Jumat, 19 Maret 2010

Senja Itupun Bertasbih

Sepenggal Kisah Khalifah Abdul Malik bin Marwan



Lelaki itu berjalan di kegelapan malam yang dingin. Ia mengenakan pakaian yang bersahaja, meyaru menjadi orang kebanyakan. Sayup-sayup ia mendengar suara wanita yang sedang mensenandungkan puisi tentang kerinduan kepada seseorang.

Air mata ini mengalir bersama larutnya malam
sedih hati ini telah mengiris hati dan merampas tidurku
bergulat aku melawan malam
terawangi ribuan bintang di kegelapan
hasrat rindu mendera-dera yang melukai iwa

Sejenak lelaki ini terdiam. Ia terpaku mendengarkan bait puisi itu. Tiba-tiba saja sukmanya dikejutkan lagi. Kali ini bukan bait puisi yang disenandungkan, tetapi sebuah untaian doa yang dipanjatkan kepada Tuhan.

Ya Allah,
yang memperjalankan unta-unta,
yang menurunkan kitab-kitab,
yang memberikabulkan para pemohon,

Aku memohon kepadaMu
agar Engkau mengembalikan suamiku
yang telah pergi lama,
agar dengan itu Engkau lepaskan resahku.
Engkau gembirakan mataku.

Ya Allah,
tetapkanlah hukumMu
di antara aku dengan khalifah Abdul Malik bin Marwan
karena perang ini telah memisahkan kami.

Tubuh lelaki itu bergetar. Ada derai air mata di kelopak matanya. Lelaki itu sadar bahwa telah terjadi kezhaliman di sana, yang memisahkan seorang suami dengan istrinya.

Wanita itu, mensenandungkan puisi rindu dan doa. Ia sedang menuntut haknya. Hak kenyamanan badan. Hak ketenteraman bathin. Hak merasakan letupan gairah yang mempesona setelah Allah SWT menghalalkanya. Hak merasakan nikmatnya bertemu rasa dua air liur dari sepasang suami istri yang sah.

Lelaki itu sadar, sebenar-benarnya sadar. Kemudiaan dibuatlah maklumat perintah kepada seluruh warga negara:

"Siapapun yang menjadi seorang suami, ia tidak boleh meninggalkan Istrinya lebih dari enam bulan, dengan alasan apapun”.

Lelaki yang digugat itu bernama Abdul Malik bin Marwan. Ia adalah seorang Khalifah dari Bani Umayyah.

Kita mendapatkan pembelajaran bahwa sebagai seorang suami, hubungan intim dengan istri(-istri)nya adalah jalan membangun sakinah dan mawaddah itu, agar jiwa tenang di luar, tak tergoda oleh bayangan cantik yang lain. Hubungan intim itu adalah jalan menundukkan pandangan.

Ketika pulang kerja pada senja hari dengan tubuh letih, namun kau lihat senyuman manis bidadarimu menyambut dengan segelas air minum. Ada kelegaan di sana. Ada kebahagiaan di sana. Engkau ‘kan mengatakan padanya:

"Terima kasih cintaku”.

Kau kecup keningnya. Tak ada lagi yang dirasakan oleh dirimu dan istrimu selain ketenangan jiwa. Kenyamanan hati.

Di senja itu, malaikat menyaksikan senyuman istrimu sebagai tasbih. Pun, ucapan terima kasihmu adalah tasbih. Kecupanmu itu adalah tasbih. Semuanya bertasbih memuji keagunganNya, menyusupkan rasa cinta di hati. Ada kedamaian di sana, pada hati ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar