Senin, 21 Desember 2009

Cara Memberantas Korupsi

Oleh Ismail Yusanto



Pengantar


Korupsi di Indonesia menjadi persoalan yang amat kronis. Korupsi telah menyebar luas ke seantero negeri dengan kecenderungan meningkat dari tahun ke tahun. Modusnya makin beragam. Laporan berbagai lembaga menunjukkan bahwa tingkat korupsinya adalah termasuk paling tinggi di dunia. The Strait Time, menjuluki Indonesia sebagai "the envelope country”: segalanya bisa dibeli (lisensi, tender, wartawan, hakim, jaksa, polisi, petugas pajak atau yang lain). Segala urusan lancar bila ada “amplop”.

Korupsi sangat merugikan keuangan negara. Kwik Kian Gie, mantan Ketua Bappenas menyebutkan bahwa lebih dari Rp 300 trilyun uang dari penggelapan pajak, kebocoran APBN maupun penggelapan hasil sumberdaya alam, menguap masuk ke kantong para koruptor. Padahal untuk subsidi BBM sekitar Rp 15 trilyun, pemerintah terpaksa menaikkan harga BBM, yang itu memberatkan 200 juta rakyat Indonesia yang masih hidup pas pasan. Korupsi yang berjalan dengan kolusi, membuat sebuah keputusan menjadi tidak optimal. Korupsi juga menambah kesenjangan sosial, yaitu memburuknya distribusi kekayaan. Koruptor makin kaya, si miskin makin miskin.

Apa yang Harus Dilakukan

Niat memberantasnya cukup besar. Telah dibuat tap MPR khusus tentang pemberantasan KKN. Tetapi mengapa gagal memberantasnya? Ternyata penanganannya tidak komprehensif, setengah hati dan tidak sungguh-sungguh. Masyarakat menunggu upaya manjur mengatasinya. Bagaimana caranya? Di bawah ini ada langkah-langkah yang perlu diambil, yaitu:

1) Gaji dan Fasilitas Hidup yang Layak

Bila aparat pemerintah ingin bekerja dengan baik, mereka harus menerima gaji yang cukup untuk kebutuhan hidup. Mereka manusia biasa, punya kebutuhan hidup, berkewajiban mencukupi nafkah keluarga. Agar bisa bekerja tenang, tidak mudah tergoda berbuat curang, mereka harus digaji dan diberi tunjangan hidup yang layak. Nabi Saw Rasul berkata:

“Siapa saja yang diserahi pekerjaan dalam keadaan tidak mempunyai rumah, sediakan rumah untuknya. Jika belum beristri, nikahkan dia. Jika tidak berpembantu, hendaknya ia mengambil pelayan. Jika tidak mempunyai hewan tunggangan (kendaraan), sediakan untuknya. Dan siapa saja mengambil selain itu, itulah bentuk kecurangan /korupsi (ghalin)” (HR Abu Dawud)

Harus ada upaya pengkajian menyeluruh terhadap sistem penggajian dan tunjangan hidup. Gaji yang rendah membuka kemungkinan perolehan tambahan pemasukan (yang halal dan haram). Memang, gaji besar tidak menjamin seseorang tidak korupsi, tetapi rendahnya gaji tidak lagi menjadi pemicu korupsi.

2) Larangan Menerima Suap dan Hadiah

Hadiah dan bentuk-bentuk pemberian lainnya pasti mengandung maksud tertentu. Saat Abdullah bin Rawahah menjalankan tugas dari Nabi Saw untuk membagi dua hasil bumi Khaybar, separo untuk kaum Muslimin dan sisanya untuk orang Yahudi, datanglah orang Yahudi memberikan suap berupa perhiasan agar mau memberikan lebih dari separo untuk orang Yahudi. Tawaran ini ditolak keras:

“Suap yang kalian tawarkan adalah haram, dan kaum Muslimin tidak memakannya”. Mendengar ini, orang Yahudi itu berkata, “Karena (ketegasan) itulah langit dan bumi ini bisa tegak” (Imam Malik dalam al-Muwatta').

Tentang suap Rasulullah Saw berkata:

“Laknat Allah terhadap penyuap dan penerima suap” (HR. Abu Dawud).

Tentang hadiah kepada aparat pemerintah, Nabi Saw berkata:

“Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kufur” (HR. Imam Ahmad).

Dalam sebuah hadits riwayat Bukhari, Nabi Saw mengecam keras perilaku Ibnul Atabiyah lantaran ia menerima hadiah dari para wajib zakat dari kalangan Bani Sulaym, karena suap dan hadiah berpengaruh buruk pada mental aparat pemerintah.

3) Mendata Kekayaan Aparat

Pelaku korupsi, jumlah kekayaannya bertambah cepat, meski tidak selalu demikian. Tetapi perhitungan kekayaan dan pembuktian terbalik sebagaimana telah dilakukan oleh Khalifah Umar bin al Khaththab menjadi cara bagus untuk mencegah korupsi.

Khalifah Umar Ra menghitung kekayaan para pejabat di awal dan di akhir jabatannya. Bila terdapat kenaikan yang tidak wajar (bukan jaksa atau hakim yang melakukan), yang bersangkutan diminta membuktikan bahwa kekayaannya itu didapat dengan cara halal. Bila gagal, Umar memerintahkan pejabat itu menyerahkan kelebihan harta yang tidak wajar itu kepada Baitul Mal. Atau, membagi dua kekayaan itu: separo untuk yang bersangkutan, sisanya untuk negara.

Ini pembuktian terbalik yang sebenarnya efektif mencegah aparat berbuat curang. Pembuktian material di depan pengadilan oleh jaksa, terbukti selalu gagal mengungkap tindak pidana korupsi, karena koruptor tidak mungkin meninggalkan jejak dalam bentuk bukti transfer, kuitansi, cek atau lainnya.

4) Memilih Pemimpin yang Amanah dan Teladan

Pemberantasan korupsi bisa berhasil bila para pemimpin tertinggi sebuah negara bersih dari korupsi. Ketaqwaannya melaksakan tugas, amanah dan takut melakukan penyimpangan, karena Allah SWT pasti melihat dan di akhirat ia dimintai pertanggungan jawab.

Khalifah Umar Ra menyita sendiri seekor unta gemuk milik puteranya, Abdullah bin Umar, karena kedapatan digembalakan bersama di padang rumput milik Baitul Mal. Hal ini dinilai Umar sebagai bentuk penyalahgunaan fasilitas negara.

5) Ada sanksi Hukum yang Setimpal

Sanksi hokum erfungsi sebagai pencegah (zawajir). Hukuman setimpal atas koruptor diharapkan membuat orang jera dan kapok melakukan korupsi. Dalam Islam, koruptor dikenai hukuman ta'zir berupa tasyhir atau pewartaan (dulu dengan diarak keliling kota, sekarang mungkin bisa ditayangkan di televisi seperti yang pernah dilakukan), penyitaan harta dan hukuman kurungan, bahkan sampai hukuman mati.

6) Ada Pengawasan dari Masyarakat

Masyarakat dapat berperan menyuburkan atau menghilangkan korupsi. Masyarakat yang bermental instan cenderung menempuh jalan pintas dalam berurusan dengan aparat. Ia tak segan memberi suap dan hadiah. Sementara masyarakat yang mulia akan turut mengawasi jalannya pemerintahan dan menolak aparat yang mengajaknya berbuat menyimpang. Demi menumbuhkan keberanian rakyat mengoreksi aparat, Khalifah Umar Ra di awal pemerintahannya menyatakan:

“Apabila kalian melihatku menyimpang dari jalan Islam, maka luruskan aku walaupun dengan pedang”.

Penutup

Dengan pengawasan masyarakat, korupsi sangat sulit dilakukan. Demikianlah bahwa keteladanan pemimpin, hukuman yang setimpal, larangan pemberian suap dan hadiah, pembuktian terbalik dan gaji yang mencukupi, insya Allah korupsi dapat diatasi dengan tuntas. Tinggal kita ini mau menjalankannya atau membuangnya, lalu menggantinya dengan cara-cara lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar