Minggu, 07 Maret 2010

Lelaki Itu Suka Memberi

Memperingati Keteladanan Nabi Muhammad Saw



Hari itu seorang lelaki menemui Nabi Saw, meminta sesuatu. Beliau memberinya. Besoknya lelaki itu datang lagi, Nabi Saw memberinya. Besoknya datang lagi dan kembali beliau memberinya. Hari berikutnya ia datang lagi. Namun kali ini Nabi Saw berkata: “Aku tidak punya apa-apa lagi. Tapi ambillah apa yang kau mau, lalu jadikan itu sebagai utangku. Kalau aku punya, kelak akan kubayar.”

Melihat ini Umar berkata, “Wahai Rasulullah janganlah memberi di luar batas kemampuanmu”. Tetapi perkataan ini tidak disukai beliau. Tiba-tiba datang seorang lelaki Anshar lalu berkata, “Ya Rasulullah, jangan takut berinfak. Jangan takut miskin”. Ucapan lelaki itu membuat Rasulullah tersenyum. Lalu beliau berkata kepada Umar, “Ucapan itulah yang diperintahkan Allah kepadaku”.

Suatu ketika, Jubair bin Muth’im sedang berjalan bersama Rasulullah Saw. Tiba-tiba beberapa orang mencegat beliau dan meminta sesuatu dengan paksa, sampai-sampai beliau disudutkan ke sebuah pohon berduri. Seorang dari mereka mengambil mantelnya. Nabi Saw tertegun sejenak, kemudian tersadar dan berseru, ”Berikan mantelku itu! Itu kupakai untuk menutupi auratku. Seandainya aku punya banyak mantel, tentu akan kubagikan kepada kalian”.

Istri Nabi Saw, Ummu Salamah, bercerita. Suatu saat Rasulullah Saw masuk ke rumahku dengan muka pucat. Aku khawatir kalau-kalau beliau sakit. “Ya Rasulullah, mengapa wajahmu pucat?” tanyaku. Kemudian Nabi Saw menjawab, ”Aku pucat bukan karena sakit, melainkan karena aku ingat ada uang tujuh dinar yang kita dapat kemarin, tetapi sampai sore ini masih berada di bawah kasur dan belum kita infakkan”.

Ini cerita Aisyah Ra. Ketika sakit, Nabi Saw menyuruhku bersedekah dengan uang tujuh dinar yang disimpan di rumah. Tiba-tiba beliau jatuh pingsan. Ketika siuman, Nabi Saw bertanya: “Sudah kau sedekahkan uang itu?” Aisyah berkata: “Belum. Kemarin aku sangat sibuk”. Nabi Saw lalu berkata: “Mengapa begitu? Ambil uang itu!”. Begitu uang itu ada di hadapannya, beliau berkata: “Bagaimana menurutmu seandainya aku tiba-tiba meninggal, sementara uang ini belum kusedekahkan? Uang ini tidak akan menyelamatkan Muhammad seandainya ia meninggal sekarang”.

Suatu hari Sahl bin Sa’ad menyaksikan seorang perempuan menghadiahkan kepada Nabi Saw sepotong syamlah yang ujungnya ditenun (syamlah itu mirip jubah, adalah baju lapang yang menutupi seluruh badan). Perempuan itu berkata, “Aku yang menenunnya dan kuhadiahkan kepadamu”. Rasulullah Saw menyukainya. Tanpa basa-basi beliau mengambil dan langsung memakainya. Tak lupa mengucapkan terima kasih kepada wanita itu. Beliau membutuhkan sekaligus menyukainya

Tidak lama kemudian, datang seorang lelaki meminta syamlah itu. Rasulullah Saw memberikannya. Para shahabat ngomel panjang pendek dan mengecam lelaki itu. Mereka katakan bahwa Rasulullah menyukai syamlah itu. “Mengapa kau memintanya? Kalian kan tahu bahwa Rasulullah tidak pernah tidak memberi kalau diminta?” Tetapi lelaki itu menjawab, “Aku memintanya bukan untuk dipakai sebagai baju, melainkan untuk kain kafanku nanti kalau aku meninggal”. Tidak lama kemudian lelaki itu meninggal dan syamlah tersebut menjadi kain kafannya.

Adalah Thalhah bin Ubaidillah, seorang sahabat kaya raya namun pemurah dan dermawan. Ia bagaikan sungai yang airnya mengalir terus, mengairi dataran dan lembah, adalah perumpamaan tentang kedermawanannya. Isterinya, Su’da binti Auf, suatu hari melihat Thalhah murung dan termenung sedih. Sang isteri menanyakan penyebab kesedihannya. Thalhah mejawab, “Uangku sekarang begitu banyak sehingga memusingkanku. Apa yang harus kulakukan ?”

“Bagi-bagikan saja kepada fakir miskin.” Sesuai anjuran istrinya, Thalhah lalu membagi-bagikan seluruh uangnya tanpa sisa sepeserpun. Inilah juga yang diceritakan oleh Assaib bin Zaid tentang Thalhah, “Aku berkawan dengan Thalhah, baik dalam perjalanan maupun bermukim. Kulihat tidak ada orang yang lebih dermawan melebihi dia. Dia sedekahkan uang, sandang dan pangan kepada kaum Muslimin.”

Jaabir bin Abdullah juga bertutur, “Aku tidak pernah melihat orang yang lebih dermawan dari Thalhah. Dia memberi walaupun tanpa diminta. Sifat dermawan itu menyebabkan ia dijuluki: Thalhah si dermawan, Thalhah si pengalir harta, Thalhah yang dipenuhi kebaikan dan kebajikan.

Adalah Tsabit bin Dahdah yang memiliki kebun, ditumbuhi 600 batang kurma kualitas terbaik. Ketika turun firman Allah SWT,

“Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka Allah melipatgandakan pinjaman itu untuknya, dan orang itu memperoleh pahala yang banyak” (QS. Al-Hadid: 11).

Tsabit bergegas mendatangi Rasulullah Saw. “Ya Rasulullah, apakah Allah ingin meminjam dari hambanya?”

“Benar,” jawab Rasulullah.

Tsabit bin Dahdah lalu mengacungkan tangannya dan berkata, “Ulurkanlah tanganmu, wahai Rasulullah”. Rasulullah Saw mengulurkan tangannya dan disambut oleh Tsabit bin Dahdah sambil berkata, “Aku jadikan Anda sebagai saksi bahwa kupinjamkan kebunku kepada Allah”.

Tsabit gembira. Dalam perjalanan pulang, dia mampir ke kebunnya. Di sana isteri dan anak-anaknya sedang santai di bawah pohon Tamar yang sarat buah. Dari pintu kebun, dipanggilnya sang isteri, “Hai Ummu Dahdah! Cepat keluar dari kebun, Aku sudah meminjamkan kebun ini kepada Allah!”

Isterinya menyambut dengan suka cita, “Engkau tidak rugi, suamiku. Engkau beruntung. Engkau sungguh beruntung!” Segera dikeluarkannya kurma yang ada di mulut anak-anaknya seraya berkata, “Ayahmu sudah meminjamkan kebun ini kepada Allah.”

Perilaku Tsabit ini oleh Ibnu Mas’ud disebutkan bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Beberapa pohon Tamar yang sarat buah kulihat ada di Taman Firdaus di sana bertuliskan atas nama Abu Dahdah”. Ternyata Allah SWT memberi Tsabit bin Dahdah pohon-pohon yang berbuah lebat di Taman Firdaus itu sebagai gantinya.

Sungguh Indah dan terpuji jejak kedermawanan itu. Nabi Muhammad Saw dan para Shahabat mengetahui betapa lebih indah lagi apa-apa yang akan mereka dapatkan dari janji-janji Allah SWT. Seluruh Shahabat pada waktu itu berlomba-lomba mengikuti jejak Nabi Saw dalam segala hal, termasuk perilaku dermawan.

Semoga jejak Nabi kita itu terus terukir di benak umat yang sekarang, meleburkan diri pada rantai jejak-jejak yang bersambung dengan indah, dan mengajarkannya kepada anak-anak penerus kehidupan ini. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar