Jumat, 19 Maret 2010

Nina

Setiap tahun, aku suka berkeliling ke berbagai panti asuhan dan rumah anak yatim. Kunjungan biasanya kulakukan dua kali. Awal bulan Ramadhan dan akhir bulan Ramadhan. Kunjungan pertama biasanya adalah survey untuk tahu kebutuhan panti asuhan atau rumah yatim tersebut. Baru pada kunjungan kedua aku membawa bantuan, sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan.

Ketika berkunjung ke salah satu rumah yatim, aku bertemu dengan bocah kecil yang bernama Nina.

"Apa yang engkau mau, sayang" begitu aku membuka percakapan. "Mau baju baru? Sepatu baru? Tas baru? Atau apa, nak?” bertubi-tubi cecaran pertanyaan dariku. Kulihat ia tersipu. Anak kecil yang polos itu terlihat malu. Lalu ia berkata:

“Aku malu mengatakannya. Takut om marah”.

"Kenapa malu?” kataku. “Katakan saja, om tidak akan marah”. Kataku mendesaknya. Tetapi Nina kecil itu tetap ragu mengatakannya.

“Nggak, ah”. Itu juga yang terus disebutkan: Ia ragu dengan keinginannya sendiri. Kupikir, bisa jadi, permintaan Nina itu adalah sesuatu yang mahal. Aku semakin ingin tahu. Aku mendekatinya.

“Ayo, katakan saja, apa inginmu”, kembali ia kudesak.

"Tapi janji, ya? Om tidak marah?" jawab Nina dengan manja. Jari tunjuk dan tengah tanganku kubentuk huruf V (Victory), sambil berkata:.

"Om janji tidak akan marah", kataku untuk meyakinkannya.

"Bener om tidak akan marah?" katanya, tetapi ia sendiri agak ragu. Aku segera menganggukkan kepala, pertanda setuju untuk tidak marah.

Nina menatap tajam wajahku, sementara aku berpikir, apa gerangan yang diminta Nina: Seberapa mahal benda yang diinginkan bocah kecil ini.

"Ayo katakan, jangan takut. Om tidak akan marah".

Nina terus menatap wajahku. "Bener, ya, om tidak marah?" Kepala kuanggukkan. Dengan wajah harap-harap cemas, Nina mengajukan permintaanya:

“Bolehkan Nina memanggil om dengan panggilan ayah?"

Aku terpana mendengar permintaan itu. Tiba-tiba saja air mataku meleleh, keluar dari bendungannya. Gadis kecil itu kupeluk erat.

“Tentu, anakku. Tentu saja boleh. Dan mulai hari ini, Nina boleh memanggil ayah. Bukan om lagi".

Dalam pelukanku yang erat, gadis kecil itu memeluk erat tubuhku juga, sambil berkata,

"Terima kasih, ayah".

Hari itu, adalah hari yang tak akan terlupakan buatku. Di panti itu, kuhabiskan waktu beberapa saat untuk bermain dan bercengkerama dengan Nina. Karena merasa belum memberikan sesuatu yang berbentuk material kepada Nina, sebelum pulang aku berkata kepadanya:

"Anakku, sebelum lebaran nanti, ayah akan datang lagi ke mari bersama ibu dan kakak-kakakmu. Apa yang kamu minta, nak?"

"Nina sudah boleh memanggil ayah, itu sudah lebih dari cukup", kata Nina. Terharu betul rasanya mendengar jawaban itu.

"Nina masih boleh minta yang lain. Nina boleh minta sepeda, otoped atau yang lain, pasti ayah berikan", kataku berharap. Kemudian Nina memegang tanganku.

“Nina mohon nanti kalau ayah datang bersama ibu dan kakak-kakak, aku minta kita foto bareng”.
Tiba-tiba kedua kakiku lunglai, terduduk dan bersimpuh di depan Nina. Kupeluk tubuh kecil itu.

"Nina ingin tunjukkan sama temen-temen di sekolah: Ini foto ayah Nina, ini ibu Nina, ini kakak-kakak Nina", begitu katanya lagi.

Aku memeluk Nina semakin erat. Rasanya aku tak mau berpisah dengan seorang bocah yang hari itu telah menjadi guru kehidupan bagiku.

Terima kasih Nina. Walau usiamu masih belia, kau telah mengajarkan kepadaku tentang makna berbagi cinta. Sesuatu yang lebih berharga dari benda yang kasat mata. Berbagi cinta, maka kehidupan lebih bermakna. Berbagi cinta, agar orang lain merasakan manfaat keberadaanmu di dunia ini.


---------------------------------------------
Diadaptasi dari Cerpen “Berbagi Cinta”.
http://www.facebook.com/home.php?#!/?page=1&sk=messages&tid=1252622070862

Tidak ada komentar:

Posting Komentar