Selasa, 04 Mei 2010

Mencermati Cara Berfikir Kaum Liberalis

Menyongsong Terbitnya Buku "Metodologi Studi Al-Qur'an" [GPU; 2009]

Oleh Fahmi Salim, MA.
(Alumnus Univ.Al-Azhar - Cairo, dan Peneliti INSIST Jakarta)



Pengantar


Isi sentral buku ini adalah ingin mengubah hukum Islam yang qath’ie (pasti, tidak boleh berubah) dengan dalih bahwa perubahan perlu dilakukan dengan alas an bahwa harus ada dialektika antara teks yang qaath’ie (kostan) itu dengan kondisi dan realitas masyarakat yang terus berubah

Isu krusial dari beberapa isu tren hermeneutika untuk diterapkan kepada studi Al-Qur'an dan tafsirnya adalah isu perubahan hukum Al-Qur'an yang pasti dan tetap karena prinsip (dan dengan alasan ingin) mengambil kemaslahatan zaman modern.

Cara Memahami Hukum yang Qath’ie dan Zhanni

Ada dua jenis hukum yaitu ‘qath'i’ (bersifat pasti dan tetap karena dalil-dalilnya lengkap dan pasti) dan zhanni (relatif karena dalil-dalilnya yang relatif). Namun akal mujtahid dapat berkesimpulan ada hukum zhanni yang pemahamannya relatif dan bisa berubah . Pada sisi lain, ada hukum-hukum yang bersifat tetap dan konstan serta tidak akan mengalami perubahan sepanjang masa yang dinamakan hukum qath'i (yang pasti) .

Pemahaman hukum qath'i mencakup 2 hal penting yaitu:

Pertama, pemahaman yang dihasilkan oleh teks-teks zhanni yang disepakati oleh seluruh sahabat atau yang dikenal dengan istilah ijma' (konsensus) shahabah. Ijma' para sahabat tadinya merupakan nash yang zhanni itu menjadi qath'i dan berlaku sepanjang masa.

Para sahabat itu menyaksikan turunnya wahyu, berinteraksi dengan Rasulullah saw, mengerti betul kondisi-kondisi yang menyertai turunnya wahyu, dan belajar langsung mengenai tafsir Al-Qur'an dari Rasulullah saw. Apalagi ditambah keilmuan dan penguasaan mereka terhadap kaidah-kaidah bahasa Arab. Oleh sebab itulah, kesepakatan mereka (ijma') atas satu petunjuk dari dalil yang zhanni telah memberikan indikator kuat bahwa tafsir mereka itulah yang menjadi maksud satu-satunya ayat tersebut. Oleh sebab faktor-faktor penting tadi, maka tafsir shahabat menjadi rujukan penting dalam sumber-sumber tafsir Al-Qur'an yang otoritatif dan menjadi hukum Islam yang disepakati.

Kedua, pemahaman yang dihasilkan dari penelitian atas teks-teks Al-Qur'an yang qath'i (pasti dan tegas redaksinya). Sehingga pada saat teks suci itu hanya menunjukkan kepada satu pemahaman saja yang pasti, maka pemahamannya pasti tetap dan tak akan dapat berubah di setiap zaman.

Klaim kelompok sekuleris-liberalis yang mempermasalahkan pemahaman yang konstan dari dua jenis hukum di atas berpretensi untuk memasukkan pemahaman rasional pada semua teks-teks wahyu ke dalam wilayah pemahaman yang berubah-ubah dan tak pasti. Mereka menginginkan tidak ada lagi tersisa dari agama ini sesuatu yang tetap dan konstan dalam pemahaman akal, kecuali sedikit dan langka atau bahkan sama sekali tak ada.

Mengubah Hukum yang sudah Tetap (Qath’ie)

Pada era Islam klasik, terdapat sekelompok sufi yang ekstrim terutama dari kalangan 'Bathiniyah' yang menyatakan bahwa hukum-hukum syariat yang dikandungi oleh nash-nash qath'i baik dari segi petunjuk maupun sumbernya tidaklah seluruhnya mampu difahami secara baku untuk seluruh manusia dan segala waktu. Karena itu, kata mereka, memungkinkan munculnya berbagai pemahaman yang berubah mengikuti kondisi yang ada.

Bisa jadi hukum wajib-haram bagi masyarakat awam tidak berlaku bagi kelompok manusia yang memiliki tingkat kedekatan yang tinggi kepada Allah swt, sehingga hukum itu bisa menjadi boleh-halal karena pertimbangan tersebut. Teks-teks Al-Qur'an tidak bisa mengikat perilaku mereka dengan perkara wajib dan haram. Pandangan-pandangan aneh semacam ini yang menolak syariah juga bergema misalnya dalam suatu sekte di Republik Islam Sudan yang dikenal dengan sebutan kaum 'al-Jumhuriyyin' pimpinan Mahmud Muhammad Thaha.

Kini di masa modern, muncul juga letupan pandangan serupa terkait dengan nash-nash Al-Qur'an yang qath'i dalalah (petunjuknya pasti dan tetap), terutama menyangkut ayat-ayat yang berisi hukum-hukum privat (nikah, thalaq, waris, dsb) dan hudud (sanksi fisik bagi pelaku kejahatan dan kriminal seperti potong tangan, cambuk, rajam, dsb). Ayat-ayat tersebut, bagi mereka, dimungkinkan pemahaman yang bisa disesuaikan dengan perkembangan zaman. Berbagai kerancuan (syubuhat) yang mereka bangun di antaranya adalah:

1) Mengubah Maksud Hukum Sesuai dengan Kondisi Zaman

Nash-nash Al-Qur'an meski bersifat qath'i dari segi petunjuk dan sumbernya, namun terikat dengan peristiwa-peristiwa dan kondisi tertentu. Sehingga, meskipun tujuan ayat itu bersifat abadi, namun secara praktis ia terkait dengan peristiwa tertentu pada saat wahyu itu turun. Salah satu tujuan syariat (maqashid syari'ah) dari hukuman potong tangan adalah memelihara harta. Tujuan itu bersifat kekal, namun jenis hukuman yang bisa menjamin terpeliharanya harta dalam pandangan Islam, bagi mereka, dapat disesuaikan dengan kondisi kekinian. Sebab ayat-ayat hudud telah menentukan jenis hukuman yang sesuai untuk ukuran pada zaman itu. Bagi mereka, yang penting adalah maqashidnya bukan bentuk formal syariah yang dibunyikan oleh teks tersebut...!

2) Hukum Islam yang Qath’ie Tidak Sejalan dengan Hukum Internasional

Umat Islam kini dihadapkan pada situasi dan kondisi yang jauh berbeda dengan kondisi pada saat nash-nash Al-Qur'an diturunkan pada masa Rasulullah saw. untuk memberikan respon dan solusi hukum. Peristiwa-peristiwa khusus yang dikenal dengan asbab nuzul itu kini sudah tidak ditemukan lagi pada masa kini. Terlebih, jika dicermati bahwa umat Islam kini hidup di dalam suatu komunitas global yang diantara ciri khasnya adalah mereka melebur menyesuaikan diri dengan kultur globalisasi yang di sana terdapat suatu tatanan hukum internasional yang diambil dari nilai-nilai peradaban masing-masing bangsa dan kebudayaan.

Kini terdapat Piagam HAM yang dirumuskan PBB yang pada hakikatnya adalah pandangan Barat yang sekuler, sehingga setiap aturan-aturan di seluruh negara, termasuk negara-negara Muslim yang sudah memiliki syariah sebagai rujukan hukum bagi masyarakat Muslim dimana saja mereka berada, harus disesuaikan dengan Piagam HAM sekuler yang diterbitkan oleh PBB. Hal itu dilakukan atas dasar jargon-jargon yang membius seperti: modernitas, progresifitas, dan humanisme. Celakanya, banyak aspek dalam syariah Islam yang dianggap melanggar HAM internasional versi PBB, sehingga dalam pandangan kelompok Islam liberal-sekuler harus diamandemen dan dianulir agar sesuai dengan nilai-nilai global dan universal yang sekuler.

3) Diubah Metode Tafsir Al Qur’aan Sesuai dengan Era Global dan Universal

Kerangka metode penafsiran Al-Qur'an jadinya harus berubah dan mengikuti pandangan globalisme dan universalisme sekuler. Hal itu agar dimungkinkan untuk menganulir petunjuk nash dan menempatkan kondisi sosiologis modern saat ini untuk menjadi paradigma sekuler dalam memahami dan menerapkan syariah dalam situasi dunia yang berubah cepat.

Contohnya adalah aturan bolehnya poligami bagi laki-laki Muslim (ayat 3 surah an-Nisa') karena didasari oleh situasi dan kondisi umat pada masa itu yang didominasi oleh sistem patriarki sangat kuat, rendahnya tingkat pendidikan kaum perempuan, dan sistem peperangan klasik yang menyebabkan banyak janda di kalangan umat Islam, dll. Ketika kondisi sudah berubah; saat perempuan kini menikmati pendidikan tinggi dan kebebasan yang luas dll, maka ayat tersebut kini harus difahami sebagai larangan menikah lebih dari 1 istri.

Bahkan dengan lancang seorang liberal Arab, Prof. Ahmidah Nayfar, menyatakan bahwa jika poligami dilegalkan karena untuk memecahkan masalah sosial umat, mengapa praktek poliandri (perempuan menikah dengan lebih dari satu laki-laki pada saat yang sama) juga tidak diberikan legalitas yang sama? Contoh lain adalah pemahaman ayat hudud seperti sanksi potong tangan bagi pencuri.

Hukuman itu menurut paradigma sekuler sudah tidak sesuai lagi dengan dengan semangat modernitas karena: pertama, sanksi potong tangan adalah bentuk hukuman primitif yang cocok untuk jenis pencurian yang primitif juga pada masa silam, dan kedua, hukuman itu juga mencederai prinsip kemuliaan manusia yang harus dipelihara dan tak boleh dilanggar meskipun sang manusia pencuri itu telah melanggar hak-hak orang lain. Demikianlah, paradigma sekuler semcam itu terus dijajakan dan ingin diterapkan untuk mengamandemen konstitusi Al-Qur'an terkait dengan masalah hudud, hukum keluarga (privat), hukum ekonomi dan sebagainya.

Mari Kita Cermati (Catatan Kritis)

Prinsip-prinsip dan paradigma penafsiran yang dilontarkan kelompok sekuler-liberal adalah presisi pemikiran tingkat tinggi yang sebenarnya mudah sekali untuk dibantah dan dimentahkan. Di bawah ini catatan kritis penulis.

1) Memisahkan Maqashid Syari'ah yang Baku

Hal itu dapat kita bantah dengan menyatakan bahwa kelengkapan dan keunggulan sistem hukum Al-Qur'an telah menyebutkan secara tegas setiap maqashid (tujuan hukum) di balik aturan-aturan hukum yang ada, lengkap dengan tata cara implementasi hukum itu (bentuk formal hukuman) yang dapat menjamin terealisasinya maqashid syariah itu dengan baik dan memenuhi unsur keadilan bagi semua.

Bentuk formal hukuman itu dibunyikan (manthuq) secara tegas (sharih) seperti halnya maqashid, maka keduanya bersifat mengikat dan harus berjalan seiring dan tak bisa dipisah-pisah. Tidak ada konsep pemisahan antara bentuk formal hukum dengan menetapkan maqashid, yang diserahkan kepada akal dan pertimbangan zaman untuk menentukan bentuk hukuman yang layak. Ini tidak diperkenankan.

Tujuan syariat untuk membahagiakan manusia amat jelas dilihat dari keumuman lafaznya. Sedangkan perincian implementasi maqashid itu, terkadang ada yang jelas karena tersurat dari teks-teks terkait yang menjelaskan, dan bisa jadi ada yang kurang jelas dan tegas, sehingga aturan-aturan hukum yang ditetapkan dalam teks itulah yang menjadi indikator bahwa bentuk formal itulah satu-satunya cara untuk mewujudkan maqashid tersebut. Imam al-Syathibi menyatakan bahwa,

إن الأمر معلوم إنما كان أمرا لاقتضائه الفعل فوقوع الفعل عند وجود الأمر به مقصود للشارع وكذلك النهي معلوم أنه مقتضي لنفي الفعل أو الكف عنه, فعدم وقوعه مقصود له وإيقاعه مخالف لمقصوده كما أن عدم إيقاع المأمور به مخالف لمقصوده (أنظر: الموافقات في أصول الشريعة, ج2/290)

"Bentuk perintah (al-Amru) diketahui dengan jelas. Sebab, ia memang dinamakan perintah karena menuntut terlaksananya perbuatan (hokum itu). Sehingga terlaksananya perbuatan ketika ada sebuah perintah itu sangat ditekankan oleh Syari' (Allah swt). Demikian pula bentuk larangan (an-Nahyu) diketahui dengan jelas, sebab ia memang dinamakan larangan karena menuntut dijauhinya perbuatan itu. Sehingga tidak terlaksananya perbuatan ketika ada sebuah larangan itu sangat ditekankan oleh Syari' (Allah swt) dan melanggarnya berarti menentang maksud Allah swt tersebut".

Bagi kita, menjadi jelaslah kedudukan bentuk formal hukum dalam tata sistem syariah yang diusung Al-Qur'an untuk kebaikan manusia. Tidak ada pemisahan antara maqashid syari'ah dengan bentuk formal hukum yang telah ditentukan secara tersurat dan gamblang di dalam nash Al-Qur'an.

Filsafat hukum Islam menyatakan bahwa maqashid syariah telah terwakili dan terserap secara utuh dalam bentuk formal hukum syariah, dalam pengertian bahwa maqashid itu tak kan bisa terealisir kecuali dengan dijalankannya bentuk formal hukum sebagaimana tersurat di dalam teks Al-Qur'an.

Sebagian besar bentuk formal hukum itu tersurat di dalam nash-nash yang qath'i. Sehingga jika dipaksakan upaya pengalihan dari makna yang dikandung di dalam teks itu maka hal tersebut sama saja ingin menganulir dan melumpuhkan maqashid. Kelompok Liberalis justru ingin memaksakannya.

2) Asbab An Nuzul Hukum Sesuai Zamannya

Paradigma Kaum Liberal dalam studi Al-Qur'an mengandaikan bahwa perintah dan larangan Al-Qur'an untuk mewujudkan maqashid syariah itu hanya berlaku bagi komunitas yang pertama kali menjadi sasaran (khithab) dan turun untuk merespon mereka saja. Artinya hukum Islam itu tidak berlaku lagi untuk masyarakat Muslim yang hidup dalam rentang waktu yang berjauhan apalagi kondisinya yang jauh lebih kompleks.

Hassan Hanafi, misalnya menyatakan, "Teks-teks wahyu bukanlah sebuah buku yang diturunkan sekaligus dalam satu waktu dan dipaksakan untuk diterima oleh semua manusia dari nalar ilahiah. Melainkan ia adalah sekumpulan solusi bagi problem keseharian yang dihadapi oleh individu maupun komunitas Muslim. Beberapa solusi hukum atas problem keseharian itu kini telah banyak berubah karena kualitas pengalaman manusia yang meningkat. Apalagi banyak dari solusi kasus itu pada masanya bukanlah 'given' langsung dari wahyu melainkan usulan-usulan ide (brainstorming) dari individu maupun komunitas yang kemudian dijustifikasi oleh wahyu."

Lebih dari itu, Hanafi tak hanya memilah sebagian hukum syariat, tetapi juga menggeneralisasikan semua teks wahyu. Baginya, "\Semua itu berupa turats, yaitu wahyu adalah dibangun di atas pilar realitas manusia, sehingga wahyu dapat berubah-ubah mengikuti iramanya. Asal-usul syariat pun demikian halnya; ia adalah rasionalisasi dan teoritisasi terhadap realitas. Hanya saja realitas lama telah dilangkahi oleh syariah untuk menuju ke arah realitas yang lebih maju. Namun ironisnya yang terjadi kini adalah pembaruan yang kita canangkan tidak mampu dilangkahi oleh syariah."

Paradigma seperti ini bertentangan dengan keumuman lafaz syariah, sehinggga seakan metode 'khilafah' manusia yang telah dirumuskan oleh teks-teks suci Al-Qur'an hanya membebankan segelintir manusia dan mengabaikan sedemikian banyak generasi umat manusia.

Pada masalah metode 'khilafah' menyatakan dengan tegas bahwa aturan tasyri' membawa taklif bagi semua manusia, tidak hanya dari sudut pemenuhan maqashid syariah semata namun juga satu paket dengan bentuk formal hukum tersebut yang mampu mewujudkan maqashid. Bukankah Allah swt berfirman,

"Tidaklah Kami mengutusmu melainkan sebagai pemberi kabar gembira dan peringatan untuk seluruh manusia" (Q.s. Saba': 28),

"Kami telah turunkan kepada engkau Al-Qur'an agar engkau menjelaskan kepada seluruh manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka" (Q.s. an-Nahl: 44)
.

Demikian pula respon Nabi Saw atas kasus pertanyaan yang diriwayatkan oleh 'Abdullah ibn Mas'ud (r.a) dikabarkan bahwa ada seorang laki-laki mencium pipi seorang perempuan tak disengaja. Ia lalu bergegas mendatangi Rasulullah dan menceritakan kejadiannya, Allah lalu menurunkan ayat:

"...Dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat (Q.s. Huud: 114)

Laki-laki itu bertanya: wahai baginda Rasul, apakah ayat itu berlaku khusus bagi saya saja? Nabi menjawab: Itu berlaku bagi seluruh ummatku!

Para pakar ushul juga membeberkan fakta-fakta seputar asbab nuzul dan tak pernah menutup-nutupinya, bahwa banyak dalil syariat yang muncul karena peristiwa khusus. Namun hal tersebut bagi para ulama Islam difahami tak lain sebagai media pendidikan umat yang bertujuan menyiapkan suasana kondusif dalam proses transisi dari masa jahiliah kepada masyarakat yang diikat oleh nilai dan sistem hukum Islam.

Keumuman lafaz wahyu juga telah menetapkan bahwa seluruh umat terkena kewajiban taklif karena tuntutan kaidah bahasa Arab yang mewajibkan taklif kepada manusia secara umum dan absolut terlepas dari waktu dan tempat dimana pun mereka berada. Pembahasan yang rinci seputar bantahan terhadap kaidah asbab nuzul dalam pasal-pasal sebelumnya, hemat penulis, tidak perlu diulangi lagi disini. Namun kiranya pernyataan Imam as-Syathibi amat penting direnungkan,

الشريعة بحسب المكلفين كلية عامة بمعنى أنه لا يختص بالخطاب بحكم من أحكامها الطلبية بعض دون بعض ولا يحاشى من الدخول تحت أحكامها مكلف البتة (أنظر: الموافقات في أصول الشريعة ج2/179 و 3/30 و أيضا المستصفى من علم الأصول ج2/58)

"Syariat bagi para mukallaf itu bersifat umum dan menyeluruh; dalam pengertian bahwa tidaklah hukum itu diberlakukan khusus bagi sebagian mukallaf dan tidak untuk yang lain. Serta tidak ada yang dikecualikan dari semua hukum syariat tersebut seorang mukallaf pun"

Tipikal manusia yang ingin diciptakan melalui metode 'khilafah' yang komprehensif dan universal oleh Al-Qur'an itu lebih dari sekedar manusia yang dimasa silam menjadi alasan diturunkannya ayat itu di masa Rasul. Kondisi dan peristiwa khusus yang dikenal dengan asbab nuzul, pada hakikatnya bukanlah 'penyebab'. Namun lebih tepat disebut sebagai 'munasabat' (peristiwa yang mengiringi) sehingga hal itu tidaklah jadi bagian dari struktur teks Al-Qur'an. Karena 'munasabat' itu telah diserap oleh redaksi ayat tersebut. Karena jika 'munasabat' tersebut dinilai sebagai 'takhsis' (pengkhususan hukum bagi waktu dan tempat tertentu), maka hal itu akan menyeret kepada bahaya yang amat besar dan mengakibatkan hancurnya metode 'khilafah' secara total.

3) Nash Qath'ie Harus Sesuai Zaman Modern

Inilah dasar pertimbangan sesuai dengan kemajuan zaman dan cocok dengan norma-norma kemodernan yang baru dan sama sekali berbeda dengan kondisi turunnya ayat. Ini berarti pemahaman terhadap nash qath'i, selain berlaku khusus pada konteks sabab nuzulnya, juga harus tunduk dan mengikuti kondisi realistis dan pragmatis sesuai kebutuhan manusia modern.

Teori dan praktik penafsiran semacam ini begitu jelas dalam aplikasinya terhadap beberapa hukum syar'i seperti hukuman hudud, halalnya poligami dan haramnya riba. Dalam konteks penerapan 'hudud' dan poligami, pemahaman yang aslinya perintah alias halal justru berubah menjadi suatu larangan dan menjadi haram. Dalam konteks transaksi riba di perbankan konvensional, pemahaman yang asalnya haram, justru berubah menjadi sesuatu yang halal. Dengan alasan pragmatisme realitas yang berfungsi untuk mewujudkan maqashid syariah.

Perlu dicatat bahwa perkembangan dan kemajuan yang dialami manusia tidak selamanya mengarah kepada hal-hal positif yang lebih baik dalam semua tingkatan. Terkadang memang ada kemajuan realitas manusia yang bergerak ke pendulum 'kebenaran'. Namun, sangat banyak hal-hal baru yang lebih mengarah ke pendulum 'kebatilan'.

Bukti terbaik adalah fenomena yang sedang disaksikan oleh manusia modern abad 20 dan 21 ini. Kemajuan peradaban umat manusia di bidang sains, teknologi, industri dan lain-lain yang dapat meningkatkan kualitas kesejahteraan selalu diiringi oleh dampak-dampak negatif yang cenderung sangat destruktif, menimbulkan ketimpangan, dan bahkan menginjak-injak kehormatan dan kemuliaan manusia.

Krisis ekonomi global, krisis energi dan pangan yang melanda dunia kini, dan terlebih lagi krisis perubahan iklim dunia (global climate change) yang mengkhawatirkan kita semua adalah imbas dari modernitas yang mendewa-dewakan materi yang berpangkal pada worldview Barat yang sekuleristik dan anti-Tuhan. Ditambah dengan kriminalisasi simbol agama dan marginalisasi peran agama untuk ikut menyelesaikan persoalan dan perdamaian dunia, serta efek demoralisasi manusia telah mengakibatkan berbagai krisis multi dimensi di bidang sosial seperti seks bebas, rawannya ketahanan institusi keluarga, kemewahan yang diluar batas di negara-negara kaya yang menyebabkan nyawa jutaan manusia di belahan bumi ini mati mengenaskan karena kekurangan gizi.

Penutup

Perlu dicermati dan dipertanyakan apakah layak pada realitas yang karut marut dan bercampurnya kebatilan dengan kebenaran, menjadi penentu arah teks-teks Al-Qur'an yang qath'ie?

Paradigma kaum Liberal semacam itu menjadikan banyak persoalan hukum yang pasti dijadikan mengambang dan jungkir balik; halal jadi haram dan yang haram jadi halal. Kemajuan peradaban manusia, terutama yang negatif dan destruktif itulah, yang menyihir kalangan Islam liberal untuk mempropagandakan paradigma bahwa penafsiran teks-teks yang qath'ie itu (dapat, lebih baik, sudah seharusnya) ditentukan oleh nilai-nilai modernitas, progresifitas dan humanisme sekuler.

Kini, di tangan kelompok pengasong liberalisme itu, demokrasi sekuler, konsep HAM sekuler, isu gender dan lain-lain telah ditahbiskan menjadi maqashid syariah baru yang menentukan pemahaman nash-nash qath'i di dalam Al-Qur'an. Celakanya lagi teks-teks yang qath'i (menurut mereka itu) mesti dipahami dengan cara yang terbalik sehingga perintah dan larangan yang seharusnya ditegakkan malah diterjang.

Ada paradigma lain terkait dengan ayat-ayat qath'i ini, yaitu bahwa ada akibat logis dari upaya memarginalisasikan dan delegitimasi pemahaman dan penafsiran ayat-ayat tersebut telah menyebabkan merebaknya kebatilan dan kesengsaraan manusia modern saat ini . Padahal dalam sudut pandang worldview Islam, kebahagiaan dan kesejahteraan manusia akan terwujud bila mengikuti petunjuk-petunjuk perintah dan larangan syar'i, terutama dalam konteks system pemerintahan Islam (Khilafah dan Imarah) di bumi, secara konsisten.

Realitas manusia kontemporer telah memaksa para pemikir liberal terjebak kepada confuse (kebingungan) dalam memilah dua hal: pertama, peran akal dalam memahami teks suci, dan kedua, peran akal dalam upaya mengimplementasikan teks itu dalam realitas.

Pertimbangan akal dan realitas manusia lebih tepat berperan dan diarahkan dalam upaya mengimplementasikan petunjuk nash yang qath'i itu dalam alam realitas, bukan malah merusak tatanan karena ingin berperan dalam usaha mengubah petunjuk-petunjuk hukum syariah yang qath'i itu. Wallahu A'lam bil-Shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar