Om tidak akan marah".

Nina terus menatap wajahku. "Bener, ya, om tidak marah?" Kepala kuanggukkan. Dengan wajah harap-harap cemas, Nina mengajukan permintaanya:

“Bolehkan Nina memanggil om dengan panggilan ayah?"

Aku terpana mendengar permintaan itu. Tiba-tiba saja air mataku meleleh, keluar dari bendungannya. Gadis kecil itu kupeluk erat.

“Tentu, anakku. Tentu saja boleh. Dan mulai hari ini, Nina boleh memanggil ayah. Bukan om lagi".

Dalam pelukanku yang erat, gadis kecil itu memeluk erat tubuhku juga, sambil berkata,

"Terima kasih, ayah".

Hari itu, adalah hari yang tak akan terlupakan buatku. Di panti itu, kuhabiskan waktu beberapa saat untuk bermain dan bercengkerama dengan Nina. Karena merasa belum memberikan sesuatu yang berbentuk material kepada Nina, sebelum pulang aku berkata kepadanya:

"Anakku, sebelum lebaran nanti, ayah akan datang lagi ke mari bersama ibu dan kakak-kakakmu. Apa yang kamu minta, nak?"

"Nina sudah boleh memanggil ayah, itu sudah lebih dari cukup", kata Nina. Terharu betul rasanya mendengar jawaban itu.

"Nina masih boleh minta yang lain. Nina boleh minta sepeda, otoped atau yang lain, pasti ayah berikan", kataku berharap. Kemudian Nina memegang tanganku.

“Nina mohon nanti kalau ayah datang bersama ibu dan kakak-kakak, aku minta kita foto bareng”.
Tiba-tiba kedua kakiku lunglai, terduduk dan bersimpuh di depan Nina. Kupeluk tubuh kecil itu.

"Nina ingin tunjukkan sama temen-temen di sekolah: Ini foto ayah Nina, ini ibu Nina, ini kakak-kakak Nina", begitu katanya lagi.

Aku memeluk Nina semakin erat. Rasanya aku tak mau berpisah dengan seorang bocah yang hari itu telah menjadi guru kehidupan bagiku.

Terima kasih Nina. Walau usiamu masih belia, kau telah mengajarkan kepadaku tentang makna berbagi cinta. Sesuatu yang lebih berharga dari benda yang kasat mata. Berbagi cinta, maka kehidupan lebih bermakna. Berbagi cinta, agar orang lain merasakan manfaat keberadaanmu di dunia ini.


---------------------------------------------
Diadaptasi dari Cerpen “Berbagi Cinta”.
http://www.facebook.com/home.php?#!/?page=1&sk=messages&tid=1252622070862

Minggu, 07 Maret 2010

Muara Harapan dan Kenangan

Oleh Zulmanery Manir



Muara harapan dan kenangan
di sana antri anak zaman menggapai asa
semilir angin buritan berhembus meninggalkan kapal
yang menggoyangkan pencalang hati
dari pagi, sore, sampai ke pagi lagi
dayung merengkuh biduk yang terkadang terasa oleng
di ujung lancipnya membelah gelombang
namun tak satu asa pun yang tertinggal
dia melaju terus tak hirau laut, buaya, dan kecipak ikan
Kulihat teri pun tergelak gelak

Muara harapan dan kenangan
di depan lepas pandang pada laut biru
Ada rasa dan asa yang mengusik damai
di sana kita berlabuh dan terus menari terbawa arus
ada ruang untuk sejenak kita berfikir
Lalu terdengar suara azan Magrib yang sayup mengajak
‘tuk bersujud pada yang punya laut, tanah dan ikan-ikan

Oo Allah kami
Kami berlabuh di punggung kegelapan malam
di sana beribu pelita dinyalakan orang
tapi kami tak punya lampu, kompas, tanpa radar canggih
haruskah kami balik arah sementara kami takut kegelapan

"Demi langit dan yang datang pada malam hari
tahukah dikau apa yang datang di malam hari itu?
yaitu bintang yang cahayanya menembus (gelapnya malam)
Tak ada satu jiwapun melainkan ada yang menjaganya"
(Al Qur'aan Surat At-Thariq 1-4).

Itulah petunjuk untuk kami.


-------------------------
Puisi ini digubah saat sulit perkuliahan di FKH-IPB Taman Kencana Bogor. Setiap liburan semester, pulang basamo naik kapal laut dari Tanjung Priuk ke Teluk Bayur, di kelas 3. Tetapi lebih banyak berada di geladak kapal serta kurang tidur (Camar Biru/ Upix RangKutianyia)

Menunggu Hujan Berhenti

Kenangan di Pematang Sawah Desa



Berdua menunggu hujan reda
Berteduh di gubuk bambu tengah sawah
Menunggu dalam penantian di antara bulir padi dan cicit pipit
Usai menyiangi rerumputan di antara batang padi
Dari subuh tadi hingga menjelang matahari rebah

Mulut-mulut yang membisu
melayangkan angan di kepala
Takut dan canggung memulai percakapan

Angin menerpa wajah-wajah lelah
yang bersembunyi di senja hari menanti jawaban
entah kapan berbunyi untuk berjanji

"Aku masih dan akan tetap di sini untukmu"
Begitu kataku lirih.

Tak kudengar lagi desah resahmu seperti tadi
Lalu kau pandangi aku lekat-lekat
Sebagai jawabanmu hari itu
Kemudian hujanpun berhenti

Berharap Meraih Kemuliaan

Malamku adalah kauniah
Menuju pengharapan meraih terang
Saat-saat tetap terjaga dan tidak lalai

Komitmen membutuhkan pembuktian
amal adalah komitmen hingga Allah menghentikannya
teruslah bergerak karena diam adalah mati

Anak-panahku patah lagi yang kemarin kubiarkan berkarat
kupajang tanpa kulesatkan akankah masih tajam?
Kudengar syair-syair yang melengkingkan doa
ditombaknya dahagaku dengan kebencian
untuk menutupi kelemahan dengan topeng khayalan

Menghakimi sesama adalah menjadikan cahaya menjadi api
Tetapi memaafkan tidak mengubah masa lalu
Ia hanya memperindah hari ini dan esok
Apa yang dimakan akan habis.
Apa yang dipakai akan kotor dan lusuh.
Apa yang disedekahkan akan tersimpan untuk akhirat.

Oo Allah kami
Separuh nafasku ada pada hitam pekat di setengah jiwaku
temaram cahaya lilin penuhi ragaku nan pilu
aku berharap hadirkan dan gapai cahaya dalam bimbinganMu
lantakkan egoku ketika kutolak takdirMu
genggam dan remas hatiku hingga melunak
hingga hilangkan ragu dan tegarkan langkah
wujudkan apa yang menjadi inginMu
tak perduli lagi kedudukan dan harta
teguhkan iman dalam tauhid

Lelaki Itu Suka Memberi

Memperingati Keteladanan Nabi Muhammad Saw



Hari itu seorang lelaki menemui Nabi Saw, meminta sesuatu. Beliau memberinya. Besoknya lelaki itu datang lagi, Nabi Saw memberinya. Besoknya datang lagi dan kembali beliau memberinya. Hari berikutnya ia datang lagi. Namun kali ini Nabi Saw berkata: “Aku tidak punya apa-apa lagi. Tapi ambillah apa yang kau mau, lalu jadikan itu sebagai utangku. Kalau aku punya, kelak akan kubayar.”

Melihat ini Umar berkata, “Wahai Rasulullah janganlah memberi di luar batas kemampuanmu”. Tetapi perkataan ini tidak disukai beliau. Tiba-tiba datang seorang lelaki Anshar lalu berkata, “Ya Rasulullah, jangan takut berinfak. Jangan takut miskin”. Ucapan lelaki itu membuat Rasulullah tersenyum. Lalu beliau berkata kepada Umar, “Ucapan itulah yang diperintahkan Allah kepadaku”.

Suatu ketika, Jubair bin Muth’im sedang berjalan bersama Rasulullah Saw. Tiba-tiba beberapa orang mencegat beliau dan meminta sesuatu dengan paksa, sampai-sampai beliau disudutkan ke sebuah pohon berduri. Seorang dari mereka mengambil mantelnya. Nabi Saw tertegun sejenak, kemudian tersadar dan berseru, ”Berikan mantelku itu! Itu kupakai untuk menutupi auratku. Seandainya aku punya banyak mantel, tentu akan kubagikan kepada kalian”.

Istri Nabi Saw, Ummu Salamah, bercerita. Suatu saat Rasulullah Saw masuk ke rumahku dengan muka pucat. Aku khawatir kalau-kalau beliau sakit. “Ya Rasulullah, mengapa wajahmu pucat?” tanyaku. Kemudian Nabi Saw menjawab, ”Aku pucat bukan karena sakit, melainkan karena aku ingat ada uang tujuh dinar yang kita dapat kemarin, tetapi sampai sore ini masih berada di bawah kasur dan belum kita infakkan”.

Ini cerita Aisyah Ra. Ketika sakit, Nabi Saw menyuruhku bersedekah dengan uang tujuh dinar yang disimpan di rumah. Tiba-tiba beliau jatuh pingsan. Ketika siuman, Nabi Saw bertanya: “Sudah kau sedekahkan uang itu?” Aisyah berkata: “Belum. Kemarin aku sangat sibuk”. Nabi Saw lalu berkata: “Mengapa begitu? Ambil uang itu!”. Begitu uang itu ada di hadapannya, beliau berkata: “Bagaimana menurutmu seandainya aku tiba-tiba meninggal, sementara uang ini belum kusedekahkan? Uang ini tidak akan menyelamatkan Muhammad seandainya ia meninggal sekarang”.

Suatu hari Sahl bin Sa’ad menyaksikan seorang perempuan menghadiahkan kepada Nabi Saw sepotong syamlah yang ujungnya ditenun (syamlah itu mirip jubah, adalah baju lapang yang menutupi seluruh badan). Perempuan itu berkata, “Aku yang menenunnya dan kuhadiahkan kepadamu”. Rasulullah Saw menyukainya. Tanpa basa-basi beliau mengambil dan langsung memakainya. Tak lupa mengucapkan terima kasih kepada wanita itu. Beliau membutuhkan sekaligus menyukainya

Tidak lama kemudian, datang seorang lelaki meminta syamlah itu. Rasulullah Saw memberikannya. Para shahabat ngomel panjang pendek dan mengecam lelaki itu. Mereka katakan bahwa Rasulullah menyukai syamlah itu. “Mengapa kau memintanya? Kalian kan tahu bahwa Rasulullah tidak pernah tidak memberi kalau diminta?” Tetapi lelaki itu menjawab, “Aku memintanya bukan untuk dipakai sebagai baju, melainkan untuk kain kafanku nanti kalau aku meninggal”. Tidak lama kemudian lelaki itu meninggal dan syamlah tersebut menjadi kain kafannya.

Adalah Thalhah bin Ubaidillah, seorang sahabat kaya raya namun pemurah dan dermawan. Ia bagaikan sungai yang airnya mengalir terus, mengairi dataran dan lembah, adalah perumpamaan tentang kedermawanannya. Isterinya, Su’da binti Auf, suatu hari melihat Thalhah murung dan termenung sedih. Sang isteri menanyakan penyebab kesedihannya. Thalhah mejawab, “Uangku sekarang begitu banyak sehingga memusingkanku. Apa yang harus kulakukan ?”

“Bagi-bagikan saja kepada fakir miskin.” Sesuai anjuran istrinya, Thalhah lalu membagi-bagikan seluruh uangnya tanpa sisa sepeserpun. Inilah juga yang diceritakan oleh Assaib bin Zaid tentang Thalhah, “Aku berkawan dengan Thalhah, baik dalam perjalanan maupun bermukim. Kulihat tidak ada orang yang lebih dermawan melebihi dia. Dia sedekahkan uang, sandang dan pangan kepada kaum Muslimin.”

Jaabir bin Abdullah juga bertutur, “Aku tidak pernah melihat orang yang lebih dermawan dari Thalhah. Dia memberi walaupun tanpa diminta. Sifat dermawan itu menyebabkan ia dijuluki: Thalhah si dermawan, Thalhah si pengalir harta, Thalhah yang dipenuhi kebaikan dan kebajikan.

Adalah Tsabit bin Dahdah yang memiliki kebun, ditumbuhi 600 batang kurma kualitas terbaik. Ketika turun firman Allah SWT,

“Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka Allah melipatgandakan pinjaman itu untuknya, dan orang itu memperoleh pahala yang banyak” (QS. Al-Hadid: 11).

Tsabit bergegas mendatangi Rasulullah Saw. “Ya Rasulullah, apakah Allah ingin meminjam dari hambanya?”

“Benar,” jawab Rasulullah.

Tsabit bin Dahdah lalu mengacungkan tangannya dan berkata, “Ulurkanlah tanganmu, wahai Rasulullah”. Rasulullah Saw mengulurkan tangannya dan disambut oleh Tsabit bin Dahdah sambil berkata, “Aku jadikan Anda sebagai saksi bahwa kupinjamkan kebunku kepada Allah”.

Tsabit gembira. Dalam perjalanan pulang, dia mampir ke kebunnya. Di sana isteri dan anak-anaknya sedang santai di bawah pohon Tamar yang sarat buah. Dari pintu kebun, dipanggilnya sang isteri, “Hai Ummu Dahdah! Cepat keluar dari kebun, Aku sudah meminjamkan kebun ini kepada Allah!”

Isterinya menyambut dengan suka cita, “Engkau tidak rugi, suamiku. Engkau beruntung. Engkau sungguh beruntung!” Segera dikeluarkannya kurma yang ada di mulut anak-anaknya seraya berkata, “Ayahmu sudah meminjamkan kebun ini kepada Allah.”

Perilaku Tsabit ini oleh Ibnu Mas’ud disebutkan bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Beberapa pohon Tamar yang sarat buah kulihat ada di Taman Firdaus di sana bertuliskan atas nama Abu Dahdah”. Ternyata Allah SWT memberi Tsabit bin Dahdah pohon-pohon yang berbuah lebat di Taman Firdaus itu sebagai gantinya.

Sungguh Indah dan terpuji jejak kedermawanan itu. Nabi Muhammad Saw dan para Shahabat mengetahui betapa lebih indah lagi apa-apa yang akan mereka dapatkan dari janji-janji Allah SWT. Seluruh Shahabat pada waktu itu berlomba-lomba mengikuti jejak Nabi Saw dalam segala hal, termasuk perilaku dermawan.

Semoga jejak Nabi kita itu terus terukir di benak umat yang sekarang, meleburkan diri pada rantai jejak-jejak yang bersambung dengan indah, dan mengajarkannya kepada anak-anak penerus kehidupan ini. Amin.

Dua Sekawan nan Durjana: Luthfie Assyaukani dan Salman Rushdhie

Oleh Dr. Adian Husaini



Pengantar

PADA 26 Juni 2007, Harian Media Indonesia menurunkan artikel Luthfi Assyaukani, salah satu aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL), berjudul ”Salman Rushdie dan Citra Islam”. Melalui artikel ini, penulisnya mengecam gelombang protes kaum Muslimin atas penganugerahan gelar bangsawan Inggris untuk Salman Rushdie, pengarang novel Ayat-Ayat Setan yang sangat menyinggung perasaan kaum Muslim.

Menurut Luthfi, penulisan novel semacam Ayat-Ayat Setan adalah bagian dari kebebasan berekspresi yang seharusnya tidak perlu disikapi secara emosional. ”Reaksi kaum Muslim terhadap kebebasan berekspresi tampaknya memiliki pola yang sama: mengumbar kemarahan dan kekerasan.”

Lebih jauh ia membandingkan respon kaum Muslim itu dengan sikap kaum Kristen terhadap penodaan agama. ”Apalagi jika kita membandingkan respon kaum Muslim dengan respon serupa dalam dunia Kristen atau agama-agama lain, kelihatan betul bahwa kaum Muslim tampak sangat berlebihan,” tulisnya lagi.

Luthfi mengaku tidak nyaman melihat reaksi kaum Muslim terhadap masalah kebebasan berekspresi. Dia katakan: ”Kita tidak ingin menjadi komunitas agama yang aneh sendirian di dunia ini. Agama-agama lain memiliki sikap yang jauh lebih elok dibandingkan reaksi-reaksi yang diperlihatkan kaum Muslim selama ini dalam setiap isu menyangkut kebebasan berekspresi atau kebebasan berpendapat.”

”Setiap ada kasus-kasus yang menyangkut kebebasan berekspresi yang menimpa Islam, saya selalu merasa waswas dengan reaksi yang akan muncul. Beberapa hari lalu saya benar-benar tersudut dan malu dengan pertanyaan seorang teman non-Muslim: ”Bukankah Islam agama pemaaf? Bukankah Tuhan Maha Pengasih? Kenapa setelah 20 tahun kaum Muslim masih terus saja membenci Rushdie?” Demikian tulis Luthfi Assyaukanie.

Salman Rushdhie dan Kaum Liberalis: Suka Menghina Nabi Saw

Siapakah Salman Rushdie? Nama Salman Rushdie mencuat ketika pada 26 November 1988, Viking Penguin menerbitkan novelnya berjudul The Satanic Verses (Ayat-ayat Setan). Novel ini segera memicu kemarahan umat Islam yang luar biasa di seluruh dunia. Novel ini memang sungguh amat sangat biadab. Rushdie menulis tentang Nabi Muhammad saw, Nabi Ibrahim, istri-istri Nabi (ummahatul mukminin) dan juga para sahabat Nabi dengan menggunakan kata-kata kotor yang sangat menjijikkan. Tahun 2008 lalu, saya membeli Novel ini dalam edisi bahasa Inggrisnya di sebuah toko buku di Jakarta.

Dalam novel setebal 547 halaman ini, Nabi Muhammad saw, misalnya, ditulis oleh Rushdie sebagai ”Mahound, most pragmatic of Prophets.” Digambarkan sebuah lokasi pelacuran bernama The Curtain, Hijab, yang dihuni pelacur-pelacur yang tidak lain adalah istri-istri Nabi Muhammad saw. Istri Nabi yang mulia, Aisyah r.a., misalnya, ditulis oleh Rushdie sebagai ”pelacur berusia 15 tahun.” (The fifteen-year-old whore ’Ayesha’ was the most popular with the paying public, just as her namesake was with Mahound). (hal. 381).

Banyak penulis Muslim menyatakan, tidak sanggup mengutip kata-kata kotor dan biadab yang digunakan Rushdie dalam melecehkan dan menghina Nabi Muhammad saw dan istri-istri beliau yang tidak lain adalah ummahatul mukminin. Maka, reaksi pun tidak terhindarkan. Fatwa Khomaini pada 14 Februari 1989 menyatakan: Salman Rushdie telah melecehkan Islam, Nabi Muhammad dan al-Quran. Semua pihak yang terlibat dalam publikasinya yang sadar akan isi novel tersebut, harus dihukum mati. Pada 26 Februari 1989, Rabithah Alam Islami dalam sidangnya di Mekkah, yang dipimpin oleh ulama terkemuka Arab Saudi, Abd Aziz bin Baz, mengeluarkan pernyataan, bahwa Rushdie adalah orang murtad dan harus diadili secara in absentia di satu negara Islam dengan hukum Islam.

Pertemuan Menlu Organisasi Konferensi Islam (OKI) pada 13-16 Maret 1989 di Riyadh juga menyebut novel Rushdie sebagai bentuk penyimpangan terhadap Kebebasan Berekspresi. Prof. Alaeddin Kharufa, pakar syariah dari Muhammad Ibn Saud University, menulis sebuah buku khusus berjudul Hukm Islam fi Jaraim Salman Rushdie. Ia mengupas panjang lebar pandangan berbagai mazhab terhadap pelaku tindak pelecehan terhadap Nabi Muhammad saw. Menurut Kharufa, jika Rushdie menolak bertobat, maka setiap Muslim wajib menangkapnya selama dia masih hidup.

Prof. Mohammad Hashim Kamali, dalam bukunya Freedom of Expression in Islam, (Selangor: Ilmiah Publishers, 1998), menggambarkan cara Rushdie menggambarkan istri-istri Rasulullah saw sebagai “simply too outrageous and far below the standards of civilised discourse.” Penghinaan Rushdie terhadap Allah dan al-Quran, tulis Hasim Kamali, “are not only blasphemous but also flippant.”

Manusia yang tindakannya begitu biadab terhadap Nabi Muhammad saw dan istri-istri beliau itulah, yang kemudian dianugerahi gelar kebangsawanan oleh Inggris. Seorang yang dimata umat Islam dicap sebagai penjahat besar justru disanjung dan diberi penghargaan. Dan saat umat Islam bereaksi, membela kehormatan Nabi-nya yang mulia, umat Islam lalu dituduh reaksioner, emosional, yang dalam istilah Luthfi Assyaukani disebut: “kelihatan betul bahwa kaum Muslim tampak sangat berlebihan.”

Buah Fikiran Kaum Liberalis dalam Menghina Rasulullah Saw

Di bulan Rabi’ulawwal 1431 Hijriah, bulan kelahiran Nabi Muhammad saw, seorang aktivis liberal membuat pernyataan yang mengherankan. Hari itu, Rabu (17/2/2010), sebagai saksi ahli pihak penggugat kasus UU Penodaan Agama, UU No. 1/PNPS/1965, Luthfi Assyaukanie membuat pernyataan:

”Setiap pemunculan agama selalu diiringi dengan ketegangan dan tuduhan yang sangat menyakitkan dan seringkali melukai rasa kemanusiaan kita. Ketika Rasulullah Muhammad SAW mengaku sebagai nabi, masyarakat Mekah tidak bisa menerimanya. Mereka menuduh nabi sebagai orang gila dan melempari beliau dengan kotoran unta. Para pengikut nabi dikejar-kejar, disiksa dan bahkan dibunuh seperti yang terjadi pada Bilal bin Rhabah sang muadzin dan keluarga Amar bin Yasar. Hal serupa juga terjadi pada Lia Aminuddin ketika dia mengaku sebagai nabi dan mengakui sebagai jibril. Orang menganggapnya telah gila dan sebagian mendesak pemerintah untuk menangkap dan memenjarakannya. Kesalahan Lia Aminuddin persis sama dengan kesalahan Kanjeng Nabi Muhammad, meyakini suatu ajaran dan berusaha menyebarluaskannya.” (Dikutip dari Risalah Sidang Mahkamah Konstitusi, www.mahkamahkonstitusi.go.id).

Di sejumlah media, saksi ahli yang juga dikenal sebagai pentolan Jaringan Islam Liberal (JIL) ini diberitakan mengaku, menyampaikan ungkapannya dengan sadar. Bahkan, ia mengaku sempat merevisi draf untuk MK hingga beberapa kali. Menurut dia, Islam pada awalnya adalah salah, menurut orang Quraisy. Muhammad lalu dikejar-kejar oleh kelompok mayoritas kaum Quraisy itu. Lalu, hal yang sama terjadi sekarang pada kasus Lia Eden. Itulah pendapat Luthfi Assyaukanie, yang juga doktor bidang studi Islam, lulusan Melbourne University.

Dalam keyakinan kaum Muslim, Nabi Muhammad saw adalah Nabi terakhir. Beliau seorang yang pintar, jujur, amanah, dan menyampaikan risalah Allah SWT kepada semua manusia. Beliau adalah uswah hasanah, suri tauladan yang baik. Beliau diutus untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam. KaumMuslimin sangat mencintai Nabi Muhammad saw. Selama 24 jam, ratusan juga kaum Muslim di seluruh dunia tidak berhenti berdoa untuk Sang Nabi yang sangat mulia ini. Bahkan, tidak sedikit kaum Muslim rela mati demi kehormatan Sang Nabi.

Syaikhul Islam Ibn Taimiyah menulis sebuah kitab khusus berjudul ”Ash-Sharimul Maslul ’Ala Syatimir Rasul”. (Pedang Yang Terhunus untuk Penghujat Nabi). Kitab ini merekam pendapat semua mazhab tentang kedudukan orang yang melecehkan Nabi Muhammad saw. Sahabat-sahabat Nabi saw bersedia menjadi perisai bagi Sang Nabi demi melindunginya dari serangan panah kaum kafir di medan Perang Uhud. Shalawat untuk Sang Nabi, kekasih dan utusan Allah, menjadi rukun keabsahan shalat setiap Muslim.

Logikanya, menghina presiden atau raja saja ada sanksi hukumnya. Presiden SBY sempat marah karena diserupakan dengan kerbau oleh para demonstran. Sebab, SBY bukan kerbau, dan tidak patut disamakan dengan kerbau. Meskipun ada sejumlah persamaan antara SBY dengan kerbau. SBY memiliki dua mata. Kerbau juga bermata dua. SBY mulutnya satu. Kerbau juga bermulut satu. Tapi, menyamakan SBY dengan kerbau adalah tindakan yang sangat tidak patut. Presiden SBY juga tidak terima dikatakan punya istri lagi dan sempat membawa kasus itu ke pengadilan. Jika menghina Presiden saja ada sanksi hukuknya, bagaimana dengan penghinaan kepada utusan Allah, Tuhan yang mencipta alam semesta? Utusan Presiden saja harus dihormati; apalagi utusan Allah. Jika ada yang mengaku-aku sebagai utusan Presiden, padahal dia berbohong, maka patutlah ia diberi sanksi hukum. Bagaimana dengan orang yang mengaku sebagai utusan Allah, padahal dia adalah penipu?!

Bagi orang Muslim, persoalan mendasar semacam ini sudah jelas sejak awal. Seorang disebut Muslim karena dia membaca dan meyakini syahadat: bahwa Tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Jika orang tidak mengakui Muhammad saw sebagai Nabi, maka jelas dia bukan Muslim. Tentulah, mengimani Sang Nabi itu ada konsekuensinya. Kaum Yahudi dan Nasrani menolak mengakui kenabian Muhammad saw, setelah datang bukti-bukti yang jelas pada mereka. Sebab, mengakui kenabian Muhammad saw memiliki konsekuensi yang berat bagi mereka.

Sebagian masyarakat Madinah ketika itu ada juga yang berpura-pura beriman, tetapi mereka sangat membenci Nabi Muhammad saw. Bahkan, mereka tak henti-hentinya mencerca, menfitnah, dan berusaha mencelakai Nabi Muhammad saw. Manusia-manusia yang mengaku Islam tetapi hatinya sangat membenci Islam itulah yang disebut kaum munafik, yang ciri-cirinya banyak disebutkan dalam al-Quran. Manusia pasti masuk dalam salah satu dari tiga kategori ini: Mukmin, kafir, dan munafik. (QS al-Baqarah: 2-20). Tentu, kita berharap, masuk kategori Mukmin, yang yakin akan kenabian Muhammad saw, mencintai beliau, menghormati beliau, dan berusaha sekuat tenaga kita menjadikan beliau sebagai suri tauladan kita sehari-hari.

Dalam perspektif inilah, wajar jika ada yang terbengong-bengong ketika menyimak pidato seorang yang mengaku Islam, tetapi berani menista Nabi Muhammad saw, menyamakan derajat Nabi yang mulia dengan Lia Eden. Padahal, untuk Sang Nabi saw, setiap saat umat Islam dan para Malaikat pun membacakan shalawat untuknya. Hinaan dan cercaan itu dilakukan atas nama ”Kebebasan Beragama”.

Tahun 2007, Lia Eden mengaku sebagai Malaikat Jibril dan mengancam akan mencabut nyawa Ketua Mahkamah Agung RI, Prof. Bagir Manan. Dalam sebuah suratnya bertanggal 25 November 2007, Lia Eden, menulis: “Atas nama Tuhan Yang Maha Kuat. Aku Malaikat Jibril adalah hakim Allah di Mahkamah Agungnya... Akulah Malaikat Jibril sendiri yang akan mencabut nyawamu. Atas Penunjukan Tuhan, kekuatan Kerajaan Tuhan dan kewenangan Mahkamah Agung Tuhan berada di tanganku.”

Tahun 2003, Lia Eden masih mengaku ”berkasih-kasihan dengan Melaikat Jibril”. Dalam bukunya, Ruhul Kudus (2003), sub judul ‘’Seks di sorga’’, diceritakan kisah pacaran dan perkawinan antara Jibril dengan Lia Eden: ‘’Lia kini telah mengubah namanya atas seizin Tuhannya, yaitu Lia Eden. Berkah atas namanya yang baru itu. Karena dialah simbol kebahagiaan surga Eden. Berkasih-kasihan dengan Malaikat Jibril secara nyata di hadapan semua orang. Semua orang akan melihat wajahnya yang merona karena rayuanku padanya. Aku membuatkannya lagu cinta dan puisi yang menawan. Surga suami istri pun dinikmatinya.’’

Manusia seperti Lia Eden inilah yang dikatakan telah melakukan kesalahan sama dengan yang dilakukan Nabi Muhammad saw. Bagaimana mungkin orang yang mengaku Islam bisa berkata seperti itu? Lia Eden adalah pembohong. Sedangkan Nabi Muhammad tidak pernah berbohong sepanjang hidupnya. Lia ditolak oleh umat Islam. Nabi Muhammad saw ditolak oleh kaum kafir. Nabi Muhammad saw adalah Nabi sejati. Beliau tidak salah. Lia Eden adalah Nabi palsu. Dia jelas-jelas salah. Bukan hanya itu, Lia Eden telah bersikap tidak beradab, karena mengaku mendapatkan wahyu dari Jibril dan bahkan akhirnya mengaku sebagai Malaikat Jibril.

Kini, atas nama ”Kebebasan Beragama”, sekelompok orang menuntut agar di Indonesia tidak ada lagi peraturan yang menghakimi satu aliran sesat atau tidak. Bahkan, Lia Eden disetarakan kedudukannya dengan Nabi Muhammad saw. Padahal, Nabi Muhammad saw adalah Nabi sejati. Menurut kaum pemuja paham Kebebasan, keyakinan keagamaan seseorang harus dilindungi, karena itu masuk dalam arena ”forum internum”. Yang boleh dibatasi oleh negara hanyalah ”forum externum”. Selama tidak mengganggu ketertiban umum, misalnya, maka hak untuk mengekspresikan keyakinan keagamaan seseorang harus dilindungi. Keyakinan dan hak kaum Ahmadiyah untuk mengekspresikan dan menyebarkan ajaran agamanya harus dilindungi, sebab mereka juga manusia yang punya hak yang sama dengan kaum beragama lainnya.

Di sinilah letak absurditas dan tidak masuk akalnya logika kaum pemuja paham Kebebasan ini. Mereka hendak memaksakan agar semua orang Muslim bersikap ”netral agama” dalam melihat segala sesuatu. Ketika melihat soal agama, meskipun secara formal mengaku Muslim, golongan ini melepaskan dirinya dari ke-islaman-nya sendiri. Dia berpikir dan bersikap netral. Dia tidak mau menentukan mana yang salah dan mana yang benar. Semuanya dianggap sama. Tidak ada istilah mukmin, kafir, muslim, sesat, dan sebagainya. Bagi mereka, semuanya sama. Yang penting agama. Maka, tidak aneh, jika mereka akan sampai pada kesimpulan, bahwa kedudukan Nabi Muhammad saw disamakan dengan Lia Eden, Mirza Ghulam Ahmad, Mosadeg, dan nabi-nabi palsu lainnya.

Kebebasan Mutlak Bagi Kaum Liberalis, bukan Kebenaran

Bagi kelompok semacam ini, yang terpenting adalah ”Kebebasan”, bukan Kebenaran. Tentu saja, paham ini sangat merusak. Jika seorang kena paham semacam ini, bubarlah Islamic worldview atau pandangan-alam Islam-nya. Pandangan alam, menurut Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas adalah ”Islamic vision on truth and reality”. Seorang Muslim pasti memiliki pandangan-alam yang berbeda dengan orang kafir. Bagi seorang Muslim, Muhammad saw adalah seorang Nabi yang ma’shum. Maka, wahyu yang disampaikan oleh Allah kepada beliau (al-Quran) adalah benar. Bagi kaum Yahudi, Muhammad saw bukanlah Nabi, tetapi pembohong, karena mengaku menerima wahyu yang ditulisnya dari sumber kitab-kitab Yahudi. Karena itulah, Dr. Abraham Geiger, seorang tokoh Yahudi Liberal, menulis buku ”What did Muhammad Borrow from Judaism”.

Kaum Nasrani pasti juga tidak mengakui Muhammad saw sebagai Nabi dan al-Quran sebagai wahyu. Sebab, jika mereka mengakui itu, sama saja dengan menyatakan, bahwa agama mereka adalah salah. Karena al-Quranlah, satu-satunya Kitab yang secara sangat terperinci menjelaskan kekeliruan paham keagamaan kaum Yahudi dan Nasrani. Hanya al-Quranlah satu-satunya Kitab Suci yang menegaskan posisi Nabi Isa a.s. sebagai Nabi dan Rasul Allah, bukan sebagai Tuhan, anak Tuhan, atau salah satu dari Tiga oknum dalam Trinitas.

Karena itu, dalam perspektif Islamic worldview ini, kita sering dibingungkan dengan posisi kaum Pemuja Kebebasan, dimanakah sebenarnya posisi mereka? Islam bukan; Kristen bukan, Yahudi bukan; Hindu Budha juga bukan! Lalu dimana posisi mereka? Posisi mereka adalah netral agama. Posisi tidak beragama. Artinya, meskipun mereka mengaku beragama, tetapi mereka tidak mau menggunakan ajaran agamanya sebagai dasar untuk memandang atau menilai realitas kehidupan. Agama adalah urusan privat antara dirinya dengan Tuhan. Agama adalah laksana baju. Kapan saja bisa ditukar atau diganti. Ketika masuk Istana atau ruang sidang parlemen, agama harus ditaruh di luar ruangan. Jangan dibawa-bawa. Ketika mengajar filsafat, agama jangan dibawa-bawa. Sebab, filsafat adalah berfikir bebas, sebebas-bebasnya di luar batas agama. Ketika membahas masalah kebebasan, agama juga harus disingkirkan. Paham seperti inilah yang dipuja-puja dan dibanggakan, yang katanya melahirkan manusia hebat dan bermartabat. Dalam perspektif Islam, paham netral agama jelas keliru.

Mimpi yang Mengusik Kalbu

Syahdan, suatu malam, saat hujan turun dengan derasnya dan petir sambar menyambar, datang sebuah mimpi aneh. Mimpi ini benar-benar mimpi. Saya belum pernah bermimpi seperti ini. Tampak dalam mimpi saya, seorang anak kecil berlarian di pematang sawah di pelosok kampung daerah ujung Bekasi. Kulitnya dipenuhi dengan kudis dan kurap. Ingusnya hampir tak berhenti meleleh. Lidahnya sering menjulur-julur. Tampak ia kehausan dan kelaparan. Pakaiannya lusuh. “Bisa bantu saya, Mas. Saya Keni,” katanya, saat saya lewat dihadapannya.

Saya ulurkan tangan memberi uang sekedarnya. Belum sempat dia mengucapkan terimakasih, saya terbangun! Tangis anak saya memotong mimpi. Pada hari lain, mimpi itu datang lagi. ”Masih ingat saya Mas,” sapa seorang pemuda. Tentu saja saya terkejut. Saya pandangi wajah anak muda itu. Pemuda di hadapan saya ini seorang ”perlente”. Jasnya keren. Jamnya berkilau keemasan. Mukanya ”klimis”. Rambut keritingnya tersisir rapi. Wajahnya beberapa kali saya lihat di media massa. ”Saya Keni, Mas! Yang dulu Mas kasih bantuan. Terimakasih Mas, atas bantuannya,” ujarnya memperkenalkan.

”Lho, kamu?” saya nyaris tak percaya. ”Kamu yang sekarang jadi penghujat Nabi Muhammad!?” masih dengan nada tak percaya. ”Memangnya kenapa Mas? Sekarang kan zaman kebebasan. Saya kan kerja untuk LSM Kebebasan! Ini untuk kerja saja Mas. Itung-itung nebus masa kecil yang sengsara!” katanya, seperti tanpa beban.

”Kan kamu pernah ngaji di pesantren!” saya masih keheranan. Saya tatap wajah anak muda itu dalam-dalam. Ia agak salah tingkah.

”Ya, itu kan dulu! Sekarang zaman sudah beda Mas, yang penting uang; hidup enak. Saya dulu miskin, disepelekan orang. Sekarang saya bisa berbangga dan membantu orang tua. Saya tidak miskin lagi. Kalau pulang kampung, banyak yang bisa saya bantu,” ujar Keni lagi.

”Tapi, kan kamu jual iman, namanya. Apa kamu tidak takut pada Allah. Tidak kasihan sama orang tua kamu, yang mengharapkan agar kamu jadi anak shaleh?”

”Ah Mas ini, kayak tidak tahu saja! Orangtua saya juga tidak tahu aktivitas dan pemikiran saya yang sebenarnya.”

”Kamu keterlaluan, bertobatlah sebelum terlambat!”

”Bagaimana caranya bertobat Mas. Apa Mas mau ganti penghasilan saya yang puluhan juta rupiah sebulan? Saya sudah terlanjur Mas. Mungkin, ini sudah menjadi jalan hidup saya. Mungkin sudah takdir saya begini.”

”Masih ada kesempatan untuk bertobat! Kamu diperalat oleh hawa nafsu, oleh setan. Kamu menyangka memperjuangkan kebebasan, padahal itu kebebasan ala iblis! Itu bukan kebebasan dalam ajaran Islam. Masak orang yang melecehkan Islam dan mengaku Nabi kamu belain. Kasihan kamu dan orang tua kamu. Kamu disekolahkan agama jauh-jauh ke luar negeri, tetapi hasilnya malah kamu jadi begini. Kamu jadi perusak agama. Sadar nggak sih kamu dengan apa yang kamu lakukan!”

”Terus terang Mas, kadangkala saya juga sempat terlintas pikiran seperti itu. Ingin juga ke pesantren kembali, berjuang bersama dengan para kyai saya dulu. Tetapi, pikiran seperti itu segera saya tepis, karena tidak realistis. Saya harus berperan seperti ini! Ini tuntutan Mas!”

”Tuntutan dari siapa?” saya mendesak Keni untuk mengaku.

”Tidak bisa saya sebutkan, Mas! Pokoknya saya harus menyampaikan, bahwa Islam itu sudah usang. Islam harus dikecilkan. Islam tidak boleh tampil. Apalagi sampai diterapkan di tengah masyarakat dan tataran kenegaraan. Ini sangat berbahaya. Saya juga harus mengatakan bahwa Liberalisme dan Sekularisme itulah yang cocok bagi umat Islam dan bagi bangsa Indonesia, agar negara ini menjadi negara yang maju dan hebat seperti Amerika,” Keni mulai terbuka.

”Sepertinya, kamu tidak yakin dengan pikiranmu sendiri,” saya memancing agar Keni mau mengungkap lebih jauh lagi.

”Semula saya memang tidak yakin. Semula saya menjadi begini hanya karena pergaulan saja. Tapi, lama-lama saya merasakan sulit sekali keluar dari pemahaman seperti ini. Apalagi kebutuhan saya sudah dicukupi semua. Doakan saja Mas, siapa tahu, suatu ketika saya bisa berubah. Tapi, entahlah, apa bisa atau tidak,” ujarnya lirih, sambil menghela nafas.

”Tapi, kenapa kamu sampai berani menghina Nabi Muhammad?”

”Begini Mas cerita sebenarnya...”

Belum sempat Keni meneruskan kata-katanya, seorang wanita bule tiba-tiba muncul dan membentaknya: ”Keni!” Aneh, Keni langsung diam. Tampak dia hanya menunduk. Termangu, sambil menggosok-gosok tangan kanannya ke celana. Lalu, dia berujar pelan, sambil sesekali menengok ke arah saya:

“Sorry, Mam! Saya baru saja menyatakan pada Mas ini, bahwa sebenarnya Nabi Muhammad itu pelanggar HAM. Dia sebenarnya hanya ngaku-ngaku saja menjadi Nabi. Sama seperti Mirza Ghulam Ahmad dan Lia Eden. Kalau Muhammad boleh menyiarkan agamanya, mengapa Ghulam Ahmad dan Lia Eden tidak boleh? Umat Islam bisanya hanya marah saja. Umat Islam tidak menghargai Kebebasan Beragama. Umat Islam bisanya mengumbar emosi. Tidak santun. Saya kadang kala malu jadi orang Islam. Tidak seperti orang-orang Kristen dan Yahudi dan agama-agama lain, yang lebih ramah dan sabar dalam menghadapi kasus penodaan agama. Ya kan, Mas!? Saya kan tadi ngomong seperti itu!”

Saya bengong dan nyaris tak percaya dengan apa yang saya lihat. Keni, pemuda kampung yang dulu kudisan, miskin, sekarang jadi pemuda ”keren”, pintar, disanjung sampai manca negara sebagai pejuang Kebebasan Beragama. Bahkan, ada yang menjadikannya sebagai idola. Saya mencoba merenungkan, sedalam-dalamnya. Benarkah hanya karena masalah uang, dia jadi begini? Atau, ada masalah lain? Ah, peduli setan soal motif tindakan Keni. Juga, apakah yang disampaikan Keni itu bisa dipercaya atau tidak, itu tidaklah terlalu penting.

Saya pun mencoba merenung-renung, siapa wanita bule yang dipanggil ”Mam” dan begitu ditakuti Keni. Wanita setengah baya itu matanya tajam mengawasi gerak-gerik dan ucapan Keni. Pakaiannya menampakkan dia seorang terpelajar. Wajahnya lumayan cantik, untuk ukuran rata-rata orang bule.

Tak tahan dengan segala keanehan dan kejengkelan di hadapan saya, tiba-tiba saya berteriak sekeras-kerasnya: ”Keniiii...., kamu pen..........!”

”Mas, mas.....bangun....bangun....! Saya tersadar. Bangun. Lama saya duduk termangu; merenungkan mimpi ini. Benarkah ini hanya mimpi? Alhamdulillah, ini benar-benar mimpi. Segera saya baca doa bangun tidur:

(Segala puji bagi Allah yang menghidupkan aku kembali setelah mematikan aku dan kepada Allah akan bangkit Alhamdulillahilladzi ahyanaa ba’da maa amatanaa wa-ilaihin nusyuur).

--------------------------------------------------------------------------------
[PP Husnayain, Sukabumi, 22 Februari 2010/www.hidayatullah.com]
Catatan Akhir Pekan [CAP Adian Husaini adalah hasil kerjasama Radio Dakta 107 FM dan

www.hidayatullah.com
http://www.adianhusaini.com
http://www.insistnet.com

So Sweet Nenek dan Kakek

Have a Nice Weekend Everyone



Suatu malam, sepasang kakek nenek berbaring di ranjang. Si Kakek hampir tertidur, sedangkan si Nenek melamun, mengenang masa-masa romantis dulu. Sesekali si nenek terlihat tersenyum, tetapi entah apa yang membuat dia tersenyum. Tiba-tiba si Nenek berkata,

"Dulu kamu biasa memegang tanganku saat kita baru menikah".

Dengan menahan kantuk, si Kakek memegang sebentar tangan si Nenek, kemudian si kakek kembali tidur. Sebentar kemudian, si Nenek berkata,

"Lalu, kamu biasa menciumku".

Dengan sedikit jengkel karena ngantuk, si Kakek mengecup pipi si Nenek, lalu berbaring kembali melanjutkan tidurnya. Setengah menit kemudian, si Nenek kembali berkata,

"Kemudian, kamu biasa menggigit leherku".

Duh, kayak drakula. Namun Si Kakek jengkel dengan nostalgia si nenek. Sang kakek dengan marah menyibakkan selimutnya, lalu turun dari ranjang dan berjalan pergi.

"Kamu mau kemana, sayangku?", si Nenek bertanya keheranan.

"Mau mengambil gigiku !!!

jawab si kakek terus negeloyor. Akankah dia jadi menggigit leher si nenek dengan gigi palsunya?


--------------------------------
Maaf Yanthi Reddy, kubajak catatan akhir pekanmu.

Perempuan Buta Itu

Di sudut pasar kota Madinah, seorang pengemis Yahudi bermata buta duduk di pojok pasar. Setiap hari ia berseru kepada orang-orang yang mendekatinya:

"Wahai saudaraku, jangan kau dekati Muhammad. Dia itu orang gila, pembohong besar. Dia itu tukang sihir. Bila mendekatinya, kalian akan dipengaruhinya".

Tetapi setiap pagi pula Rasulullah Saw mendatanginya dengan membawa makanan. Tanpa berkata sepatah katapun, beliau menyuapinya walaupun pengemis itu selalu berteriak untuk tidak mendekati orang yang bernama Muhammad. Kebiasaan itu dilakukan beliau sampai menjelang wafat. Setelah beliau wafat, maka tidak ada lagi orang yang membawakan makanan setiap pagi buat pengemis buta itu.

Suatu saat Abubakar R.a berkunjung ke rumah anaknya, Aisyah R.ha. Beliau bertanya kepada anaknya,

"Anakku, apakah masih ada lagi sunnah kekasihku yang belum kukerjakan".

Aisyah R.ha menjawab, "Wahai ayah, engkau adalah ahli sunnah. Hampir tidak ada satu sunnahpun yang belum ayah lakukan, kecuali satu sunnah lagi".

"Apakah Itu?", tanya Abubakar R.a.

Lalu Aisyah bercerita bahwa setiap pagi Rasulullah Saw selalu pergi ke ujung pasar. Beliau membawakan makanan untuk seorang pengemis Yahudi yang matanya buta.

Esok harinya, Abubakar R.a. ke pasar, membawa makanan untuk pengemis buta itu. Abubakar R.a. mulai menyuapi. Tiba-tiba pengemis itu marah dan berteriak,

"Siapa kamu ?".

Abubakar r.a menjawab, "Aku orang yang biasa dan akan terus memberimu makan".

Karena merasa berbeda, pengemis buta itu berkata, "Bukan. Engkau bukan orang itu".

Kemudian pengemis buta itu bercerita bahwa orang yang biasanya datang kepadanya tangannya tidak canggung dan kaku. Tidak susah mulutnya mengunyah. “Dia menyuapiku dengan terlebih dahulu makanan itu dihaluskannya dengan mulutnya”. Perlu diketahui bahwa di kalangan masyarakat Arab, kebiasaan mengunyahkan makanan buat orang yang disayangi itu lumrah dilakukan.

Abubakar r.a. tidak dapat menahan air matanya. Beliau menangis sesunggukan.

“Aku memang bukan orang yang biasa mendatangimu. Tetapi aku adalah salah seorang sahabatnya. Dia orang yang mulia. Tetapi dia telah meninggal dunia. Dia adalah Muhammad Rasulullah Saw”, kata Abubakar Ra di sela-sela tangisnya.

Mendengar keterangan Abubakar Ra, pengemis itu tertegun, termenung sejenak. Tetapi ia kemudian menangis sejadi-jadinya. Berulang-ulang ia bertanya, apa itu benar? Kemudian ia berkata:

“Selama ini aku selalu menghinanya, memfitnahnya. Ya Allah, ia tidak pernah marah kepadaku sedikitpun. Ia bahkan mendatangiku dengan membawa makanan setiap pagi. Ya Allah, betapa mulianya dia”, ujarnya di antara tangisan. Pengemis Yahudi yang buta tersebut akhirnya bersyahadat di hadapan Abubakar R.a. Ia masuk Islam


------------------------------------------
Sumber : Kitab Hayatush Shahabah.