Senin, 21 Desember 2009

Klub Poligami

(Jangan diambil hati, apalagi diseriusi)




Alkisah di sebuah perkampungan yang selama ini aman tentram kerta raharja, tiba-tiba jadi berubah. Muncul ketegangan antara para suami dengan para istri. Suasana yang biasanya romantis dan rukun, berubah tegang. Tidak ada lagi tawa dan canda di antara mereka. Para suami dimusuhi oleh para istri. Mengapa demikian?

Ternyata para ibu melihat gejala aneh diidap para suami mereka, yang tiba-tiba menjadi lebih genit dari biasanya. Para suami yang biasanya sarungan setiap pagi dan tidak mandi kalau tidak diteriaki berkali-kali oleh istirnya, tiba-tiba saja sejak pagi sudah mandi bersih dan berpakaian lengkap dengan sisiran yang rapi. Ada apa ini, fikir para istri.

Usut punya usut ternyata penyebabnya adalah karena munculnya sebuah perkumpulan eksklusif bernama “Klub Poligami” di kampung tetangga yang punya slogan “Why Only One If You Can Get More?”, “God Bless Those Who Allow Husbands.”, “Why Go Illegal If You Can Go Legal?”, dan lain-lain, dan seterusnya.

Ringkasnya, para suami menuntut agar mereka memperoleh privilege sama dengan yang diperoleh para anggota “Klub Poligami” tersebut.’ Mosok mereka bisa kami tidak bisa?’ Demikian kilah mereka. Lagipula berdasarkan statistik, jumlah wanita lebih banyak dari laki-laki. Entah statistik darimana yang mereka sampaikan.

“Kami tidak ingin terperosok dalam perzinahan yang semakin lama semakin mewabah. Alangkah baiknya kalau syahwat disalurkan secara syar’i daripada terjerumus”, dan alasan-alasan lainnya. Tentu saja argumen mereka dijawab oleh para istri mereka:

"Apakah servis kami selama ini kurang memuaskan sehingga perlu tukang servis lain? Satu aja ngak habis-habis, kok." Dan berbagai argumen lainnya dikemukakan.

Karena ketegangan semakin meruncing, maka Bapak Kuhan, kepala kampung turun tangan, mengajak mereka mendiskusikan masalah tersebut. ‘Tak ada yang tak bisa dimusyawarahkan. Kita ini hidup di Zaman kemajuan’, katanya.

Pada hari yang ditentukan, mereka berkumpul. Masing-masing pihak akan menyampaikan aspirasinya secara adil. Agar tidak terjadi keributan dan saling serobot bicara, maka ditentukan masing-masing pihak menunjuk juru bicaranya. Cak Kartolo ditunjuk jadi jubir para suami, sedangkan Ning Yah jadi jubir para istri. Mereka diminta untuk menyampaikan argumen masing-masing.

Cak Kartolo

“Para Ibu-ibu. Sebelumnya saya mohon agar tidak menuding kami para suami Anda ini sebagai pria gatal dan iseng cari kesenangan semata. Itu sungguh tudingan yang tidak patut. Cobalah melihat sejarah di belakang kita. Bukankah sejak dulu laki-laki itu memang ditakdirkan untuk memiliki lebih dari satu istri? Para raja dan kaisar bahkan punya ratusan istri dan selir. Bahkan bila raja dan dan kaisar hanya beristri satu maka itu dianggap sebagai suatu keganjilan. Bukankah itu semuanya merupakan fakta yang tidak terbantahkan?

’Mengapa wanita sekarang ini menjadi lebih tidak toleran dan cenderung membatasi hak prerogatif suami yang dulunya dianggap sangat wajar? Mengapa, mengapa dan mengapa? Tak bolehkah laki-laki memperoleh kembali hak-haknya azasi yang dulu untuk sekarang dengan tenang dan damai, wahai kalian wanita yang egois?’ Wajah Cak Kartolo nampak syahdu ketika menyampaikan tusukan argumennya ini. Bibirnya sedikit bergetar.

”Kalau laki-laki yang beristri lebih dari satu itu dianggap tidak patut, maka tentunya Tuhan tidak akan menunjuk orang-orang yang beristri lebih dari satu sebagai orang-orang terhormat seperti para Nabi dan Rasul. Faktanya, banyak Nabi yang beristri lebih dari satu.

"Apakah para ibu hendak menghujat mereka? Beranikah para wanita melawan dan menentang kehendak Tuhan yang sudah dituliskan dalam Kitab Suci? Takutlah pada Tuhan, wahai para istri. Sungguh siksa Tuhan sangatlah pedih. Menggigil rasanya kami membayangkan kalian kelak disiksa di neraka karena masalah ini".

"Tidak! Kami tidak ingin kalian disiksa. Sebaliknya, kami ingin kalian semua masuk sorga tanpa visa maupun fiskal. Memberikan kembali hak-hak sejati para lelaki seperti semula adalah tiket VIP bagi kalian untuk masuk surga. Masuk surgalah, wahai istri-istri kami. We love you full, eh! full nggak ya?!”

Ning Yah

Kalimat Cak Kartolo meluncur dengan anggun dan kemudian ditutupnya dengan doa pamungkas ”Robbana atina fiddunya… dst.” yang langsung diamini oleh para suami dengan gaduh.

Kelompok ibu-ibu terdiam dan tak mampu mengeluarkan sekedar kata ’amin’. Argumen Cak Kartolo sungguh menggetarkan, logis, antropologis, dan agak-agak magis. Masuk neraka? Siapa berani? Menggigil mereka dengan ancaman tersebut.

Ning Yah, jubir para istri, yang semula tampil penuh percaya diri dan gagah berani, nampak pucat dan keder. Tiba saatnya Ning Yah maju mengemukakan argumennya, ia menjadi ragu. Ia grogi dan argumen yang sudah disusunnya jadi berantakan kena sodokan pidatologis dan indah dari Cak Kartolo.

Ia akhirnya minta waktu untuk berunding dengan ibui-ibu sebelum maju mengemukakan argumen. Pak Kuhan sepakat. Para bapak senyum-senyum simpul. Itu merupakan tanda bahwa kemenangan telah di depan mata dan berada dalam genggaman tangan.

Para ibu pun kemudian berkumpul dan berunding dengan berbisik-bisik dan sangat serius, dipimpin oleh Ning Yah. Lima menit, sepuluh menit. Akhirnya setelah terjadi sedikit ketegangan di menit ke lima belas, perundingan mereka selesai. Wajah Ning Yah yang sebelumnya kusut masai kini nampak cerah. Begitu juga para ibu. Seolah awan mendung yang menggelayuti mereka sebelum kini jadi sirna.

Sambil memperbaiki tatanan rambutnya yang modal-madul, Ning Yah maju ke podium. Suasana hening. Bapak-bapak hampir tak mampu bernafas. Akankah mereka mendapat ijin untuk berpoligami ria dari para istri mereka?

” Bapak-bapak, para suami kami yang tercinta.” Ning Yah memulai pidatonya. ”Kami, para istri kalian mohon maaf sebesar-besarnya jika kami telah begitu egois sebelumnya.” Suaranya sedikit agak serak. Para suami berseri-seri mukanya mendengar ini. Ini tanda-tanda awal kemenangan mereka yang sudah di depan mata.

”Semula kami memang telah sepakat untuk bersikeras melawan dalam hal poligami ini. Saat ini bukan lagi jaman raja-raja dan kaisar, apalagi nabi-nabi. They are all gone. They are all history!” Luar biasa Ning Yah ini. Tak dinyana ia tiba-tiba bisa berbahasa Inggris.

”Sekarang ini jaman kesetaraan gender. Laki-laki dan wanita setara dan sederajat. Tak ada kelebihan seorang laki-laki dari wanita melainkan dari ketakwaannya.” para suami terperangah mendengar luncuran kata-kata Ning Yah ini. Tak salah jika ia ditunjuk menjadi Menkes, eh! jubir para ibu-bu kampung itu.

”Tapi setelah mendengar argumen Cak Kartolo yang mewakili para suami, maka kami kemudian berunding untuk memberikan keputusan yang mudah-mudahan akan baik bagi semua,” Ning Yah berhenti sejenak dan para bapak menajamkan telinganya. Tak ada yang berani bernapas.

” Kami akan mengijinkan para suami untuk berisitri lagi,” kata Ning Yah dengan tegas. Para suami langsung melompat dan bersorak gembira, seolah mendengar nama mereka diumumkan sebagai menteri kabinet. Suasana riuh rendah dan para suami berpelukan satu dengan yang lainnya. Ada yang sujud syukur segala. Mungkin terinspirasi oleh demonstrasi kesalehan para menteri kabinet. Ini sebuah kemenangan telak. Cak Kartolo perlu dinobatkan menjadi ” Man of Poligami 2009” kata para suami sambil bisik-bisik.

” Kami akan mengijinkan para suami untuk beristri dengan tiga syarat.” Ning Yah meneruskan kata-katanya di sela teriakan gembira para suami. Suasana langsung hening. Cak Kartolo jadi tegang. Syarat apakah gerangan? Mengapa harus tiga? Apakah ada hubungannya dengan salah satu provider operator ponsel? Cak Kartolo berpikir keras. Hampir putus sambungan neuron di otaknya karena berpikir keras seperti itu.

” Syarat apa itu kiranya, Ning Yah? Mohon kiranya tidak memberikan syarat yang neko-neko. Ingat bahwa ridha suami adalah ridho Allah.” suara Cak Kartolo serak dan bergetar ketika mengucapkan ini.

”Syarat Pertama. Meski punya istri baru, kalian para suami harus tetap sayang pada kami dan anak-anak kami nantinya.” Ning Yah menatap tajam pada Cak Kartolo. Para suami berpandang-padangan dan dengan cepat Cak Kartolo menjawab:

”Oh! Tentu saja. Tentu saja kami akan tetap mencintai kalian. Istri dan anak-anak kami. Itu jangan diragukan.” para suami menimpali dengan koor ”Tentu, jangan kuatir!”. Wajah mereka kembali cerah. Ternyata bukan syarat yang neko-neko seperti yang mereka kuatirkan semula. Untungnya Ning Yah tidak mengusulkan tes kesehatan fisik dan kejiwaan seperti yang diminta oleh pak SBY kepada para calon menterinya. Jika itu yang diminta mungkin lebih dari separoh dari mereka akan bernasib seperti Nila Anfasa Moloek.

”Syarat Kedua. Jika punya istri baru janganlah kalian lupa menafkahi kami. Meski lebih sedikit daripada istri baru kalian. Tetapi kalian harus tetap menafkahi kami.” Ning Yah semakin berapi-api ngomongnya.

Mendengar syarat kedua ini, para suami tertawa kecil. Setelah berunding sejenak mereka pun menyatakan setuju dengan syarat kedua ini. Juga dengan koor: ”Sudah selayaknyalah kami tetap menafkahi kalian, meski istri muda mungkin lebih banyak biayanya. ” sahut Cak Kartolo sambil tersenyum kemalu-maluan.

”Syarat Ketiga dan ini yang paling penting.” sambung Ning Yah seolah tak peduli dengan perilaku para suami. Ia berhenti sejenak. Ruangan pertemuan langsung senyap. Semua memasang pendengaran terbaik mereka agar tidak salah info. Cak Kartolo sedikit gemetar. Ia kuatir bahwa syarat ini bisa mengganjal aspirasi mereka seperti terganjalnya Nila Anfasa Moloek menjadi Menkes.

”Syarat Ketiga…”
Suasana hening. Ning Yah memang sengaja menggantung kata-katanya. Ia memang sengaja tidak segera meneruskan kata-katanya, tapi sebaliknya justru menyapukan pandangannya pada semua suami yang ada di hadapannya. Dadanya membusung dan matanya berapi-api. Begitu ia membuka mulut, kata-katanya langsung menggelegar

”Syarat Ketiga… LANGKAHI DULU MAYAT KAMIIII…!”


Begitu kata-kata Ning Yah berakhir, para ibu yang semula duduk rapi tiba-tiba serentak berdiri dan melompat menyerbu ke arah bapak-bapak dengan tangan terkepal.

”Allahu Akbar…! Allahu Akbar…!


Pertemuan berubah menjadi ajang pembantaian bapak-bapak. Tak perlu diceritakan detilnya. Tetapi sejak itu tak ada lagi yang berani macam-macam kepada para istri.


-----------------------------------------------------------------
Balikpapan, 24 Oktober 2009
Satria Dharma
Ketua ISTI Chapter Balikpapan
ISTI = Ikatan Suami Takut Istri. Takut istri tidak bahagia, takut istri menderita, takut istri terlantar, takut istri jadi seperti Ning Yah, dll.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar