Senin, 21 Desember 2009

Abdurrahman bin 'Auf

Konglomerat yang Luar Biasa



Di luar rumah, terdengar suara hiruk-pikuk, Aisyah sontak bertanya, “Ada apa ini?”

“Kafilah Abdurrahman bin Auf baru datang dari Syam membawa barang-barang dagangannya,” jawab seseorang. Ummul Mukminin berkata lagi,

“Kafilah dia yang telah menyebabkan semua ini?”

“Benar, ya Ummul Mukminin. Ada 700 kendaraan onta yang mengangkut dagangannya.”

Aisyah menggeleng-gelengkan kepalanya. Ingatannya menerawang, mencoba mengurai memori berbagai kejadian yang pernah dilihat dan didengarnya. Kemudian ia berkata,

“Aku ingat sekarang. Aku pernah mendengar Rasululah berkata, `Kulihat Abdurrahman bin Auf masuk surga dengan perlahan-lahan.”

Perkataan ini didengar oleh sebagian sahabat. Mereka menyampaikannya kepada Abdurrahman bin Auf. Alangkah terkejutnya saudagar kaya itu. Sebelum tali-temali perniagaannya dilepaskan, ia melangkahkan kakinya ke rumah Aisyah.

“Engkau telah mengingatkanku sebuah hadits yang tak mungkin kulupa.” Ujar Abdurrahman bin Auf. “Sekarang aku berharap agar engkau menjadi saksi, bahwa kafilah ini dengan semua muatannya berikut kendaraan dan perlengkapannya, kupersembahkan di jalan Allah. Lalu dibagikanlah seluruh muatan 700 kendaraan onta itu kepada penduduk Madinah dan sekitarnya. Sebuah infak yang mahabesar.

Abdurrahman bin Auf adalah seseorang yang mengendalikan hartanya. Ia bukan menjadi budak yang dikendalikan hartanya. Ia tidak mau celaka dengan mengumpulkan harta. Tetapi ia mengumpulkan harta dengan jalan halal. Harta itu tidak dinikmati sendiri. Keluarganya, kerabatnya, saudaranya dan masyarakat juga ikut menikmati.

Saking kayanya, seseorang pernah berkata, “Seluruh penduduk Madinah telah menyatu bersama dengan Abdurrahman bin Auf. Sepertiga hartanya dipinjamkan kepada mereka. Sepertiga lagi dipergunakannya untuk membayar utang-utang mereka. Sepertiga sisanya diberikan dan dibagi-bagikan kepada mereka.” Abdurahman bin Auf sadar bahwa kekayaan itu tidak mendatangkan kelegaan dan kesenangan pada dirinya bila tidak dipergunakan untuk membela agama Allah dan membantu kawan-kawannya. Ia bahkan ragu dan resah bila harta itu dipakai hanya untuk dirinya.

Suatu hari, dihidangkan kepadanya makanan berbuka puasa. Ia berpuasa. Pandangannya jatuh pada hidangan yang menerbitkan selera makannya. Tetapi kemudian ia malah menangis:

“Mush’ab bin Umair gugur sebagai seorang syahid. Ia jauh lebih baik dari aku. Kafannya sehelai burdah; yang jika ditutupkan ke kepalanya, maka kelihatan kakinya. Jika ditutupkan kedua kakinya, terbukalah kepalanya.” Abdurrahman bin Auf berhenti sejenak. Dengan suara yang ditengahi isak, ia berkata:

“Hamzah jauh lebih baik daripadaku. Ia gugur sebagai syahid. Saat dikuburkan, hanya ada sehelai selendang baginya. Telah dihamparkannya untuk kami dunia ini seluas-luasnya. Telah diberikannya pula kepada kami hasil sebanyak-banyaknya. Aku yakin bahwa telah didahulukan pahala kebaikannya daripada pahala kami.”

Abdurrahman bin Auf takut bahwa hartanya akan memberatkan dirinya di hadapan Allah. Ketakutan itu sering akhirnya menumpahkan air matanya. Padahal, ia tidak pernah mendapatkan harta yang haram sedikitpun.

Suatu hari, sebagian sahabat berkumpul di rumah Abdurrahman bin Auf. Mereka dijamu. Berbagai macam makanan diletakkan di hadapan mereka. Tiba-tiba ia menangis. Mereka heran dan bertanya kenapa menangis. Abdurrahman bin Auf tidak menjawab. Ia terus menangis tersedu-sedu. Kemudian Abdurrahman bin Auf menjawab,

“Rasulullah saw. sampai wafatnya, beliau berikut keluarganya belum pernah makan roti gandum sampai kenyang. Aku khawatir bila dipanjangkan usia tetapi tidak menambah kebaikan padaku?”

Perkataan Abdurrahman bin Auf membuat para sahabat ikut menangis. Mereka adalah orang-orang yang hatinya mudah tersentuh, dekat dengan Allah dan tak pernah berhenti mengharap ridha Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar