Rabu, 21 Juli 2010

Sebut (Katakan) Saja Yahudi, Bukan Israel!

Sungguh memprihatinkan, banyak kaum muslimin tidak sadar dan ketika berbicara. Tidak hanya orang awam, terjadi juga pada sebagian besar pelajar atau bahkan mereka yang memiliki banyak Tsaqafah Islamiyah (pengetahuan budaya Islam). Mereka lupa atau bisa jadi tidak tahu bahwa Nabi Saw pernah bersabda:

وَإِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللَّهِ لاَ يُلْقِى لَهَا بَالاً يَهْوِى بِهَا فِى جَهَنَّم

Dari Abu Hurairah Ra, Nabi Saw bersabda: “Sesungguhnya ada seorang hamba mengucapkan satu kalimat yang mendatangkan murka Allah, diucapkan tanpa kontrol dan itu menjerumuskannya ke dalam jahanam” (HR. Al Bukhar, Hadits No. i 6478)

Al Hafidz Ibn Hajar Al Asqalani menjelaskan hadits ini dalam Fathul Bari: maksud “diucapkan tanpa control” adalah tidak direnungkan bahayanya, tidak dipikirkan akibatnya, dan tidak memperkirakan dampak yang ditimbulkan. Ini sesuai dengan firman Allah ketika menyebutkan tentang tuduhan terhadap Aisyah:

وَتَحْسَبُونَهُ هَيِّنًا وَهُوَ عِنْد اللَّه عَظِيم

“Mereka sangka itu perkara ringan, padahal itu perkara besar bagi Allah” (QS. An-Nur: 15).

Berkaitan dengan keterangan di atas, penulis ingin mengingatkan sebuah ungkapan penamaan yang begitu mendarah daging di kalangan kaum muslimin, tidak hanya dilakukan oleh orang awam namun juga dilakukan oleh mereka yang paham Tsaqafah Islamiyah. Ungkapan itu adalah penamaan Yahudi dengan member nama Israel: “Penamaan Negeri Yahudi yang Terkutuk dengan nama Israel”.

Salah dan Bahkan Berbahaya

Nama Israel itu seolah telah menjadi kesepakatan dunia termasuk kaum muslimin, negeri terlaknat yang menjajah Palestina. Mereka yang mengaku sangat membenci Yahudi dan memboikot produk-produk yang diduga menyumbangkan dana bagi Yahudi, namun turut menamakan Yahudi dengan nama Israel. Sangat disayangkan, tidak seorangpun yang mengingatkan kekeliruan penamaan itu.

Kesalahan dan sekaligus berbahaya, memang tidak disadari oleh Kaum Muslimin. Perlu dicamkan dalam benak hati setiap Muslim bahwa Israel itu adalah nama dari seorang nabi yang mulia, keturunan Nabi Ibrahim As, ‘yaitu Nabi Ya’qub As.

كُلُّ الطَّعَامِ كَانَ حِلًّا لِبَنِي إِسْرَائِيلَ إِلَّا مَا حَرَّمَ إِسْرَائِيلُ عَلَى نَفْسِهِ مِنْ قَبْلِ أَنْ تُنَزَّلَ التَّوْرَاةُ

“Semua makanan adalah halal bagi Bani Israil melainkan makanan yang diharamkan oleh Israil untuk dirinya sendiri sebelum Taurat diturunkan” (QS. Ali Imran: 93).

Nama Israil pada ayat di atas adalah nama lain dari Nabi Ya’qub As. Nama ini diakui sendiri oleh orang Yahudi, sebagaimana disebutkan dalam hadis dari Ibn Abbas:

“Sekelompok orang Yahudi mendatangi Nabi untuk menanyakan empat hal yang hanya diketahui oleh seorang nabi. Pada salah satu jawabannya, Nabi Saw mengatakan: “Apakah kalian mengakui bahwa Israil adalah Ya’qub?” Mereka menjawab: “Ya, betul”. Nabi Saw bersabda: “Ya Allah, saksikanlah (hal ini)” (HR. Daud At-Thayalisy, hadits No. 2846).

Arti Israil: Patutkah Disandang oleh Bangsa Keparat Itu?


Kata “Israil” merupakan susunan dua kata: Israa dan iil yang dalam bahasa Arab artinya shafwatullah (kekasih Allah). Selain itu Israa dalam bahasa Arab juga berarti ‘abdun (hamba), sedangkan iil artinya Allah. Dengan demikian, Israil dalam bahasa arab artinya ‘Abdullah (hamba Allah). (lihat Tafsir At Thabari dan Al Kasyaf ketika menjelaskan tafsir surat Al Baqarah ayat 40)

Nama Israel yang disandangkan kepada nama Nabi Ya’qub, seorang nabi yang memiliki kedudukan tinggi di sisi Allah ta’ala, dipuji Allah SWT di berbagai ayat al Qur’an. Kemuliaan tersebut tidak selayaknya lantas disematkan kepada orang-orang Yahudi terlaknat. Terlebih lagi, umat Islam menggunakan nama Israel dalam konteks kalimat negatif, disertai dengan kebencian yang tinggi: Israil biadab, Israil bangsat, keparat Israil.

Makian seperti itu dimuat di media cetak dan elektronik, namun dinisbahkan kepada islam dan dijadikan sebagai Head Line News: Israil membantai Kaum Muslimin, Agresi militer Israil ke Palestina, Israil penjajah dunia, dan seterusnya. Namun sekali lagi, yang sangat fatal adalah tidak ada pengingkaran ketika mengucapkannya, bahkan diucapkan tanpa merasa bersalah.

Perlu kita renungkan, bahwa pernahkah orang yang mengucapkan kalimat-kalimat di atas merasa bahwa dirinya telah menghina Nabi Ya’qub As? Pernahkah yang menulis kalimat ini di majalah berlabel islam dan mengajak Kaum Muslimin untuk mengobarkan jihad, merasa bahwa dirinya telah membuat tuduhan dusta kepada Nabi Ya’qub As? Mengapa mereka tidak membayangkan bahwasanya bisa jadi ungkapan-ungkapan salah kaprah ini dapat mendatangkan murka Allah – wal ‘iyaadzu billaah – karena isinya adalah pelecehan dan tuduhan bohong kepada Nabi Ya’qub As? Mengapa tidak disadari bahwa Nabi Ya’qub As tidak ikut serta dalam perbuatan orang-orang Yahudi dan bahkan beliau berlepas diri dari perbuatan mereka yang keparat? Pernahkah mereka berfikir, apa tindakan Nabi Israil As andaikan beliau masih hidup?

وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا

“Orang-orang yang menyakiti orang-orang yang Mukmin dan Mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sungguh mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata” (QS. Al Ahzab: 58).

Allah menyatakan, menyakiti orang Mukmin awam, lelaki maupun perempuan, sementara yang disakiti tidak melakukan kesalahan, itu dianggap sebagai perbuatan dosa, bagaimana kalau yang disakiti itu adalah seorang Nabi yang mulia? Tentu bisa dipastikan dosanya lebih besar dari pada sekedar menyakiti orang Mukmin biasa.

Satu hal yang perlu disadari oleh setiap Muslim, penamaan negeri Yahudi dengan memakai nama Israil adalah termasuk salah satu di antara sekian banyak konspirasi (maker, kebusukan) Yahudi terhadap dunia. Mereka tutupi kehinaan nama asli mereka Yahudi dengan nama Bapak mereka yang mulia, Nabi Israil ‘alaihis salam. Karena bisa jadi mereka sadar bahwa nama Yahudi itu telah disepakati jeleknya oleh seluruh dunia, mengingat Allah telah mencela nama ini dalam banyak ayat di Al-Qur’an.

Yahudi Memang Keturunan Nabi Israil,
Tetapi Kebiadaban Mereka Sudah Melewati Sifat Binatang


Kita tidak mengingkari bahwa orang-orang Yahudi merupakan keturunan Nabi Israil ‘alaihis salam. Tetapi bukan berarti diperbolehkan menamakan Yahudi dengan nama yang mulia itu. Bahkan yang berhak menyandang nama dan warisan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam dan para nabi yang lainnya adalah Kaum Muslimin dan bukan Yahudi yang kafir dan keparat itu.

مَا كَانَ إِبْرَاهِيمُ يَهُودِيًّا وَلَا نَصْرَانِيًّا وَلَكِنْ كَانَ حَنِيفًا مُسْلِمًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ

“Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi berserah diri dan sekali-kali bukanlah dia termasuk golongan orang-orang musyrik” (QS. Ali Imran: 67).

إن أولى الناس بإبراهيم للذين اتبعوه وهذا النبي والذين آمنوا والله ولي المؤمنين

“Sesungguhnya orang yang paling berhak terhadap Ibrahim ialah orang-orang yang mengikutinya dan Nabi ini, beserta orang-orang yang beriman, dan Allah adalah pelindung semua orang-orang yang beriman” (QS. Ali Imran: 68).


Tidaklah sepantasnya Yahudi menyandang nama Israel yang mulia itu. Bagaimana mungkin nama yang mulia itu disandangkan kepada bangsa yang tega menyuruh anjing untuk memangsa anak-anak Palestina, memblokade Gaza selama 2 tahun dengan kekurangan semua yang dibutuhkan manusia untuk hidup, sementara bantuan yang hendak diberikan fihak lain terus dihalang-halangi (bahkan ditembaki). Bagaimana bisa nama mulia itu disandingkan dengan bangsa yang tega membom Palestina dengan bom kimia beracun, membunuhi rakyat Pelestina semau jidatnya, merampas tanah-tanah Palestina, mengusir bangsa itu semaunya. Bagaimna mungkin nama Israel yang sangat mulia itu disandang oleh bangsa yang sifatnya melebihi perilaku binatang?

Seseorang melakukan kesalahan namun tidak menyadari kalau dirinya sedang melakukan kesalahan. Inilah yang disebutkan dalam hadis dari Abu Hurairah Ra di atas. Bukankah semua pelaku perbuatan bid’ah tidak berniat buruk ketika melakukan kebid’ahannya. Justru inilah penyebab dosa perbuatan bid’ah tingkatannya lebih besar daripada melakukan dosa besar.

Ketika Nabi Saw berdakwah di Mekkah, orang-orang musyrikin Quraisy mengganti nama Nabi Saw dengan “Mudzammam” (manusia tercela) sebagai kebalikan dari nama asli beliau Muhammad (manusia terpuji). Mereka gunakan nama Mudzammam ini untuk menghina dan melaknat Nabi Saw. Mereka mengatakan; “terlaknat Mudzammam”, “terkutuk Mudzammam”, dan seterusnya. Nabi Muhammad tidak merasa dicela dan dilaknat, karena yang dicela dan dilaknat orang-orang kafir adalah “Mudzammam” bukan “Muhammad”, Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ألا تعجبون كيف يصرف الله عني شتم قريش ولعنهم يشتمون مذمماً ويلعنون مذمماً وأنا محمد

“Tidakkah kalian heran, bagaimana Allah mengalihkan dariku celaan dan laknat orang Quraisy kepadaku, mereka mencela dan melaknat Mudzammam sedangkan aku Muhammad” (HR. Ahmad & Al Bukhari).

Meskipun maksud orang Quraisy adalah mencela Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun karena yang digunakan bukan nama Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam maka Beliau tidak menilai itu sebagai penghinaan untuknya. Inilah yang dinilai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai bentuk mengalihkan penghinaan terhadap dirinya. Oleh karena itu, bisa jadi orang-orang Yahudi tidak merasa terhina dan dijelek-jelekkan karena yang dicela bukan nama mereka namun nama Nabi Ya’qub ‘alaihis salam.

Allah SWT telah melarang seseorang mengucapkan sesuatu yang menjadi pemicu munculnya sesuatu yang haram. Allah melarang Kaum Muslimin untuk menghina sesembahan orang-orang musyrikin, karena akan menyebabkan mereka membalas penghinaan ini dengan menghina Allah SWT.

وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ

“Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa ilmu” (QS. Al An’am: 108).

Allah ta’ala melarang kaum muslimin yang hukum asalnya boleh atau bahkan disyari’atkan – menghina sesembahan orang musyrik – karena bisa menjadi sebab orang musyrik menghina Allah subhanahu wa ta’ala.

Kita yakin dengan seyakin-yakinnya, tidak mungkin para sahabat radhiyallahu ‘anhum yang menyaksikan turunnya ayat ini memiliki niatan sedikitpun untuk menghina Allah ta’ala. Jika ucapan yang menjadi sebab celaan terhadap kebenaran secara tidak langsung saja dilarang, bagaimana lagi jika celaan itu keluar langsung dari mulut kaum muslimin meskipun mereka tidak berniat untuk menghina Nabi Israil ‘alaihis salam.

Bukan Cuma Sebatas Istilah Saja

Cuma sebatas istilah saja, yang pentingkan esensinya. Bukankah para ulama’ memiliki kaidah “Tidak perlu memperdebatkan istilah”. Kalimat ini sepintas “benar” dan “apa adanya”. Namun kalimat ini sungguh luar biasa salahnya.

Di atas telah dipaparkan bahwa menamakan negeri Yahudi dengan sebutan Israil merupakan celaan terhadap Nabi Israil ‘alaihis salam, baik langsung maupun tidak langsung, baik diniatkan untuk mencela maupun tidak. Semuanya dihitung mencela Nabi Israil ‘alaihis salam tanpa terkecuali.

Kaum muslimin sejati tidak meremehkan setiap perbuatan dosa atau perbuatan yang mengundang dosa. Mereka yang meremahkannya akan menyebabkan perbuatan yang mungkin nilainya kecil menjadi besar. Salah satu penyebab dosa kecil menjadi dosa besar adalah ketika pelakunya meremehkan dosa kecil tersebut.

Bahkan kita telah memahami bahwa mencela, menghina, melakukan tuduhan dusta kepada seorang Nabi adalah dosa besar. Akankah hal ini kita anggap hal biasa? Sekali lagi, akan sangat membahayakan bagi seseorang, ketika dia mengucapkan satu kalimat yang mendatangkan murka Allah, sementara dia tidak sadar. Mereka sangka itu perkara ringan, padahal itu perkara besar bagi Allah. (QS. An-Nur: 15)

Kalimat “Tidak perlu memperdebatkan istilah”, merupakan kaidah yang masyhur di kalangan para ulama’. Akan tetapi maksud kaidah ini tidaklah melegalkan penamaan Yahudi dengan Israel. Kaidah ini berlaku ketika makna istilah tersebut sudah diketahui tidak menyimpang, sebagaimana yang dipaparkan oleh Abu Hamid Al Ghazali dalam bukunya Al Mustashfaa fi Ilmil Ushul.

Sementara istilah “Israi”l untuk negeri Yahudi yang telah menjadi konsensus (kesepakatan) dunia. Kita cuma ikut-ikutan…

Kaum Muslimin selayaknya berusaha menjaga syiar Islam, misalnya dengan belajar bahasa Arab (baik lisan maupun tulisan), menghafalkan Al Qur’an, dan termasuk dalam hal ini adalah membiasakan diri untuk menggunakan istilah-istilah yang Allah gunakan dalam Al Qur’an atau dalam hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selama istilah tersebut dapat dipahami orang lain.

Sebagai bentuk pemeliharaan terhadap syiar Islam, para sahabat terutama Umar Ibn Al Khattab radhiyallahu ‘anhu sangat menekankan agar umat islam mempelajari bahasa arab. Beliau pernah mengatakan: “Pelajarilah bahasa arab, karena itu bagian dari agama kalian”. Beliau juga mengatakan: “Hati-hati kalian dengan bahasa selain bahasa Arab”.

Umar radhiyallahu ‘anhu tidak suka Kaum Muslimin membiasakan diri berbicara selain bahasa Arab tanpa ada kebutuhan, dan ini juga yang dipahami oleh para sahabat lainnya radhiyallahu ‘anhum. Mereka (para sahabat radhiyallahu ‘anhum) menganggap bahasa Arab sebagai konsekuensi agama, sedangkan bahasa yang lainnya dikategorikan termasuk syiar kemunafikan. Karena itu, ketika para sahabat berhasil menaklukkan satu negeri tertentu, mereka segera mengajarkan bahasa Arab kepada penduduknya meskipun penuh dengan kesulitan. (lihat Muqaddimah Iqtidla’ Shirathal Mustaqim, Syaikh Nashir al ‘Aql)

Dalam bahasa Arab, waktu sepertiga malam yang awal dinamakan ‘atamah. Orang-orang Arab Badui di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki kebiasaan menamai shalat Isya’ dengan nama waktu pelaksanaan shalat isya’ yaitu ‘atamah. Kebiasaan ini kemudian diikuti oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum dengan menamakan shalat isya’ dengan shalat ‘atamah. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mereka melalui sabdanya:

لا يغلبنكم الأعراب على اسم صلاتكم فإنها العشاء إنما يدعونها العتمة لإعتامهم بالإبل لحلابها

“Janganlah kalian ikut-ikutan orang Arab Badui dalam menamai shalat kalian. Sesungguhnya dia adalah shalat Isya’, sedangkan orang badui menamai shalat isya dengan ‘atamah karena mereka mengakhirkan memerah susu unta sampai waktu malam” (HR. Ahmad, dinyatakan Syaikh Al Arnauth sanadnya sesuai dengan syarat Muslim).

Al Qurthuby mengatakan: “Agar nama shalat isya’ tidak diganti dengan nama selain yang Allah berikan, dan ini adalah bimbingan untuk memilih istilah yang lebih utama bukan karena haram digunakan dan tidak pula menunjukkan bahwa penggunaan istilah ‘atamah tidak diperbolehkan, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menggunakan istilah ini dalam hadisnya…” (‘Umdatul Qori Syarh Shahih Al Bukhari karya Al ‘Aini)

Demikianlah yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat dalam menjaga syiar Islam. Sampai menjaga istilah-istilah yang diberikan oleh Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal penggunaan istilah asing dalam penamaan shalat isya’ tidak sampai derajat haram, karena tidak mengandung makna yang buruk.

Penutup

Lalu dengan apa kita menamai mereka? Kita namakan mereka sebagaimana nama yang Allah berikan dalam Al-Qur’an, yaitu Yahidu dan bukan Israel. Itulah sebutan yang cocok buat bangsa terkutuk itu. Karena itu hendaknya setiap Muslim membiasakan diri dalam menamakan sesuatu sesuai dengan nama yang Allah berikan.

Hendaknya kita namakan orang-orang yang mengaku pengikut Nabi Isa ‘alahis salam dengan Nashrani bukan Kristiani. Namakan hari minggu dengan nama ahad, bukan minggu. Gunakan namakan shalat dengan “shalat bukan “sembahyang”, dan seterusnya, selama itu bisa dipahami oleh orang yang kita ajak bicara. Inilah bentuk penghormatan kita terhadap syiar Dienul Islam.

Semoga Allah memberikan taufik kepada kita dan seluruh kaum muslimin untuk mengucapkan dan melakukan perbuatan yang dicintai dan diridhai Allah ta’ala. Sedikitpun tidak berniat menghina Nabi Ya’qub ‘alaihis salam dalam penggunaan kalimat-kalimat ini. Sebaliknya, yang kami maksud adalah Yahudi laknatullah itu. Wallaahu waliyyut taufiiq.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar