Selasa, 04 Mei 2010

Tanpa Judul (2)

Keberagamaan adalah penting di sepanjang sejarah manusia. Keberagamaan Nabi Adam As telah diberitahu Allah SWT dengan gamblang. Bahkan, beliau diberi “pengetahuan” tentang nama-nama (apa saja) yang ada pada waktu itu. Karenanya, keberagamaan bisa jadi sama pentingnya dengan ilmu pengetahuan (dan teknologi), dan itu berguna bagi kehidupan.

Keberagamaan adalah upaya pencaharian Yang Maha. Di gunung, sungai, pantai, di cakrawala langit nan biru, orang berusaha mencariNya. Ada yang merasa “menemukan”nya tetapi ia tidak mendapatkanNya. Kata temanku: “Muhammad bertemu dengan Tuhannya, baru beliau shalat. Kita juga shalat seperti itu, tetapi dengan angan-angan tentang Tuhan dalam pemahaman kita masing-masing”.

Sebuah pemahaman yang mencari-cari, tetapi ia pasti menemukan sesuatu yang tidak dicarinya. Kalau Allah, Nabi Muhammad Saw, Al Qur'aan kita sama, tentu saja kita punya hal yang nyata dan sama dalam beragama, bukan angan-angan masing-masing. Tetapi temanku itu, begitu cara berfikirnya.

Ia berkilah bahwa pencapaian ruhani memang menghendaki suatu keyakinan dengan bukti kongkrit. Tuhan harus dicari dan wajib dicari, apapun hasilnya. Sejarah tasawuf membuktikan betapa kuat hasrat manusia untuk bertemu Rabbnya. Andai hanya mengandalkan pemikiran tanpa pencapaian tingkat ruhani, saya khawatir hasilnya bisa agamis atau bahkan atheis. "Begitu pemahaman dan pemikiran saya", kata teman saya itu.

Berfikir, itu yg membedakan manusia dengan hewan. Berfikir tanpa pedoman memang dapat bermuara kepada beriman atau atheis. Tetapi tidak mungkin kedua-duanya menghuni sanubarinya. Namun berfikir setelah diberi koridor, muaranya tetap satu: beriman, bukan kafir.

Mencari Tuhan sudah mentradisi sejak manusia Adam. Nabi Adam As diberitahu. Nabi Ibrahim As juga diberi tahu. Bahkan nabi Muhammad Saw ketika menyendiri, juga diberi tahu. Semuanya lantas beriman. Manusia sekarang juga sudah diberi tahu oleh Nabi pamungkas, Muhammad Saw dan oleh pendakwah. Lalu apa lagi yg harus dicari? Menyimpang dalam menyampaikan risalah, itu tugas dan ranah akal untuk berfikir lalu membandingkan satu dengan yg lainnya.

Lalu temanku itu berkata bahwa masalah kepuasan ruhani dan minat spiritual, kita ingin juga mengalami seperti Nabi Ibrahim As atau Nabi Muhammad Saw. Atau kita hanya mau menjadi "pengikut" saja? Ini lebih dari sekadar masalah "selera" dalam menikmati Keberagamaan.

Bisa begitu, dan bisa jadi memang begitu, kata saya kepadanya. Saya kurang suka daging kambing, sementara yg lain lahap menyantapnya. Saya juga setuju pada segmen tertentu dari perkataan teman saya itu, tetapi tidak pada semua pernyataannya itu. Namun, andai selera beragama dalam menikmati keberagamaannya, tetap saja ia tidak boleh menyimpang dari koridor yang telah ditentukan: Ia tidak boleh sembarangan mengumbar selera sekenanya dan semaunya. Karena, ada yang boleh (daging kambing), ada yang tdk boleh (daging Babi, dengan kekecualian yang bisa membuat kita kehilangan nyawa).

Tetapi bagiku, alangkah egoisnya seorang manusia yang dia telah diberitahu tentang keberagamaan yang lurus, tetapi masih mencari pencapaian ruhani bagi dirinya. Buat apa itu? Hanya ingin memuaskan diri pribadi? Duh, egoisnya! Padahal, pencapaian ruhani itu lebih baik ditumpahkan kepada arena nyata dalam kehidupan manusia, bukan untuk pribadinya. Apa yang dapat kita sumbangkan bagi kehidupan diri, keluarga, masyarakat dan umat ini, itulah pencapaian ruhani yang nyata dan ril.

Kita tidak ingin meniru pola perspektif Barat dalam hal kebebasan dan HAM yang dianggap universal, netral dan berada pada doktrin Humanisme: Peran Tuhan digeser oleh manusia, agama tidak penting, sikap manusiawi lebih mulia daripada sikap religius. Ketika kebebasan keberagamaan dipersoalkan, terjadi ketegangan dan berebut makna kebebasan beragama antara agama dengan humanisme. Keberagamaan orang-orang di Barat tidak berjalan pada koridor yang benar. Di situlah masalah yang benar dan sebenar-benarnya.

Ketahuilah, tidak mungkin mengetahui keberagaman seseorang hanya semata-mata melalui shalat, puasa serta kegiatan ritual lainnya. Keimanannya dalam beragama dapat diketahui melalui aspek-aspek akhlak, penjagaan hak-hak orang lain, sikap menghindarkan orang lain dari kedzaliman-kedzaliman dirinya, dan semua aktifitas nyata dan ril dalam kehidupannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar