Senin, 09 November 2009

Babak Bari Isu Terorisme

Pengantar

Tiga bulan pasca Tragedi JW Marioot-Rizt Carlton, isu terorisme terus bergulir. Terbunuhnya sejumlah pelaku terror tidak menjadikan agenda terorisme berakhir. Justru ada upaya yang lebih sistematis untuk mengembangkan isu ini. Mulai dari menindak para pelaku teror atau kekerasan sampai memberangus setiap upaya menegakkan Islam.

Kini muncul labelisasi, mengaitkan aksi kekerasan dengan fihak yang memiliki agenda formalisasi syariah Islam. Upaya ini tampak dipaksakan, karena antara motif dengan aksi pada kelompok yang dikaitkan sesungguhnya tidak ada korelasinya.

Penangkapan terhadap 335 orang lebih yang dikaitkan dengan aksi teror. Eksekusi terhadap 9 orang dalam drama di Temanggung, Jebres dan Ciputat ditayangkan TV. Mereka ini seakan tidak berhak sama sekali membuktikan dirinya teroris atau tidak, dan mendapatkan peradilan yang transparan dan jujur di depan hukum.

Dari sudut pandang HAM, penanganan di atas diduga sarat dengan pelanggaran, misalnya dalam penetapan daftar pencarian orang (DPO). Ini tidak sesuai dengan prinsip praduga tak bersalah. Ia bertentangan dengan pasal 19 ayat 1 UU HAM. Intinya, polisi tidak boleh mengumumkan seseorang masuk dalam DPO sebelum ada putusan pengadilan (Saharuding Daming, anggota Komnas HAM, Detiknews, 26/8/09).

TV dan media massa kini dikontrol dan dipaksa berpihak tanpa memberikan ruang untuk melakukan klarifikasi. Opini dibentuk dan diarahkan untuk mengadili tersangka, dan membenarkan tindakan pengadilan sepihak itu.

Memasuki Babak Baru

Pemerintahan SBY memasukkan agenda terorisme dalam program 100 hari pertama yang dikomando Menko Polhukam Marsekal (Purn.) Djoko Suyanto. Salah satu topik utama dalam Pertemuan National Summit yang digelar pada 29-31 Oktober 2009 di Jakarta. Pertemuan ini ajang dialog pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dalam isu terorisme. Di dalam pertemuan itu dibentuk komisi khusus penanganan terorisme (Detiknews, 25/10/09).

CIDES menyelenggarakan diskusi bertajuk “Kepemimpinan SBY, Gerakan Terorisme dan Masa Depan Demokrasi Indonesia” di Hotel Sahid Jakarta (22/10/09). Ketua Desk Koordinator Pemberantasan Terorisme di Kementerian Kordinator Polhukam Ansyaad Mbai berupaya mengaitkan dan menggeneralisasi tindakan dan kelompok teror yang mencakup semua kelompok dan umat Islam yang mengusung agenda penegakkan syariah Islam. Akhirnya, kontra terorisme pun bergeser dari penindakan terhadap radikalisme agama ke upaya deradikalisasi.

Sesungguhnya radikalisme, batasan dan bentuknya, semuanya tidak jelas. Jika perang melawan terorisme berubah dari memerangi pelaku teror atau kekerasan kepada perang melawan perjuangan menegakkan kembali syariat Islam, lalu untuk kepentingan siapa perang ini? Jelas bukan untuk kepentingan Islam dan umatnya. Bukan untuk kepentingan Indonesia yang mayoritas penduduknya Muslim. Meski sering kali menggunakan kedok untuk menyelamatkan Indonesia.

Skenario Politik Belah Bambu

Perang Melawan Terorisme sesungguhnya adalah perang melawan Islam. Ia merupakan agenda negara-negara penjajah. Mereka menganggap Islam sebagai ancaman potensial setelah runtuhnya Sosialisme dan Komunisme. Mereka telah menyiapkan 2 (dua) skenario.

Pertama, menyerang Islam dengan menyamarkan dan mengkamuflase dengan istilah Perang Melawan Terorisme, Radikalisme atau Fundamentalisme, atau ungkapan-ungkapan lainnya. Jika mereka menyatakan secara terbuka perang melawan Islam, mereka pasti tidak akan menang.

Dalam kondisi tertentu, mereka langsung melakukan peperangan terhadap umat Islam, terutama setelah mereka membuktikan sendiri bahwa umat Islam tidak akan bisa dikalahkan, baik di Irak, Afganistan maupun Pakistan. Untuk itulah mereka lalu meminjam tangan-tangan orang Islam melawan orang Islam. Mereka membentuk pemerintah boneka di Irak, Afganistan dan Pakistan atau negeri-negeri kaum Muslim lainnya sebagai kepanjangan tangan (antek) mereka untuk memerangi orang-orang Islam yang dianggap mengancam kepentingan mereka, dengan dalih Perang Melawan Terorisme dan sebagainya.

Kedua, melakukan pemetaan untuk kemudian menerapkan politik membelah bambu: yang satu diinjak, satunya lagi diangkat. Musuh mereka, yaitu Radikalisme dan Fundamentalisme mereka injak, sementara Liberalisme, Inklusifisme atau Moderat mereka angkat dan dipromosikan.

Selain itu, upaya deradikalisasi ideologi radikal mereka lakukan dengan cara: (1) Pemberdayaan tokoh-tokoh moderat agama untuk menyebarluaskan ajaran moderat; (2) Interfaith dialogue (dialog antariman); (3) Menyebarluaskan buku-buku ajaran agama moderat; (4) Kurikulum lembaga-lembaga pendidikan keagamaan yang moderat; (5) Program rehabilitasi para teroris pada masa penahanan, menjalani hukuman di LP dan setelah menjalani hukuman; (6) Kemitraan dengan lembaga-lembaga cultural /budaya untuk mensosialisasi bahaya terorisme serta menetralisasi radikalisme dan budaya kekerasan (Disarikan dari bahan Lokakarya Sespim 27/10/09: Kebijakan Penanggulangan Terorisme di Indonesia, oleh Ketua Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme (DKPT) Irjen (Purn) Pol. Drs. AnsyaadMbai).

Memahami Alur Politik

Umat Islam makin “melek politik”. Mereka telah menangkap pesan di balik eksploitasi media massa (cetak dan elektronik) dalam isu terorisme. Islam dan umatnya dibidik, ditempatkan pada posisi tertuduh, difitnah tanpa proses dialog yang transparan dan obyektif. Isu terorisme menjadi pintu masuk untuk membangun alur cerita dengan dukungan media massa yang kesimpulannya adalah : kaum Muslim pengusung penegakkan syariah Islam dicap sebagai kelompok radikal dan menjadi akar dari berbagai tindakan ekstrem dan terorisme.

Ini merupakan upaya menghakimi umat Islam secara sepihak dan berpotensi memecah-belah umat dan negeri ini. Lagipula umat bisa melihat adanya gap (jarak) antara motif (menegakkan syariah Islam) dengan aksi yang tidak nyambung itu (aksi-aksi teror).

Sesungguhnya menegakkan syariah Islam atau membangun Khilafah tidaklah mungkin bisa diupayakan lewat cara-cara teror seperti pengeboman atau aksi kekerasan lainnya. Kita berpijak dan meneladani dakwah Rasulullah Saw bahwa ketika mendirikan Daulah Madinah tidak ada satu pun dalil (nash) al-Quran maupun as-Sunnah yang mengajarkan tindakan kekerasan untuk menegakkan syariah Islam dan Daulah Islam.

Upaya penanganan terorisme memperkuat legal frame yang berpotensi melahirkan ironi demokrasi, menjunjung freedom of speech dan HAM. Dari sana mungkin lahir undang-undang yang sangat represif berkedok UU Keamanan Negara, UU Intelijen, amandemen UU Tindak Pidana Terorisme atau yang lain, yang memayungi semua tindakan kekerasan atas nama kepentingan nasional terhadap setiap sasaran yang dianggap mengancam kepentingan penguasa.

Pengamat politik telah mengkhawatirkan keadaan ini. Penguasa memiliki kekuasaan legal di DPR maupun di Kabinet. Bisa jadi ada warga negara Indonesia diadili dan dihukum hanya karena pemikirannya, meski yang bersangkutan tidak pernah melakukan aksi kekerasan. Dengan kata lain, secara sengaja ada upaya mengeneralisasi tindakan terorisme sama dengan pemikiran-pemikiran yang dianggap berseberangan dengan penguasa.

Pada bagian deradikalisasi, bisa saja Pemerintah melakukan tindakan sistemik dalam upaya penguatan arus Islam moderat. Upaya ini dimaksudkan untuk memoderatkan kaum Muslim atau—dalam bahasa yang lebih pas—menjaga sekularisme tumbuh dan hidup di negeri kaum Muslim, khususnya di Indonesia, dan sekaligus membabat Islam yang lurus. Upaya ini sekaligus dimaksudkan agar umat Islam menjadi toleran dan sangat pro ideologi Barat dan kepentingan penjajah. Padahal Sekularismelah biang segala kehancuran di negeri ini.

Penutup dan Harapan

Umat Islam saat ini berharap kepada kepemimpinan SBY agar tidak membebek kepada agenda terorisme yang diusung oleh Amerika Serikat. Kita percaya bahwa beliau bukanlah antek apalagi menjadi kacung negara Paman Sam. Sebab kita yakin bahwa beliau masih memiliki marwah keislaman di dadanya.

Sebuah harapan yang sangat sederhana dan bersahaja dari kami
.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar