Senin, 09 November 2009

Istriku Naik Pesawat Terbang

“Deg-deg betul perasaan saya mau bepergian dengan pesawat terbang”, begitu komentar Wang Nung kepadaku. Wang Nung adalah Emban di rumahku. Dia sudah kuanggap seperti bagian dari keluarga sendiri. Liburan Idul Fitri ini dia kuajak ke Prabumulih, ke tempat mertuaku. Kebetulan pula, akan dilangsungkan pernikahan adik iparku di sana.

Wang Nung memang seumur-umur tidak pernah pergi jauh, apalagi terbang dengan pesawat terbang. “Nanti kalau nenek sudah di atas sana, dadahin Dika, ya?” begitu permintaan cucunya Wang Nung, dan itu pula yang diceritakannya kepadaku. Aku tersenyum lebar mendengarnya.

Pengalaman naik pesawat terbang memang beragam dirasakan orang. Ada yang biasa saja pada diri seseorang. Tetapi tidak seperti yang dialami oleh Wang Nung, atau bahkan oleh istriku.

Begitulah yang dulu terjadi pada istriku. Selesai kunikahi, dia lantas kuboyong ke mertuaku di Prabumulih ini. Kuputuskan pergi ke sana dengan naik pesawat terbang. Kami berangkat dari Bogor dengan bis Damri ke Bandara Soekarno-Hatta Jakarta ke Palembang yang punya Bandara bernama Sultan Mahmud Badaruddin II.

Tetapi sungguh mati, aku tidak tahu bahwa dia tidak pernah naik pesawat terbang seumur hidupnya. Ketika kami duduk di ruang tunggu Bandara Soekarno-Hatta, tiba-tiba istriku nyeletuk dengan pertanyaan yang seumur hidupku tidak bakal kulupakan, dan itu jadi bahan olok-olok kami sekeluarga. Bahkan itu dijadikan guyonan bapak ibunya.

“Bagaimana kita naik ke atas pesawat itu?” tanyanya sepontan. Jelas betul pertanyaannya. Jelas pula pertanyaannya yang membuatku melongo dan tidak percaya. Seketika aku memperhatikan pesawat yang parkir. Memang kebetulan tidak kulihat satupun yang disandarkan tangga pesawat. Juga tidak kulihat adanya “belalai” sebagai wahana untuk masuk ke dalam badan pesawat.

“Kayaknya kita harus manjat”, kataku sekenanya sembari melihat raut wajahnya. Duh, perempuan yang kunikahi ini betul-betul masih terlalu polos sampai-sampai tidak tahu bagaimana naik pesawat.

Wajahnya berkerut seraya berpaling ke arah wajahku. Berhubung aku tersenyum lebar, segera kerutan wajahnya berubah bersemu merah. Dia malu. Kulit perutku jadi sasaran cubitannya. Sakit memang, tetapi aku tertawa terpingkal-pingkal.

Pemahaman

Dalam pertarungan ideologi, dunia memiliki 3 (tiga) mafhum ideologi besar: komunisme, Kapitalisme dan Islam. Secara umum, Komunisme kesalahannya hanya karena mereka mengingkari adanya Tuhan, walaupun dalam kondisi kepepet mereka mengakui adanya Tuhan. Sementara Kapitalisme bertumpu kepada kebendaan. Sementara Tuhan menjadi elemen yang kesekian. Tuhan itu boleh ada boleh juga tidak perlu ada.

Sebuah mafhum (pemahaman) mutlak membutuhkan indera, obyek pemahaman dan pengetahuan tentang obyek tersebut. Tanpa salah satunya, maka manusia seperti si buta yang mengira-ngira seperti apa bentuk seekor gajah. Berbagai interpretasi akan dimunculkan ketika ia meraba bagian tertentu dari gajah tersebut, tersebab ia tidak memiliki mata untuk melihat.

Begitu juga ketika istriku bertanya tentang bagaimana ia bisa masuk ke dalam badan pesawat, itu disebabkan ia tidak punya pengetahuan sebelumnya tentang wahana apa yang memungkinkan menghantarkan ia masuk ke badan pesawat.

Dalam agama-agama besar samawi, Islam-Nashrani-Yahudi, Tuhan diperkenalkan lewat pembawa wahyu, yaitu Nabi dan Rasul. Pengetahuan diberikan kepada para pengikutnya sehingga mereka mengenal siapa Tuhan mereka. Hanya saja dalam perjalanan waktu terjadilah penyimpangan pemahaman karena turut campurnya tangan manusia di dalam pengetahuan bagi pemahaman para pengikutnya.

Pembahasan tentang hal ini membutuhkan ruang dan waktu yang luas dan berkesinambungan. InsyaAllah bila ada luang waktu, perlu juga dipaparkan agar kita tidak menjadi manusia buta yang memeberikan interpretasi sesuai dengan keinginannya sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar