Selasa, 04 Mei 2010

Hanifah

Selamat Jalan Adikku
Selamat Jalan The Champion




Wajah tirus Hani dengan kepala tak berambut sedikit bergerak. Mata cekung, dulu jenaka yang menyimpan banyak keceriaan dan keoptimistisan, kini memandangku dan mengerjap layu. Seakan ada yang ingin diungkapkannya. Kuhampiri tubuh lemah itu, dan kugenggam tangannya.

"Ada apa, Han..?"

Suara tilawah Al Quran Mama terhenti, ketika menyadari ada sesuatu yang diminta Hani.

"Kenapa, sayang..? Ada yang sakit?." Tanya mama dengan suara parau.

Sudah sekian hari Mama banyak menangis untuk Hani. Di tiap-tiap malamnnya, Mama mengucurkan air mata, memohon kepada Allah untuk mau mendengar "bargaining" di dalam doa-doa Mama. Agar Allah mau mengulur waktu untuk Hani sampai beberapa waktu saja.

Mulut Hani bergerak-gerak, kudekatkan telingaku pada wajahnya, agar dapat menangkap apa yang diungkapkannya.

"Asy..ha..du alla..."

Tiba-tiba aku menyadari "waktu itu" sudah dekat. Kutoleh Mama. Beliau seperti mengerti. Mama bergegas menuju pintu, memanggil Papa, dan Aria, adik iparku. Dua lelaki yang akan kehilangan orang yang dicintainya itu, segera masuk dan menanti apa yang terjadi kemudian. Kupakaikan kerudung putih pada kepala tanpa rambut yang melemah itu. Kulakukan ini karena pesan terakhir Hani, jika "saatnya" tiba ia tidak mau dalam keadaan "telanjang" menghadap Allah. Papa tampak ikhlash, begitu juga Aria. Lalu Aria menyerahkan Umar, keponakanku yang belum genap satu tahun usianya, kepadaku.

"Tolong, Mbak..Biar saya yang menjaga dik Hani". Umar tetap tertidur pulas, walaupun posisi gendongan berpindah, dia tidak terbangun sedikit pun. Bocah kecil sebelas bulan ini tak menyadari, bahwa sebentar lagi, ibunya akan segera meninggalkannya.

Dokter Ruslan bergegas masuk untuk melakukan tugasnya sebagai dokter. "Biarlah, dokter..Insya Allah Kami sudah ikhlash..". Suara tegar Papa berkata. Dokter Ruslan mengangguk seraya berkata,

"Mudah-mudahan anak bapak diberi kemudahan oleh Allah.."

Perlahan-lahan, Aria membantu Hani membacakan syahadah di telinga Hani. Kemudian mulut Hani bergerak-gerak dengan mudah. Genggaman tangannya mulai melemah. Ada butiran air mata yang bergulir dari matanya yang terpejam.

"Sakitkah adikku, sayang?", batinku dengan penglihatan kabur karena terhalang airmata. Aku menatap wajah Hani yang sedang bertarung melepas nyawa. Nafas Hani satu-satu, jaraknya makin lama makin panjang. Papa dan Mama membaca syahadah berkali-kali. Akhirnya nafas Hani pun terhenti ....... "Innaa lillaahi wa innaa ilaihii raajiuun..."

*****

Hanifah, adalah adikku. Hani, begitulah dia dipanggil. Umurnya berbeda 4 tahun dariku. Tapi Hani, perawakannya tinggi, lagaknya tomboy, serta rambutnya dipotong pendek, membuat orang-orang sering salah terka. Mereka mengira Hani, cowok, jika melihatnya sepintas dari belakang. Aku teringat, teman-teman cowok sekampus meledekku ketika aku mengajak Hani hadir ke Baksos Mesjid kampus. Mereka, yang relatif tahu, aku adalah " Si jilbab galak", meledekku,

"Wah kemajuan, nih. Adelina, ternyata berani juga mengajak cowoknya ke kampus". Mendengar itu aku geli, tapi tidak demikian dengan Hani.

"Siapa yang berani ganggu Mbak Adelina?" Tanya Hani berbalik sewot menghadapi teman-teman cowokku yang iseng tadi. Seketika mereka terpana, menyaksikan bahwa "cowok" Adelina adalah cewek manis yang tak kalah galak dari kakaknya.

Itulah Hanifah. Siapa pun 5 tahun lalu, tak akan mengira dia akan memakai jilbab. Hani menikah di usia muda, bahkan mempunyai anak.

Kami 3 bersaudara: Mas Ardi, aku, dan si bontot Hanifah. Karena pendidikan orang tuaku yang sifatnya membebaskan dan bijaksana, kami bersaudara rukun dan saling sayang satu sama lain. Lebih dari itu, kami saling mempengaruhi satu sama lain. Ketika Mas Ardi harus kuliah di Bandung, aku dan Hani menangis, karena kehilangan "bodyguard" yang selalu mengantar kami kemana-mana. Hani memaksaku, agar tak ikut-ikutan pilih universitas yang harus meninggalkan rumah seperti Mas Ardi.

Setiap pulang, Mas Ardi selalu membawa banyak hal baru yang positif. Tahun pertama ketika aku SMA, Mas Ardi masih suka merokok di sela-sela menggambar tugas arsiteknya. Namun setelah itu, Mas Ardi lambat laun menghilangkan kebiasaannya itu. Setiap pulang semesteran, Mas Ardi banyak membawa majalah-majalah dan buku-buku Islam. Mas Ardi mulai mengajak kami, adik-adiknya, shalat berjamaah dan membaca Al Quran bersama di rumah. Alhamdulillah, pada saat itu aku berhasil masuk FE UI, sehingga tak perlu meninggalkan rumah seperti Mas Ardi. Setelah menjadi mahasiswi juga mungkin imbas yang kuat dari Mas Ardi, aku mulai mengenal Islam. Aku mulai mencari-cari untuk apa sebenarnya aku hidup. Alhamdulillah, aku menemukannya dalam aktivitas keislaman yang aku ikuti di kampus.

Namun yang aku heran, imbas tersebut tak mengenai Hani sama sekali. Hani tetap saja tomboy, dan malas jika aku ajak pergi ke pengajian. Walaupun demikian, Hani adalah adik kebanggaanku. Di antara lagaknya yang tomboy dan sikapnya yang manja di rumah, Hani adalah juara kelas di sekolahnya, dan kapten di grup basketnya. Sifatnya yang tak ingin kalah dari orang lain dan serius ketika menekuni sesuatu, membuat dia bisa menjadi sukses dalam bidang yang disenanginya: pelajaran atau basket.

Aku masih ingat ketika untuk pertama kalinya dia harus mendapat rangking ketiga di kelasnya. Hani menangis di kamar seharian. Tapi, yang ini juga sifat Hani yang membanggakan, Hani cepat bangkit dari keterpurukan. Dengan menyetel kaset grup Queen idolanya, yang berisikan lagu We are The Champion, Hani membangunkan semangatnya sendiri, dan dia bisa ceria lagi keesokan harinya.

Hingga pada suatu hari, Hani menemukan hidayah itu. Di balik kegagahan dan ketomboyannya, aku tahu ada sebongkah hati yang tulus dan lembut. Itu terbukti ketika aku mengikutsertakannya pada kegiatan baksos di kampus untuk ketiga kalinya. Kala itu dia kelas 3 SMA.

Hani masih tetap dengan rambut cepak, kaus t-shirt putih, dan celana jeans hitam kebangsaannya. Di baksos itu kami memang mengumpulkan baju-baju bekas untuk kaum tak punya. Hani memang punya banyak baju yang sudah tak dipakainya. Tapi sayang, baju-bajunya selalu dikelompokkan untuk bocah laki-laki. Namun beberapa jilbab dan baju muslimah kusisihkan khusus.

"Untuk siapa, Mbak..?" . Tanya Hani

"Ini untuk Mbok Siyem, yang jualan rokok di depan mesjid. Katanya anaknya yang SMP juga pakai jilbab.". Terangku

"Oooo.." Seru Hani sambil membundarkan mulutnya.

Baksos belum mulai ketika aku dan Hani tiba di depan mesjid kampus. Karena masih ada waktu, aku bergegas menemui Mbok Siyem yang selalu mangkal di dekat masjid. Tapi aku terkejut ketika aku tak menemui Mbok Siyem seperti biasa. Hanya Ijah, anaknya, yang menunggui warung.

"Lo, Mbok Siyem kemana..?"Tanyaku pada Ijah. Ijah, bocah kecil kelas dua SMP itu, menjawab,

"Mbok sedang sakit. Dari kemarin muntah-muntah." Ijah tak tampak sedih, malah tampak biasa saja.

"Ini Mbak bawakan baju buat Ijah. Kemarin-kemarin si Mbok wanti-wanti kepada mbak, meminta untuk membawakannya untukmu." Wajah Ijah yang tadi tampak biasa-biasa saja, kini tampak haru. Ijah menangis.

"Mbok bilang, kalau Ijah sabar dan ikhlash dengan dua baju, pasti Allah akan memberikan lebih. Dan ternyata benar..." Katanya terisak, mengusap ingus yang keluar dengan jilbab coklatnya, yang kuingat adalah pemberianku setahun lalu.

Setelah baksos selesai, kami menjenguk Mbok Siyem ke rumahnya, yang bukan kepalang terkejut dengan kedatangan kami. Waktu itu Mbok Siyem kelihatan sehat, tak seperti orang sakit. Walau beberapa hari setelah itu, Mbok Siyem meninggal dunia..

Peristiwa itu rupanya terpatri dalam kalbu Hani. Sejak hari itu, Hani segera memakai kerudung. Tak ada yang menyuruh, tak ada yang meminta. Mama melongo melihat bontotnya menjadi feminin seketika. Lalu siapa yang sangka Hani menjadi akhwat seperti sekarang? Dulu dia memang senang basket, sampai poster Michael Jordan memenuhi tembok kamarnya. Dulu dia memang senang Queen, sampai tak ada lagu-lagu grup band cadas itu yang tak dihapalnya. Tapi beberapa bulan setelah mengaji, Hani melepas semua poster-poster tersebut, dan mendepak kaset-kaset lagu hingar bingar itu. Walau aku tahu, Hani menangis semalaman untuk berpisah dengan segala hobi dan kesenangannya. Tapi itulah Hani, esok selalu disambutnya dengan penuh semangat menantang dan keoptimisan.

Terjadi perkembangannya yang luar biasa setelah aktif mengaji, sering membuat aku dan Mas Ardi terharu. Sampai pada puncaknya, pernikahan Hani 4 tahun lalu.

Papa marah, Mama kesal, karena Hani dianggap mendahului aku dan Mas Ardi. Apalagi Hani masih 19 tahun dan masih tingkat dua...! Namun Alhamdulillah berkat diplomasiku dan Mas Ardi, bahwa kami rela didahului, akhirnya Hani melangsungkan pernikahannya.

Kehidupan Hani menggapai hidayah seperti berlari. Bahkan ketika Allah menentukan dia harus menderita leukimia di usia 21 tahun. Keluarga galau untuk memberitahukan Hani atau tidak, bahwa sakit-sakit tulang yang sering dikeluhkannya bukanlah sakit biasa. Kesedihan kami yang luar biasa, karena mengetahui Hani tak akan lama bersama kami lagi. Dokter sendiri berkata bahwa belum ada penyembuhan yang jitu untuk penyakit kanker yang satu ini.

Akhirnya keluarga bertekad mengungkapkan secara jujur penyakit Hani. Ini pun karena ada sebab yang luar biasa. Hani ternyata hamil 4 bulan waktu itu. Aria datang memberitakan kabar gembira yang timingnya buruk itu kepada keluarga kami. Kami tak tahu, apakah harus menyambut kabar ini dengan senang atau bersedih. Karena melahirkan anak adalah hal yang tak mungkin bagi Hani, karena akan memperlemah kondisinya.

Namun, saat itu tak ada yang bisa menyetop Hani. Bahkan ketika kami memberitahukan bahwa hamil dan melahirkan kemungkinan besar akan mempertaruhkan nyawanya, Hani bersikeras untuk terus hamil dan melahirkan.

"Mama juga waktu hamil kami bertiga tak pernah memikirkan keselamatan nyawa Mama sendiri, bukan..? Ayolah, Ma.. Jangan larang Hani, tapi bantu Hani dengan doa, agar Hani diberi kekuatan dan kesehatan oleh Allah. Jika harus meninggal pun, Hani meninggal dalam keadaan syuhada, bukan..? Tapi, Ma, Pa, Hani ingin hidup, paling tidak sampai anak ini lahir.."

Allah memang Mahabesar dan Mahapengasih. Semangat dan keoptimisan Hani memberi bekas yang dalam kepada orang di sekelilingnya. Sejak kehamilan itu, Mama dan Papa menjadi lebih banyak beribadah. Mama memakai jilbab, banyak membaca Al Quran. Begitu pula Papa, setiap Senin dan Kamis tak ada yang terlewat dengan shaum, juga tahajud. Bahkan aku pun menikah ketika Hani sedang rawat intensif di rumah sakit. Hani selalu berkata, ingin melihatku menjadi mempelai sebelum dia menutup mata.

Dan Allah menjawab semua doa-doa dan harapan kami. Hani dapat melahirkan Umar, anaknya itu, dengan selamat, layaknya orang normal. Walau untuk itu Hani menghabiskan hampir seluruh waktunya di rumah sakit, dan kami selalu dibuat cemas akan keselamatannya.

Dua tahun Hani berperang melawan leukimia. Tapi tak pernah terungkap dalam ucapannya, bahwa dia menyesali nasibnya karena harus mengidap penyakit ini. Bahkan dia kerap berujar,

"Allah sayang kepada Hani, ya, Mbak...Sehingga Allah memberi batas waktu yang jelas untuk Hani beraktifitas di dunia ini. Agar tak sia-sia..."

Ah, Hani sayang....

**************

Pekuburan sudah sepi. Gundukan tanah merah di depanku mulai dibasahi oleh gerimis kecil yang turun rintik-rintik. Kulihat isyarat lambaian tangan Mas Ardi yang berada di rombongan Mama, Papa, serta keluarga Aria, mengajakku untuk pulang. Bang Irsyad, suamiku memberikan tangannya.

"Insya Allah Hani syahidah, De...Karena Hani begitu pasrah dan tawakal kepada Allah dengan penyakitnya". Hiburnya. Aku mengangguk.

Di tanganku ada setumpuk amplop yang ditujukan pada Umar. Surat dari Ibunya. Aku teringat percakapan kami 5 bulanan lalu.

"Ini sebagai hadiah buat Umar. Setiap umurnya bertambah satu tahun, Mbak. Aku persiapkan 15 surat, untuknya, agar dia selalu mendapat nasehat dariku, walaupun aku sudah tak bisa menyaksikan Umar tumbuh sampai dia baligh dan mengerti. Aku titipkan pada Mbak Ade, ya..?". Hani menyerahkan tumpukan amplop itu kepadaku.

"Kenapa tak kau titipkan pada Aria. Bukankah dia yang lebih berhak?" Kataku. Namun Hani hanya tersenyum.

"Mas Aria harus mencari pengganti Hani untuk mendidik Umar, bukan..? Tentu tidak bijak kalau Mas Aria mengingat Hani terus, dan melupakan hal yang satu itu". Katanya diluar dugaan. Lalu,

"Mbak..., aku ingin Umar mempunyai sifat gabungan dari kita bertiga. Perhatian seperti Mas Ardi, tegas dan lembut seperti Mbak Ade, enerjik dan jenaka seperti ibunya..."

"Lha, Aria bagaimana?" tanyaku menahan geli...

"Iya, ditambah ganteng dan shaleh seperti bapaknya.." katanya sambil tertawa jenaka.

Mataku kembali basah. Di detik-detik terakhir kehidupannya, Hani tak pernah menampakkan keputusasaannya. Dia tetap optimistis, bahwa Allah memberikannya penyakit sebagai ujian, maka dia harus lulus, dan bertawakal untuk jadi pemenang.

Sang juara itu telah pergi, Syuhadah itu telah pergi. Ia pergi tanpa beban dan tanpa keputusasaan. Pergi meninggalkan sebongkah kesan dan berkas cinta yang mendalam. Selamat jalan the champion !!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar