Kamis, 07 Januari 2010

Tipudaya Kaum Pluralisme




Pengantar

Isu dan kata pluralisme kembali mengemuka ketika Presiden SBY secara khusus memberikan gelar “Bapak Pluralisme” pada pidato sambutan dalam pemakaman Cak Dur. Padahal MUI telah menurunkan fatwanya No.7/MUNAS VII/MUI/11/2005, yang dengan jelas menyebutkan bahwa pluralisme adalah paham yang bertentangan dengan ajaran agama Islam, dan umat Islam haram mengikuti paham tersebut. Bagaimana sesungguhnya pluralisme itu dan bagaimana pandangan Islam terhadapnya? Di bawah ini akan dipaparkan tipudaya kaum Pluralisme itu.

Pluralisme didefinisikan sebagai paham yang mengakui adanya pemikiran beragam agama, kebudayaan, peradaban, dan lain-lain. Pluralisme juga diartikan sebagai paham yang menyatakan bahwa kekuasaan negara harus diserahkan kepada beberapa golongan (kelompok), dan tidak boleh dimonopoli hanya oleh satu golongan.

Merujuk pada definisi kedua ini, muncullah model masyarakat yang menjunjung tinggi hukum dan hak-hak individu sebagai masyarakat sipil (civil society). Civil society merupakan ide untuk menggambarkan suatu masyarakat yang terdiri dari lembaga-lembaga otonom yang mampu mengimbangi kekuasaan negara.

Apa yang Dilakukan Kaum Pluralis?

Ide pluralisme dan pluralisme agama punya tujuan untuk melenyapkan klaim kebenaran (truth claim) yang dianggap sebagai pemicu munculnya ekstrimitas, radikalisme agama, perang atas nama agama, konflik horizontal, serta penindasan antarumat beragama atas nama agama. Menurut kaum pluralis, konflik dan kekerasan dengan mengatasnamakan agama baru sirna jika masing-masing agama tidak lagi menganggap agamanya paling benar (lenyapnya truth claim). Cara menghapus truth claim adalah dengan 2 (dua) cara.

Pertama, berusaha menghapus identitas agama-agama, dan menyerukan terbentuknya agama universal yang mesti dianut seluruh umat manusia. Caranya adalah dengan menghapus truth claim tersebut. Upaya ini adalah untuk mencairkan identitas agama-agama, dan mendirikan apa yang disebut dengan agama universal (global religion).

Kedua, menggagas adanya kesatuan dalam hal-hal transendensi (unity of transcenden). Identitas agama-agama masih dipertahankan, namun semua agama harus dipandang memiliki aspek gnosis (tujuan) yang sama. Semua agama pada dasarnya menyembah Tuhan yang sama, meskipun cara penyembahannya berbeda-beda.

Gagasan kedua ini bertumpu pada ajaran Filsafat Perennial yang memandang semua agama menyembah Realitas Mutlak yang sama, tetapi cara penyembahan yang boleh jadi sama atau berbeda-beda.

Inilah gagasan ide pluralisme agama yang saat ini dipropagandakan di dunia Islam melalui berbagai cara dan media. Ada yang melalui dialog lintas agama, doa bersama, dan lain sebagainya. Pada ranah politik, ide pluralisme didukung oleh kebijakan pemerintah yang acuannya adalah Hak Azazi Manusia (HAM) dan aktifitas Demokrasi. Negara memberikan jaminan sepenuhnya kepada setiap warga Negara untuk beragama, pindah agama (murtad), bahkan mendirikan agama baru. Setiap orang wajib menjunjung tinggi prinsip kebebasan berfikir dan beragama, seperti yang dicetuskan oleh para penggagas paham pluralisme.

Argumentasi yang Dipakai Para Penggagas Pluralisme

Ide besar pluralisme ditujukan untuk meredam konflik akibat adanya keragaman agama, dan truth claim. Namun ide ini justru menambah masalah dan jumlah agama baru dengan truth claim yang baru pula. Karena itu, ide ini mendapat tantangan keras dari agama beserta pemeluknya, terutama Islam dan kaum Muslimin. Namun, pengusung gagasan pluralisme berusaha keras mencari pembenaran dalam teks-teks agama agar paham ini bisa diterima oleh kaum Muslimin. Di bawah ini dikemukakan alasan untuk membenarkan ide tersebut.

A. Surat al-Hujurat Ayat 13

Allah swt telah berfirman;

يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

“Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan, dan Kami menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian adalah orang yang paling bertaqwa di sisi Allah. “(al-Hujurat:13).

Menurut penganut faham ini, Isi ayat tersebut menunjukkan adanya pengakuan Islam terhadap ide pluralisme. Tetapi benarkan demikian?

Ayat di atas sama sekali tidak ada kaitan dengan ide pluralisme agama. Ayat ini menjelaskan keberagaman (pluralitas) suku dan bangsa, dan sama sekali tidak menunjukkan bahwa Islam mengakui ‘klaim kebenaran” (truth claim) dari agama-agama, isme-isme, dan peradaban-peradaban selain Islam.

Ayat ini tidak boleh dipahami, bahwa Islam mengakui semua agama yang ada di dunia ini menyembah Satu Tuhan, sama seperti Tuhan yang disembah oleh kaum Muslimin. Ayat ini juga tidak boleh diartikan, bahwa Islam telah memerintahkan umatnya untuk melepaskan diri dari identitas agama Islam, dan memeluk agama global (pluralisme). Ayat ini justru hanya menerangkan adanya pluralitas (keragaman) suku dan bangsa, serta identitas-identitas agama selain Islam; dan sama sekali tidak mengakui kebenaran ide pluralisme.

Dalam kitab Shafwaat al-Tafaasir, Ali al-Shabuniy menyatakan, “Pada dasarnya, umat manusia diciptakan Allah swt dengan asal-usul yang sama, yakni keturunan Nabi Adam As, agar tidak ada tendensinya manusia membangga-banggkan nenek moyang mereka. Allah SWT menjadikan mereka bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, agar mereka saling mengenal dan bersatu, bukan untuk bermusuhan dan berselisih.

Al Mujahid berkata, “Agar manusia mengetahui nasabnya; sehingga bisa dikatakan bahwa si fulan bin fulan dari kabilah anu’. Syekh Az Zadah berkata, “Hikmah dijadikannya kalian bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar satu dengan yang lain mengetahui nasabnya. Sehingga, mereka tidak menasabkan kepada yang lain….Akan tetapi semua itu tidak ada yang lebih agung dan mulia, kecuali keimanan dan ketaqwaannya. Sebagaimana sabda Rasulullah saw, “Siapa saja menempuhnya (meraih derajat taqwanya) ia akan menjadi manusia paling mulia, yakni karena taqwanya kepada Allah”.

Surat Hujurat ayat 13 hanya menunjukkan bahwa Islam mengakui adanya pluralitas (keragaman) suku, bangsa, agama, dan lain-lain. Adanya keragaman suku, bangsa, bahasa, dan agama merupakan perkara alami. Islam tidak pernah mengajarkan bahwa semua agama adalah sama benarnya. Juga tidak pernah mengajarkan bahwa semua agama menyembah Tuhan yang sama, meskipun cara penyembahannya berbeda-beda. Islam menolak klaim kebenaran yang dikemukakan oleh para penganut agama selain Islam, dan menyeru seluruh umat manusia untuk masuk ke dalam Islam, jika mereka ingin selamat dari siksa api neraka.

Perhatikan ayat-ayat berikut ini;

لِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا هُمْ نَاسِكُوهُ فَلَا يُنَازِعُنَّكَ فِي الْأَمْرِ وَادْعُ إِلَى رَبِّكَ إِنَّكَ لَعَلَى هُدًى مُسْتَقِيمٍ(٦٧)وَإِنْ جَادَلُوكَ فَقُلِ اللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا تَعْمَلُونَ(٦٨)اللَّهُ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِيمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ(٦٩)أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ إِنَّ ذَلِكَ فِي كِتَابٍ إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ(٧٠)وَيَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَمَا لَيْسَ لَهُمْ بِهِ عِلْمٌ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ نَصِيرٍ(٧١)

“Tiap umat mempunyai cara peribadatan sendiri, janganlah kiranya mereka membantahmu dalam hal ini. Ajaklah mereka ke jalan Rabbmu. Engkau berada di atas jalan yang benar.” Kalau mereka membantahmu juga, katakanlah, Allah tahu apa yang kalian kerjakan. Rabb akan memutuskan apa yang kami perselisihkan di hari akhir. Apa mereka tidak tahu bahwa Allah mengetahui apa yang ada di langit dan bumi. Semua itu ada di dalam pengetahuanNya , semua itu mudah bagi Allah. Mereka menyembah selain Allah tanpa keterangan yang diturunkan Allah, tanpa dasar ilmu. Mereka adalah orang-orang dzalim yang tidak mempunyai pembela.” (al-Hajj:67-71).

Dengan tegas Islam mengakui adanya pluralitas (keragaman) agama. Namun, Islam tidak pernah mengakui kebenaran (truth claim) agama-agama selain Islam. Tidak itu saja, ayat ini menegaskan bahwa agama-agama selain Islam itu sesungguhnya menyembah kepada selain Allah swt.

Lalu bagaimana dengan pernyataan bahwa Islam mengakui ide pluralisme yang menyatakan bahwa semua agama adalah sama-sama benarnya, dan menyembah kepada Tuhan yang sama? Jawabannya mudah. All-Quran menegaskan bahwa agama yang diridloi di sisi Allah swt hanyalah agama Islam.

إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ

“Sesungguhnya agama yang diridloi di sisi Allah hanyalah Islam.” (Ali Imron:19).

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Siapa saja yang mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akherat termasuk orang-orang yang merugi.” (Ali Imron:85).

Allah SWT menolak klaim kebenaran semua agama selain Islam, baik Yahudi dan Nashrani, Zoroaster, dan lain sebagainya.

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ وَلَوْ يَرَى الَّذِينَ ظَلَمُوا إِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَ أَنَّ الْقُوَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا وَأَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعَذَابِ

“Dan di antara manusia ada yang mendewa-dewakan selain Allah, dan mencintainya sepertri mencintai Rabb. Namun bagi orang yang beriman, mereka lebih mencintai Allah. Kalau orang lalim itu tahu waktu melihat adzab Allah niscaya mereka sadar. Sesungguhnya semua kekuatan itu milik Allah, dan Allah amat pedih siksaNya.”(al-Baqarah:165).

وَقَالَتِ الْيَهُودُ عُزَيْرٌ ابْنُ اللَّهِ وَقَالَتِ النَّصَارَى الْمَسِيحُ ابْنُ اللَّهِ ذَلِكَ قَوْلُهُمْ بِأَفْوَاهِهِمْ يُضَاهِئُونَ قَوْلَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ قَبْلُ قَاتَلَهُمُ اللَّهُ أَنَّى يُؤْفَكُونَ

“Orang-orang Yahudi berkata: “Uzair itu putera Allah” dan orang Nasrani berkata: “Al Masih itu putera Allah”. Demikian ucapan mereka melalui mulut mereka. Mereka telah meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dila`nati Allah-lah mereka; bagaimana mereka sampai berpaling?” (al-Taubah:30)

اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ

“Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (al-Taubah:31)

وَقَالَتِ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى نَحْنُ أَبْنَاءُ اللَّهِ وَأَحِبَّاؤُهُ قُلْ فَلِمَ يُعَذِّبُكُمْ بِذُنُوبِكُمْ بَلْ أَنْتُمْ بَشَرٌ مِمَّنْ خَلَقَ يَغْفِرُ لِمَنْ يَشَاءُ وَيُعَذِّبُ مَنْ يَشَاءُ وَلِلَّهِ مُلْكُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا وَإِلَيْهِ الْمَصِيرُ

“Orang-orang Yahudi dan Nasrani mengatakan: “Kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya”. Katakanlah: “Maka mengapa Allah menyiksa kamu karena dosa-dosamu?” (Kamu bukanlah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya), tetapi kamu adalah manusia (biasa) di antara orang-orang yang diciptakan-Nya. Dia mengampuni bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi serta apa yang ada antara keduanya. Dan kepada Allah-lah kembali (segala sesuatunya).” (al-Maidah:18)

لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ

“Sungguh telah kafir mereka yang mengatakan, “Tuhan itu ialah Isa al-Masih putera Maryam.”(al-Maidah:72)

Sungguh sangat jelas (qath’iy), bahwa Islam menolak truth claim semua agama selain Islam. Selain itu, konsepsi Ketuhanan Islam berbeda dengan agama lain. Agama Yahudi dan Nashrani sebelum disimpangkan oleh penganutnya, dahulunya masih memiliki konsepsi ketuhanan yang sama dengan agama Islam, yakni tauhid. Kemudian karena keculasan para penganutnya, akhirnya dua agama tersebut menyimpang jauh dari konsepsi tauhid.

Islam tidak sama dengan agama yang lain yang ada pada saat ini, baik dari sisi cara penyembahan (bentuk empirik), maupun konsepsi ketuhanannya (aspek gnosis). Fakta nash (dalil) telah menunjukkan kesimpulan ini dengan sangat jelas. Oleh karena itu, menyamakan Islam dengan agama selain Islam jelas-jelas keliru dan menyesatkan, bahkan terkesan dipaksakan.

Jika ide pluralisme agama ini diakui Islam, berarti tidak akan ada orang yang masuk neraka dan kekal di dalamnya. Padahal jelas-jelas Al-Quran menjelaskan dengan gamblang bahwa orang Yahudi, Nashrani, dan kaum Musyrik, tidak mungkin masuk ke surganya Allah. Mereka kekal di dalam neraka.

وَقَالُوا لَنْ يَدْخُلَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ كَانَ هُودًا أَوْ نَصَارَى تِلْكَ أَمَانِيُّهُمْ قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ

“Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata: “Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi atau Nasrani”. Demikian itu (hanya) angan-angan mereka yang kosong belaka. Katakanlah: “Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar”. (al-Baqarah:111)

Jadi Surat al-Hujurat ayat 13 bukanlah pembenar bagi ide pluralisme agama. Ayat tersebut hanya berbicara pada konteks pluralitas suku, bangsa, dan agama, dan sama sekali tidak berbicara pada konteks gagasan pluralisme, seperti yang diklaim para pengusung ide pluralisme. Bahkan, nash-nash al-Quran telah menyatakan pertentangan Islam dengan ide pluralisme. Islam sama sekali tidak mengakui kebenaran ide pluralisme, baik ide agama global maupun kesatuan transenden. Islam hanya mengakui adanya pluralitas agama dan keyakinan, serta mengakui adanya identitas agama-agama selain Islam. Islam tidak memaksa pemeluk agama lain untuk masuk Islam. Mereka dibiarkan memeluk keyakinan dan agama mereka. Hanya saja, pengakuan Islam terhadap pluralitas agama tidak boleh dipahami bahwa Islam juga mengakui kebenaran (truth claim) agama selain Islam.

Akan halnya pluralitas agama dan keyakinan, Islam memiliki sikap dan pandangan yang jelas; yakni mengakui identitas agama-agama selain Islam, membiarkan pemeluknya tetap dalam agama dan keyakinannya, tidak akan melenyapkan identitas agama-agama selain Islam, dan menentang gagasan adanya global religion. Pluralisme adalah paham sesat yang bertentangan dengan aqidah Islam. Siapapun yang mengakui kebenaran agama selain Islam, atau menyakini bahwa orang Yahudi dan Nashrani masuk ke surga, maka dia telah murtad dari Islam.

B. Tidak ada Paksaan Orang Masuk Islam (Al Baqarah 256)

لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لَا انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (al-Baqarah:256)

Surat al-Baqarah ayat 256 ini sering dieksploitasi untuk membenarkan ide pluralisme. Mereka menyatakan bahwa Islam tidak memaksa pemeluk agama lain untuk masuk ke dalam Islam, bahkan mereka dibiarkan tetap dalam agama mereka. “Ini menunjukkan”, kata mereka, “bahwa Islam mengakui kebenaran agama selain Islam (pluralisme), tidak hanya sekedar mengakui pluralitas (keragaman) agama”.

Sesungguhnya ayat ini tidak bisa digunakan sebagai dalil untuk membenarkan ide pluralisme. Konteks ayat ini adalah: “tidak ada pemaksaan bagi penganut agama lain untuk masuk Islam”. Sebab, telah tampak kebenaran Islam melalui hujjah dan dalil yang nyata. Oleh karena itu, Islam tidak akan memaksa penganut agama lain untuk masuk Islam.

Ayat ini sama sekali tidak menunjukkan bahwa Islam membenarkan keyakinan dan ajaran agama selain Islam. Bahkan, ayat ini menunjukkan dengan sangat jelas, bahwa kebenaran itu ada di dalam agama Islam, sedangkan agama yang lain jelas-jelas bathilnya. Hanya kaum Muslim tidak dibolehkan memaksa penganut agama lain untuk masuk Islam.

Imam Qurthubiy di dalam Tafsir Qurthubiy menyatakan, bahwa yang dimaksud dengan al-diin pada ayat di atas (al-Baqarah:256) adalah al-mu’taqid wa al-millah (keyakinan dan agama). Sedangkan kandungan isi ayat ini, seperti yang dituturkan oleh Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir Ibnu Katsir, adalah; sesungguhnya seorang Muslim tidak boleh memaksa orang kafir untuk masuk Islam. Sebab, kebenaran Islam telah terbukti berdasarkan hujjah yang terang dan gamblang; sehingga, tidak perlu lagi memaksa para penganut agama lain untuk masuk ke dalam Islam.

Ayat ini tidak berhubungan sama sekali dengan ide pluralisme. Bahkan ayat ini menyatakan dengan jelas, bahwa Islam adalah agama yang paling benar, sekaligus menolak truth claim agama-agama selain Islam. Tidak ada pemaksaan atas penganut agama lain untuk masuk Islam, menunjukkan bahwa Islam mengakui identitas agama mereka. Tetapi, Islam tidak mengakui truth claim agama mereka. Bahkan, kaum Muslimin diperintahkan untuk mengajak orang-orang kafir masuk Islam dengan hujjah dan hikmah.

لِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا هُمْ نَاسِكُوهُ فَلَا يُنَازِعُنَّكَ فِي الْأَمْرِ وَادْعُ إِلَى رَبِّكَ إِنَّكَ لَعَلَى هُدًى مُسْتَقِيمٍ

“Tiap umat mempunyai cara peribadatan sendiri, janganlah kiranya mereka membantahmu dalam hal ini. Ajaklah mereka ke jalan Rabbmu. Engkau berada di atas jalan yang benar.” (al-Hajj:67)

C. Surat al-Maidah 69 dan Surat al-Baqarah 62

Dua ayat ini juga sering dijadikan dalil untuk membenarkan paham pluralisme. Mereka menyatakan, bahwa dua ayat ini menyatakan dengan sangat jelas, bahwa Islam mengakui kebenaran agama-agama selain Islam, bahkan mereka juga memiliki kans yang sama untuk masuk ke dalam surganya Allah SWT. Perhatikan dengan seksama dua ayat tersebut beserta penjelasannnya.

إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالصَّابِئُونَ وَالنَّصَارَى مَنْ ءَامَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

“Sesungguhnya orang-orang Mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”(al-Maidah:69)

إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِينَ مَنْ ءَامَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

“Sesungguhnya orang-orang mu’min, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja (di antara mereka) yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (al-Baqarah:62).

Fahamilah bahwa ayat ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan penganut agama lain yang ada pada saat ini. Topik perbincangan ayat tersebut adalah membicarakan tentang umat-umat terdahulu sebelum diutusnya Nabi Mohammad saw. Yaitu, umat yang ajaran-ajarannya belum di”jarah” oleh tangan-tangan manusia.

Umat-umat terdahulu, baik Yahudi, Nashrani, Shabi’un, yang taat kepada ajaran agama dan Rasulnya, maka mereka akan mendapatkan pahala di sisi Allah SWT. Ayat di atas tidak menunjukkan pengertian, bahwa Islam mengakui truth claim agama-agama lain yang ada pada saat ini, baik Yahudi, Nashrani, Zoroaster, dan sebagainya.

Dua ayat di atas tidak menunjukkan pengertian, bahwa pemeluk agama lain yang ada pada saat ini juga memiliki kans yang sama untuk masuk ke dalam surganya Allah SWT, seperti halnya pemeluk agama Islam. Sebab, nash-nash al-Quran dan Sunnah dengan jelas menyatakan, bahwa setelah diutusnya Mohammad saw, seluruh manusia diperintahkan untuk meninggalkan agama mereka. Bahkan, Islam telah menjelaskan kesesatan dan kekafiran semua agama yang ada pada saat ini; baik agama Yahudi, Nashrani, maupun agama kaum Musyrik (Budha, Hindu, Konghucu, dan lain-lain).

Mari kita simak tafsir dua ayat tersebut menurut penuturan ahli tafsir. Menurut al-Sudiy, ayat ini (al-Baqarah: 62) turun berkenaan tentang para shahabat Salman al-Farisi, yaitu dari kalangan para pendeta. Beliau menceritakan kepada Nabi Saw tentang kebaikan-kebaikan mereka. “Mereka mengerjakan sholat, berpuasa, dan beriman kepada kenabian Anda, dan bersaksi bahwa Anda akan diutus oleh Allah SWT sebagai seorang Nabi”.

Selesai Salman memuji para shahabatnya, Nabi saw bersabda, “Ya Salman, mereka termasuk ke dalam penduduk neraka”. Lalu Allah SWT menurunkan ayat ini. Lalu hal ini menjadi acuan dan tolok ukur keimanan orang-orang Yahudi: “Siapa saja yang berpegang teguh terhadap Taurat serta perilaku Musa As hingga datangnya Isa As (maka ia selamat). Ketika Isa As diangkat menjadi Nabi, maka mereka yang tetap berpegang teguh kepada Taurat dan mengambil perilaku Musa as, namun tidak memeluk agama Isa as, tidak mau mengikuti Isa as, maka ia akan binasa. Bagi orang Nashrani, mereka yang berpegang teguh kepada Injil dan syariatnya Isa as hingga datangnya Mohammad saw, maka ia adalah orang Mukmin yang amal perbuatannya diterima oleh Allah swt. Namun setelah Muhammad saw datang, siapa saja yang tidak mengikuti Nabi Mohammad saw, tetap beribadah seperti perilakunya Isa as dan Injil, maka ia akan mengalami kebinasaan.”

Imam Ibnu Katsir menyatakan, “Setelah ayat ini diturunkan, selanjutnya Allah SWT menurunkan surat, “Siapa saja yang mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akherat termasuk orang-orang yang merugi.”[Ali Imron:85].

Ibnu ‘Abbas menyatakan, “Ayat ini menjelaskan bahwa tidak ada satupun jalan (agama, kepercayaan, dll), ataupun perbuatan yang diterima di sisi Allah, kecuali jika jalan dan perbuatannya itu berjalan sesuai dengan syari’atnya Nabi Muhammad saw. Bagi umat terdahulu sebelum nabi Mohammad diutus, maka selama mereka mengikuti ajaran nabi-nabi pada zamanya dengan konsisten, maka mereka mendapatkan petunjuk dan memperoleh jalan keselamatan.” Inilah pengertian surat al-Baqarah:62; dan surat al-Maidah:59.

Menjadi jelas dan gamblang bagi kita bahwa dua ayat di atas ditujukan kepada umat-umat terdahulu sebelum diutusnya Nabi Muhammad Saw. Bahwa umat-umat terdahulu yang mengikuti agama nabinya dengan konsisten pada zaman itu; semisal umat Yahudi yang konsisten mengikuti kitab Taurat, menyakini dan menjalankan isinya, maka mereka akan mendapatkan pahala di sisi Allah swt. Namun setelah Nabi Muhammad Saw diutus di muka bumi ini, maka tidak ada satupun agama –selain Islam—yang mampu menyelamatkan pemeluknya dari kekafiran, kecuali jika mereka mau memeluk Islam. Dengan demikian, ayat itu sama sekali tidak menunjukkan bahwa ahlul kitab dan kaum musyrik –setelah diutusnya Muhammad saw—terkategori Muslim, dan berhak memperoleh pahala dari Allah swt. Pemelintiran makna yang dilakukan oleh kelompok pluralis terhadap ayat-ayat itu [al-Baqarah:62 dan al-Maidah:69], tentu saja bertolak belakang dengan sabda Rasulullah Saw.

“Demi Dzat yang jiwa Mohammad ada di tanganNya, tidaklah seseorang dari manusia yang mendengarkan aku, (yaitu) kaum Yahudi, dan Nashrani, kemudian mereka mati, sementara mereka tidak beriman dengan apa yang diturunkan kepadaku, maka mereka menjadi penghuni neraka.” [HR. Muslim dan Ahmad]

“Tidak ada nabi, di antara aku dan ia (yakni ‘Isa as). Sesungguhnya ia adalah tamu. Bila kalian melihatnya, maka kalian akan mengenalnya sebagai seorang laki-laki yang mendatangi sekelompok kaum yang berwarna merah dan putih, seakan kepalanya turun hujan, bila ia tidak menurunkan hujan, maka akan basah, Dan ia akan memerangi manusia atas Islam, menghancurkan salib, membunuhi babi, mengambil jizyah. Saat itu Allah menghancurkan seluruh agama kecuali Islam, sedangkan ‘Isa as membunuh Dajjal. Dan ia berada di muka bumi selama 40 tahun, kemudian wafat dan kaum muslimin mensholatkannya.” (HR. Abu Dawud)

Al-Quran telah memberikan predikat Ahli Kitab –Yahudi dan Nashrani—sebagai orang-orang musyrik. Allah swt berfirman: “Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (al-Taubah:31).

Perkataan mereka (Yahudi dan Nashrani): “Uzair adalah putera Allah” dan orang Nashrani berkata,” Al Masih putera Tuhan”, menjelaskan kepada kita, bahwa orang-orang Yahudi dan Nashrani terkategori kaum musyrik, bukan Muslim. Bagaimana mungkin bisa disimpulkan bahwa kaum Yahudi dan Nashrani yang ada sekarang ini terkategori sebagai Muslim dan berhak mendapatkan pahala dari Allah swt, sementara itu mereka telah kafir dan musyrik?

“Oleh karena itu, siapa yang mempersekutukan Allah, maka ia tidak diperkenankan oleh Allah masuk surga, dan tempat kembalinya adalah neraka.”(al-Maidah:72).

“Sungguh telah kafir mereka yang mengatakan bahwa Tuhan itu ketiga dari yang ke tiga, padahal Tuhan itu hanya satu. Jika mereka belum berhenti berkata demikian, tentulah mereka yang kafir itu, akan mendapat siksa yang sangat pedih.” (al-Maidah:73)

“Sesungguhnya agama yang diridloi di sisi Allah hanyalah Islam.”(Ali Imron:19)

“Barangsiapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akherat termasuk orang-orang yang merugi.” (Ali Imron:85).

Jadi sudah jelas bahwa surat al-Baqarah ayat 62 dan surat al-Maidah ayat 59 sama sekali tidak berhubungan dengan paham pluralisme.

D. Tentang Kalimatun Sawa’

Para pengusung ide pluralisme juga menggunakan ayat-ayat al-Quran yang berbicara tentang kalimatun sawa’.

قُلْ يَاأَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ

“Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).” (Ali Imron:64])

Ayat ini dijadikan dalih untuk membenarkan gagasan pluralisme. Bukankah agama Yahudi, Kristen, dan Islam merupakan agama langit yang memiliki prinsip-prinsip ketuhanan dan berasal dari Tuhan yang sama. Lebih jauh mereka juga menyatakan, bahwa umat Islam, Yahudi, dan Kristen berasal dari keturunan Ibrahim as; sehingga ketiga pemeluk agama besar itu memiliki akar kesejarahan dan nasab yang sama. Mereka menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan antara Islam, Yahudi, dan Nashrani dalam masalah ketuhanan, yaitu menyembah kepada Allah, dan sama-sama berpegang kepada Kalimat Sawa’. Islam pada dasarnya mengakui kebenaran konsep ketuhanan agama Yahudi dan Kristen sekarang ini. Dengan demikian, agama Yahudi, Kristen, dan Islam adalah sama-sama benarnya dan sama-sama punya kans masuk ke surganya Allah SWT. Demikianlah penafsiran kaum pluralis tersebut yang benar-benar menyimpang jauh dari makna sebenarnya.

Untuk mengetahui makna hakiki dari frase Kalimat Sawa’ itu, marilah kita merujuk kepada ulama tafsir yang lebih kredibel dan netral dari kepentingan Barat. Menurut Ibnu Katsir, frase “Kalimat” pada surat Ali Imron ayat 64 tersebut dipakai untuk menyatakan kalimat sempurna (Tauhid) dari “sawaa’ bainanaa wa bainakum” (yang sama, yang tidak ada perbedaan antara kami dengan kalian). Frase ini menjelaskan kata “kalimat” yang memiliki makna dan pengertian makna hakiki yang dituju oleh frase “kalimatun sawaa’ bainanaa wa bainakum” adalah kalimat tauhid, yaitu “allaa na’budu illaa Al-Allah” (hendaknya kita tidak menyembah selain Allah).

Inilah makna sesungguhnya dari kalimat sawa’, yaitu kalimat Tauhid; yang menyatakan bahwa tidak ada sesembahan (ilah) yang berhak untuk disembah kecuali Allah swt; bukan patung, rahib, api, dan sebagainya. Kalimat ini (kalimat tauhid) adalah kalimat yang dibawa dan diajarkan oleh seluruh Rasul yang diutus oleh Allah swt, termasuk di dalamnya Musa as dan Isa As.

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اُعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu”.” (al-Nahl:36)

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ

“Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku”. (al-Anbiyaa’:25)

Jadi surat Ali Imron ayat 64 sama sekali tidak menyerukan kesatuan agama, atau pembenaran Islam atas truth claim agama-agama selain Islam. Sebaliknya, justru berisikan ajakan kepada ahlul kitab (baik Yahudi dan Nashrani) untuk kembali mentauhidkan Allah SWT, sebagaimana yang telah diajarkan pertama kali oleh Musa as dan Isa as.

Zaman sekarang, kaum Yahudi dan Nashrani telah menyimpang jauh dari konsepsi Tauhid. Mereka menjadikan ahbar (pendeta-pendeta) dan ruhban (rahib-rahib) sebagai sesembahan selain Allah swt.

اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ

“Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (al-Taubah:31)

Para pengguna bahasa Arab memiliki pemahaman bahwa perilaku Ahbar dan Ruhban ditujukan kepada perbuatan kaum Yahudi dan Nashrani. Dua kata itu spesifik ditujukan kepada dua kaum tersebut.

Selain itu, ayat ini merupakan seruan kepada orang Yahudi dan Nashrani agar mereka kembali ke jalan Tauhid, setelah mereka menyimpang jauh; yaitu ketika orang Yahudi mengatakan bahwa Uzair itu anak Allah, dan tatkala orang Nashrani mengatakan bahwa Isa as adalah putera Tuhan. Surat Ali Imron di atas tidak lain tidak bukan adalah ajakan agar orang Yahudi dan Nashraniy meninggalkan kemusyrikannya dan kembali menyembah Allah SWT semata dan mengikuti ajaran Muhammad Saw.

Dengan demikian, ayat tersebut sama sekali tidak berbicara pada konteks kesatuan dan kesamaan agama seperti yang dinyatakan oleh kaum pluralis, tidak juga menunjukkan bahwa Islam mengakui gagasan pluralisme yang dijajakan di negeri kaum Muslimin. Sebaliknya, ayat ini merupakan ajakan dan seruan kepada ahlul kitab agar mereka kembali kepada jalan yang lurus, yakni agama Tauhid seperti yang telah diajarkan oleh Musa dan Isa as. WaLlâh a’lam bi al-shawâb (Syamsuddin Ramadhan).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar