Rabu, 21 Juli 2010

Penantian

Dua tubuh tua itu duduk di depan rumah sambil mengingat masa romantis. Rambut putih adalah bukti bahwa waktu telah membawa mereka menjelajahi kehidupan. Sekarang mereka berdua, sedang menanti.

Sesekali mereka berdiri, menoleh sebentar ke luar pintu, kalau-kalau ada yang lewat di depan pagar yang hampir ambruk. Wajah keriput sedang menanti, lesu bersandar pada pintu tua yang bentuknya tidak simetris lagi. Mereka memandangi ujung jalanan, menanti orang yang mereka rindukan. Rasa pilu menyayat, memandangi orang-orang di luar sana bergembira menyambut anaknya datang dari rantau. Sedangkan mereka menanti dalam ketidakpastian.

Saat menutup pintu dan jendela, kesedihan terus menyergap. Mereka terdiam di senja yang mendung itu. Lampu minyak usang menyala di sudut ruangan, tak cukup menerangi seisi ruangan yang tidak begitu besar. Sumbunya mulai habis dimakan nyala api. Mereka memang menghemat dalam kekurangan. Hari tua yang sepi, sambil mengenang masa lalu yang tidak mungkin akan terulang.

Nenek itu berdiri tertatih, rheumatik yang menderanya bertahun-tahun membuatnya tidak bisa tegak berjalan dengan baik. Itulah sisa keperkasaannya saat usianya masih muda. Lantai papan rumah panggung yang sudah tua, berderik saat kakinya melangkah. Dibukanya lemari kecil di sudut ruangan yang di atasnya diletakkan lampu minyak. Pintu lemari itu sudah rusak, ditahan dengan karet ban bekas. Si nenek membungkuk dan mencari-cari sesuatu di antara lipatan beberapa helai bajunya.

“Apakah anak-anak kita akan pulang kali ini, kek?” Tanya nenek sambil terus mencari-cari sesuatu di dalam lemari.

“Belum tahu, nek. Bisa saja mereka tidak jadi datang hari ini”, kata kakek sambil menghela nafas panjang.

Akhirnya nenek menemukan apa yang dicarinya. Dia mengambil selembar foto hitam putih yang sudah mulai kabur warnanya, dimakan usia. Sebuah foto keluarga dengan orang tua dan tiga orang anak. Seorang anak perempuan, dan dua anak laki-laki. Nenek mendekatkan foto itu ke lampu minyak di atas lemari sambil memandanginya.

“Apakah mereka sudah lupa dengan kita?”

“Jangan bilang begitu, nek. Mungkin mereka belum punya waktu untuk mengunjungi kita. Mereka pasti datang”.

“Kapan itu? Kita sudah tua. Waktu kita sudah tidak lama lagi. Apa mereka saat kita sudah meninggal?”

“Jangan berprasangka buruk dulu”, kata si kakek yang terus berusaha menyabarkan si nenek.

Nenek akhirnya diam seribu bahasa. Entah apa yang kini bergejolak di dadanya. Mungkin ada harapan, hanya sedikit, yang kini dirasakannya akan padam. Ada yang ingin diucapkannya, namun lidahnya pahit mengucapkan harapan manis itu. Nenek tua itu tiba-tiba sesunggukan menangis, memeluk foto usang itu. Isak nenek terdengar pilu. Ia merindukan ketiga putra-putrinya itu.

“Kek, sudah berapa tahun mereka tidak mengunjungi kita?”

“Kakek lupa. Seingat kakek, sudah lama sekali mereka tidak pulang”, kata kakek tak kalah pilu.

Keduanya terdiam dengan pikiran masing-masing, terbawa suasana pilu yang menyayat. Nyanyian jangkrik menjadi hiburan satu-satunya bagi mereka bagaikan musikalisasi kegelisahan yang mendera mereka. Malam yang semakin larut itu menenggelamkan mereka ke dalam lautan kesedihan. Untuk kesekian kali pula mereka melewati malam ini dengan harapan kosong.

Sama seperti malam-malam sebelumnya, bertahun-tahun senyum kebahagiaan sudah direnggut dari wajah mereka. Mereka menantikan saat berkumpul kembali, seperti saat foto itu dibuat. Tapi kapan waktu itu ‘kan datang?

Mereka memang bukan Tuhan yang bisa mengatur hidup dan mati. Namun di usia mereka yang sudah senja ini, mereka berlomba dengan ajal. Kematian sewaktu-waktu mengintai mereka, sementara impian mereka belum juga terkabulkan.

Malam berganti pagi. Dua orang tua itu mulai melemah semangatnya. Mereka duduk di kursi bambu, menghadap ke pintu yang langsung memandang ke jalanan.

Kini hidup dalam sisa usia dan tenaga yang kian redup, uang pensiun tidak seberapa, yang mereka coba cukup-cukupkan untuk menyambung hidup. Bahkan, tanpa berharap anak-anak mereka mau mengirimkan beberapa lembar uang untuk menambah biaya hidup kedua orang tua mereka yang sudah uzur itu.

“Kek, potonglah rumput yang tumbuh di halaman itu. Jika mereka pulang, halaman itu bersih dari rumput. Nenek mau memasak makanan kesukaan mereka”.

“Sudahlah, nek. Mereka belum tentu pulang. Tidak perlu nenek memasak makanan kesukaan mereka”.

“Aku merasa bahwa hari ini mereka akan datang melihat kita”.

“Aku merasa bahwa mereka benar-benar sudah melupakan kita. Aku juga tidak tahu apa yang mereka pikirkan sekarang ini”, kata kakek yang kelihatannya sudah mulai muncul sikap apatisnya.

“Jangan kau bicara begitu. Aku ini ibu mereka. Batinku mengatakan mereka pasti pulang. Batin seorang ibu selalu benar. Kamu harus percaya, kek”, Kata nenek ngotot.

Kakek sedih melihat tingkah istrinya. Ia merasa bahwa nenek sudah semakin pikun. Karena itu kakek tidak ingin menghancurkan harapan nenek.

Kakek berjalan ke halaman rumah. Diambilnya cangkul dan arit dari dapur. Halaman gubuk mereka itu sekarang ditumbuhi ilalang yang tingginya sepinggang orang dewasa, seperti rumah yang sudah lama ditinggal pergi pemiliknya.

“Kotor sekali halaman ini”, kata kakek sambil berkacak pinggang. Dia mulai membersihkan rumput liar itu. Ototnya tidak sekuat dulu. Masa mudanya bercerita tentang kehidupan keras. Wajahnya legam terbakar sinar matahari, kini mulai basah oleh keringatnya.

Diayunkannya arit itu. Sesungguhnya tenaganya sudah lemah, tidak mampu lagi melakukan perkerjaan seperti itu. Mau mengupahkan pekerjaan itu, mereka tidak punya cukup uang untuk membayar orang. Dulu halaman itu selalu kelihatan asri karena senantiasa dibersihkan oleh anak lelakinya setiap akhir pecan. Itu dulu sekali. Kedua orang tua itu sudah lupa kapan kejadian persisnya.

Pekerjaannya belum usai, malam terlanjur turun. Matanya tidak mampu melihat dalam gelap. Dia memandang Isterinya yang duduk di atas singgasana bambu, menantikan kedatangan buah hatinya. Pandangannya kosong ke depan, air mata menetes. Kakek hanya mampu menghela nafas panjang. Terkadang dia merindukan ajal segera dating berkunjung menjemputnya. Ia merasa hidupnya tercampak dan tak berharga.

Kakek meninggalkan cangkul dan aritnya begitu saja. Ditapakinya tangga rumah itu dengan susah payah dan duduk di samping isterinya. Dia membelai rambut yang sudah ubanan itu. Mereka diam, membagi kegelisahan.

“Sudahlah, nek. Tutuplah pintu itu. Mereka takkan datang. Biarlah sisa hidup ini kita jalani berdua saja”.

Nenek diam saja, pandangannya kosong menatap ke depan. Diam tak bergerak. Kakek memandanginya dengan seksama dan memanggil-manggil, namun tidak ada jawaban.

Ternyata nenek sudah mendahului, pergi dalam penantiannya, meninggalkan semua harapannya bersama kakek yang selalu menemaninya di gubuk itu. Barangkali saja dia pergi dalam damai. Namun mimik wajahnya yang sudah kaku itu menyimpan impian yang tidak dapat diraihya.

Nenek sudah mendahului kakek. Entah apa yang harus dia perbuat. Barusan mereka masih berdua, kini tinggal kakek sendiri dalam penantian. Dia memeluk tubuh isterinya yang sudah kaku itu, menangis dalam air mata sisa. Rasanya tidak kuasa menerima keadaan itu.

“Nenek, apakah gulai kesukaan anak-anakmu sudah matang?” Tanya kakek. Nenek diam, tidak menjawab. Kakek menangis dalam kesendiriannya.

“Nenek, apa yang datang ke pikiranmu. Dulu kita berjanji sehidup semati. Kenapa engkau mendahuluiku?” Nenek tetap diam.

“Sekarang engkau sudah menyelesaikan satu dari semua penantianmu, sementara aku belum meraih satupun. Tetapi kuharap, engkau damai dalam tidur mu”, kata kakek.

“Ajaklah aku pergi bersamamu”.

Kakek terus berbicara sambil memangku tubuh nenek yang sudah tidak bernyawa lagi. sepanjang malam dia berbicara dan terus berbicara. Mereka berdua duduk menghadap pintu yang selalu terbuka, memandang kejalanan itu.

Ketika pagi tiba, tubuh kakek sudah terdiam. Kini tubuh mereka sudah sama-sama diam. Tidak ada lagi yang berbicara. Mereka sudah menyelesaikan penantian mereka. Keduanya pergi dalam diam, dalam penantian dan dalam kerinduan. Mereka pergi sambil memandangi ujung jalanan dari pintu yang selalu terbuka menghadap ke ujung jalan.

Di atas singgasana bambunya, kedua suami-isteri itu menggenapkan janjinya, menyelesaikan penantian. Impian tinggallah impian. Bisa jadi mereka lebih bisa tenang di dunianya yang baru.
Pintu gubuk itu tetap terbuka, hingga saatnya muncul suara yang datang memecah kesunyian yang menyergap ruangan di dalam gubuk itu.

“Bapak, ibu, kami pulang”.

Seorang laki-laki parlente menaiki tangga rumah. Mereka bertiga pulang bersamaan, dengan niat mengunjungi orang tua mereka yang kini sudah tidak dapat melihat mereka lagi. Mereka berlomba dengan takdir namun kalah dengan waktu. Andai mereka datang lebih awah, mungkin mereka masih bisa mengisi kebahagiaan di ruangan kecil itu.

Setelah mengistirahatkan kedua orang tua mereka, mereka kembali ke kota. Mereka tidak pernah datang lagi mengunjungi gubuk tua itu. Pintu rumah itu terus terbuka menghadap ke jalanan. Namun tidak ada lagi yang menanti di atas singgasana bambu itu. Kini tinggal pintu yang selalu terbuka menghadap ke jalanan. Kisah penantian itu usai sudah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar