Kamis, 14 Mei 2009

Ibunda KIta, Di Manakah Dia Sekarang?

(Buat Manusia yang Masih Memiliki dan Menyayangi Bundanya)



Ketika kita menatap sesosok tubuh itu, seperti mengajak kita menerawang jauh ke tepi kasih sayang, di lautan yang jauh tak berbatas. Merenung, saat sesosok tubuh membawa genderang besar, tambur susah payah. Di dalam sana, engkau sepak dinding perutnya. Ia tidak marah, dan memang tidak akan pernah. Ia bahkan tersenyum, karena engkau nakal. Mengapa?

Dan ketika ia mengejan, bergulat dengan maut, ia seperti pasrah. Tetapi ingatannya tetap tertuju kepadamu: tubuh kecil, merah, dan tidak berdaya. Ia seperti Ibunda Nabi Isa as., Bunda Maryam:

"Maka rasa sakit (ketika) akan melahirkan anak, memaksa ia bersandar pada pangkal pohon Tamar (Korma). Ia keluhkan: aduhai, lebih baik aku mati saja kalau begini keadaannya dan (lebih baik) menjadi barang yang tidak berarti, atau menjadi sesuatu yang dilupakan (orang)" (QS 19:23).

Lalu, engkau perlahan besarnya: berbaring, kemudian menelungkup, lalu duduk, dan terakhir engkau berjalan dan berlari. Cobalah engkau tanyakan perjalanan waktu itu. Engkau masih anak kemarin sore, kata sosok tubuh itu. Masih hangat tangannya oleh ompolmu itu, masih bau tangan kirinya ketika engkau terberak di celana.

Kuakkanlah aktifitasmu dalam rentang waktu itu. Lalu, longoklah di dalam sana. Pernahkah engkau dengar lengking tangis tubuh kecilmu yang terbalut popok dan bau ompol? Tidak, wahai insan. Tetapi tubuh itu bergegas bangun di malam buta, ketika engkau haus, ketika engkau lapar dan menangis, ketika engkau sakit, walau matanya masih tersisa kantuk. Mengapa?

Jangan engkau tanyakan. Dan engkau tidak usah bertanya.

Kini engkau telah besar dan berangsur dewasa. Di manakah sosok tua itu kini? Bungkukkah ia? Mengubankah kepalanya putih seluruh? Tetapi ia tetap sayang padamu. Tidak pernah luntur oleh perjalanan waktu. Tidak oleh bungkuknya. Tidak oleh ubannya. Dan tidak oleh yang lainnya.

Hari ini, dapatkah engkau merenungkan semua itu? Seperti hari ini, kemarin, atau lusa, atau pula ketika engkau singkap kenangan puluhan tahun silam, tentang sayangnya yang tidak luntur oleh hujan atau lapuk oleh panas. Dia asuh dirimu, karena engkau si Biran Tulangnya, karena engkau permata hatinya. Dan lebih dari semua itu: engkau titipan Allah.

"Dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika seorang di antara mereka, atau kedua-duanya sampai berumur uzur berada dalam perlindunganmu, maka jangan engkau bentak mereka. Tetapi, ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia" (QS 17:23).

Sampai tiga kali Rasulullah berseru, ketika seseorang menanyakan tentang bhakti anak setelah Allah dan Rasul. Dan kita seharusnya tidak terpaku pada banyaknya bilangan itu. Tetapi, dapatkah bilangan itu berubah menjadi gerak dan perbuatan?

Di manakah sosok tua itu kini? Apakah ia telah mendahului kita, membawa kemuliaan, menghadap Dia, Allah Subhanaahu Wata'alaa? Tidak, ia masih hidup. Ia hidup pada tubuh kita dengan rasa sayangnya, ketika ia kandung tubuh-tubuh kita, ketika air susunya mengaliri darah kita, ketika ia besarkan kita. Ia masih hidup di dalam jiwa kita yang haus selalu dengan kasih sayangnya, dan tentang kemuliaannya yang pernah ia berikan kepada manusia.

"Ya Robbi. Kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidikku dari semenjak kecil" (QS 17:25).



Kampus Taman Kencana 1 Bogor
Awal bulan Desember tahun 1987

Tidak ada komentar:

Posting Komentar