Senin, 09 November 2009

Laporan dari Lokasi Gempa Sumatera Barat

Assalaamualaikum Warahmatulllahi Wabarakaatuh



Email ini sebenarnya ingin saya kirim 3 hari yang lalu. Apa daya, jaringan internet byar-pet, ditambah tugas memanggil ke sana ke mari, akhirnya baru malam ini saya berhasil mengirimkannya.

Apalagi, dua hari silam saya mengalami musibah. Mobil yang saya tumpangi dengan kecepatan 50-60 km /jam menuju Bandara Internasional Minangkabau, untuk menjemput rekan kerja dari Kuala Lumpur, mengalami tabrakan beruntun tepat di depan Universitas Negeri Padang (UNP).

Hasilnya, 3 mobil ambulans PMI berantakan karena tabrakan tersebu (akibat sebuah mobil umum berhenti mendadak di jalur cepat, padahal mobil2x Palang Merah memakai sirene ke bandara, sekaligus menurunkan obat-obatan yang datang dari jakarta). Plus, mobil sewaan saya.

Saya terpental, nggak yakin apakah dada saya membentur dashboard atau tidak. Yang jelas, saya beruntung pake sabuk pengaman. Gubrakkk. Lalu asap muncul di mana-mana. Mobil sewaan saya hancur blas bagian depannya. Supir ambulans Unit Transfusi Darah milik Kota Padang hancur muka-belakang, dijepit mobil saya dan mobil di depannya. Supirnya, Hendra, terjepit kaki kanannya di ruang kemudi. Belasan tentara dan polisi, termasuk kita, berusaha cepat mengeluarkannya. Apalagi minyak oli menetes deras dari mobil saya. Takutnya terbakar. Belakangan, diketahui kaki Mas Hendra itu patah, dan sebenarnya direkomendasi untuk dioperasi. Tetapi dengan berbagai pertimbangan, akhirnya diurungkan. Tetapi kondisinya mulai membaik.

Reflek, saya langsung telpon teman PMI di markas daerah, lalu rekan di IFRC. Istri belakangan (ssst, jangan kasi tahu istri saya, ya?). Baru kemudian terasa dada nggak enak. Saya istirahat di Posko PMI, lalu ikut ke RS Siti Rahmah. Khawatir, saya diminta oleh dokter untuk rontgen. Alhamdulillah tidak ada retak atau luka. Hanya memar dalam, mungkin. Dokter memberi saya obat peredam nyeri.

Sebenarnya, saya sudah berada di Padang sejak Jumat lalu, 2 Oktober kemarin pagi-pagi, 2 Oktober. naek Pelita Air Service, atas jasa baik Chevron (Bos Fuadi, bilang ke Yayik, terima kasih banyak saya naik gratis ya...).

Kondisi keseluruhan kota Padang, menurut hemat saya cukup memprihatinkan, tetapi masih alhamdulillah dampaknya secara fisik tidak mengenai seluruh kota (mungkin 50%). Yang jelas listrik dan air bersih jadi masalah utama. Ppaling berat tentu karena ada gedung2 yang kolaps dan menimbun banyak orang di dalamnya. Saya mendampingi kawan-kawan relawan PMI di lapangan. Kemarin di kampus STBA Prayoga, relawan PMI berhasil menyelamatkan seorang dosen wanita yang terkurung sejak kejadian. Alhamdulillah selamat. Serasa mukjizat. Tetapi ada kawan relawan yang juga sedih bukan kepalang, di hari kejadian berhasil menolong seorang bocah, tetapi dua lainnya (ibu dan anggota keluarga) gagal diselamatkan. Mereka sudah meninggal.

Saya beruntung ikut assessment /peninjauan udara di siang hari menggunakan heli sewaan Federasi dari sekitar Padang hingga Pariaman. Memang, di dekat2 episentrum, efeknya masif. Gunung dan bukit berguguran, longsor. Bukit Barisan yang hijau sekarang banyak bopeng-bopengnya. Ngeri membayangkannya. Saya sempat mendarat di tempat terpencil di Bukit Pinang, Kampung Pauh, Lima Koto Kampung Dalam, Pariaman (kalo tak salah). Ibu-ibu yang menyambut pada menangis, karena kata mereka, baru Palang Merah yang datang ke mereka setelah tiga hari kejadian. Saya sampai mau nangis juga. "Tolong Pak, kami makan apa saja, mengais-ngais yang tersisa di sini," kata seorang ibu, yang tengah hamil. Waktu saya take off kembali, mereka melambai-lambai penuh harap. Aduh, teriris-iris hati rasanya.

Hari ini tim PMI bergerak ke Pariaman, karena sesungguhnya inilah daerah bertarung sesungguhnya. Banyak kerusakan, terpencil, dan susah dijangkau. Di Padang sendiri, tetap kerusakan terjadi, tetapi karena di kota maka lebih mudah mengakses ke sana ke mari, meskipun macet di mana-mana (antri bensin, antri air minum).

Saya sehat-sehat saja. Cuma seharian kemarin, saya baru menyentuh makanan setelah isya. "Kita ini kayak bebek, kerjaannya minum air melulu," kata kawan-kawan relawan. Saya setuju. Dan tidak menyesal harus jadi bebek. Tadi pagi sampai siang, saya ada di Hotel Ambacang, bersama relawan PMI dan TNI mencari tubuh yang mungkin terperangkap. Ketemu, sudah meninggal, tapi belum bisa dikeluarkan. Saya takut juga berada di antara reruntuhan, karena sudah reot dan jangan2 ambruk hanya dengan sedikit goncangan. Doakan mereka semua selamat dalam bertugas.

Hari ini, 5 Oktober, saya ke Padang Pariaman. PMI membuka posko kesehatan dan dapur umum di Desa Cubadak Air, Kecamatan Pariaman Utara, Kota Pariaman. Sempat wawancara dengan seorang ibu, yang dengan keempat anaknya mengantri berobat. "Saya khawatir dengan anak bungsu saya, Pak. Sejak kejadian gempa, dia diam, tidak mau ngomong. Trauma dengan bencana itu," kata si Ibu. Kasihan. Saya catat agar kawan-kawan di PMI mulai mengerahkan PSP (Psychosocial Support Program) volunteer mereka ke desa dan kota.

Belum tau nih kapan harus kembali. Untuk ikhwan'akhwat bila ingin mengorganisir bantuan, bisa disalurkan ke PMI, PKPU, atau ke tempat lainnya yang saya lihat aktif (Juga Al Alzhar Peduli Ummat saya lihat ada di Pariaman).

HP saya yang biasa dinonaktifkan, tetapi silakan telpon saya di 087870642290.


--------------------------------------------------------------------------
Salam,

Laporan Seorang Teman, Ahmad Husein
(Bekerja sebagai Humas di Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar