Kamis, 31 Desember 2009

Jangan Melupakan Sejarah

(Catatan Kecil Memasuki Tahun 2010)



Sejarah adalah refleksi dan identitas sebuah peradaban. Penafsiran terhadapnya mempengaruhi sikap dan tingkah laku para pelaku sejarah. Napoleon Bonaparte menakluk seluruh wilayah bekas kekaisaran romawi dalam rangka mengklaim dirinya sebagai penerus spiritual Romawi. Ia kenakan daun Defnaf sebagai mahkota yang biasa digunakan kaisar-kaisar Romawi.

Napoleon bukan satu-satunya orang yang mendasarkan tindakannya pada sebuah penafsiran sejarah. Para pendiri Negara Amerika Serikat menghabiskan waktunya untuk mempelajari kitab-kitab latin klasik. Bagi mereka sejarah bukan sesuatu yang mati.

Penafsiran sejarah membuat seorang Yahudi bernama Theodore Herzl mencetuskan gagasannya tentang ”Negara Yahudi”. Gagasan ini menginspirasi banyak orang Yahudi untuk mewujudkan cita-cita Herzl: sebuah negara di tanah yang dijanjikan Tuhan, yaitu Palestina. Kemudian pembantaian dan pengusiran terhadap rakyat Palestina dianggap bukan dosa atau pelanggaran terhadap kemanusiaan, karena Zionis Israel merasa memiliki klaim theologis dan historis atas Palestina.

Bangsa-bangsa penjajah memahami nilai strategis sejarah. Mereka berduyun-duyun mengkaji, meneliti, dan menulis sejarah, bukan hanya sejarah mereka tetapi merambah pada sejarah peradaban Islam. Tetapi umat Islam justru mengalami amnesia terhadap sejarahnya, kehilangan jati diri, dan tidak bangga terhadap keislamannya.

Ketika tradisi keilmuan di kalangan umat Islam memudar, penulisan sejarah Islam banyak dilakukan oleh kaum orientalis dan murid-muridnya. Padahal menurut Muhammad Quthb, karya-karya mereka lemah dari sisi metodologi, jauh dari tanggung jawab ilmiah, dan diwarnai motivasi untuk mewujudkan tujuan tertentu yang tersembunyi. Cermatilah buku-buku sejarah Islam, dengan mudah menemukannya bahwa ia karya orientalis atau muslim yang berfikiran orientalis.

Musuh-musuh Islam melakukan upaya sistematis dalam mendekonstruksi sejarah Islam sampai umat Islam benar-benar melupakan kegemilangan sejarah peradabannya. Umat ini hampir tidak memiliki pilihan kecuali memahami sejarahnya melalui kacamata Barat yang jauh dari nilai-nilai Islam. Mereka menafsirkan, memberi label dan mencitrakan umat Islam sesuai kehendak dan prasangka mereka. Dalam perspektif mereka, siapapun yang ingin mengembalikan kejayaan peradaban Islam akan diberi cap teroris, radikal, fundamentalis dan diperlakukan sebagai musuh peradaban barat. Kita tahu barat telah menyematkan label ”teroris” kepada Hamas, hanya karena mereka konsisten ingin membebaskan Palestina dari cengkraman penjajah Israel. Mengapa kita melupakan jejak berdarah yang ditinggalkan Negara Yahudi di bumi Palestina sejak tahun 1948, yang tidak pernah berhenti meneror, membunuh, memperkosa, dan ribuan kejahatan kemanusiaan lainnya terhadap rakyat Palestina sebelum bumi Palestina seluruhnya jatuh dalam genggaman mereka.

Para pemimpin Islam telah melupakan siapa musuh mereka. Pilu rasanya menyaksikan mereka takluk pada tekanan barat dan ”dipaksa” duduk bersama mereka ketika hujan bom dan peluru Israel membumi hanguskan Gaza. Mereka bicara tentang HAM dan perdamaian, tapi tidak pernah mau mengusir penjajah dari bumi Palestina. Mereka klaim sebagai negara paling demokratis, tetapi memboikot kemenangan Hamas dalam pemilu tahun 2006 dan membiarkan Gaza diblokade dari dunia luar sehingga terjadi krisis kemanusiaan. Jangan lupakan bahwa Eropa dan Amerika berdiri dalam satu barisan menghadapi dunia Islam, dan jiwa perang salib masih tetap melekat di dada mereka. Kita tidak sedang menghakimi seluruh masyarakat barat, tetapi pemerintahan di negara barat telah lama terjangkiti sindroma Islamophobia.

Dunia boleh lupa pada pidato Bush ketika tentara Amerika melakukan penyerangan ke Afghanistan dan menganggap perang itu sebagai Crussade atau ”Perang Salib”. Ini fakta sejarah dan saksi hidup kebiadaban yang dipertontonkan Israel, Amerika dan sekutu-sekutunya terhadap dunia Islam. Umat Islam harus mendokumentasikan peristiwa tragis itu dalam sebuah catatan sejarah yang akan dibaca oleh generasi muslim di masa depan, agar mereka bersatu padu menghadapi setiap kekuatan yang mencoba menghancurkan umat Islam.

Kita mungkin berharap akan datang lagi Salahuddin Al Ayubi membebaskan bumi Palestina dari penjajahan Zionis Israel. Padahal sosok Salahudin tidak serta merta muncul tanpa sebab yang mendahuluinya. Ia adalah produk sebuah peradaban yang lahir dari rahim para ulama yang menjadikan Allah sebagai satu-satunya tujuan hidup.

Sejatinya, ini adalah tugas besar bagi umat Islam untuk menelaah, mengkaji dan menafsirkan kembali sejarahnya dengan benar, tidak hanya mengekor pemikiran orientalis yang notabene tidak pernah merasakan ruh Islam bergejolak dalam dada mereka.

Sejarah jangan lagi diperlakukan sebagai kumpulan fakta dan menjadi tumpukan dokumentasi masa lalu. Umat Islam harus mampu menjadikan sejarah sebagai pelajaran berharga dalam bentuk rangkaian aturan-aturan Allah yang sangat efektif membantu menemukan jalan menuju kemajuan peradaban dan menghindari kesalahan-kesalahan generasi masa lalu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar