Kamis, 28 Januari 2010

Demo (Muzhaharah) dan Masirah)

Pengantar

Tanggal 28 Januari 2010 negeri ini dilanda demontrasi besar-besaran di seluruh wilayah Indonesia. Kinerja 100 hari Kabinet yang berada di bawah kepemimpinan Susilo Bambang Yudoyono mulai dipertanyakan. Berbagai elemen masyarakat bergerak long march di jalanan, menuntut adanya perbaikan nasib, model ekonomi yang nonneoliberalis, perluasan lapangan kerja (tuntutan para buruh), harga-harga berbagai kebutuhan masyarakat yang terus membumbung naik, adalah beberapa hal yang diserukan agar diperbaiki dalam demo.

Kaum ibu ikut dalam aktifitas tersebut. Bagaimana hukumnya bagi kaum ibu melakukan masîrah (long march) di jalan raya atau tempat terbuka, kemudian di sana mereka melakukan orasi?

Memperjelas Makna

Arti Masîrah secara harfiah adalah “perjalanan”, baik dengan berjalan diam maupun dengan mengumandangkan yel-yel tertentu. Dalam kamus al-Mawrîd disebutkan bahwa masîrah berarti march, atau long march; juga disamakan dengan demonstration—meski yang terakhir ini lebih tepat disebut dengan muzhâharah.[1]

Secara etimologis, ada perbedaan antara masîrah dan muzhâharah. Bagi kaum sosialis, muzhâharah (demonstrasi) dilakukan dengan disertai boikot, pemogokan, kerusuhan, dan perusakan (teror). Targetnya adalah agar tujuan revolusi mereka berhasil.[2]

Masîrah adalah aksi berupa sarana (cara) menyampaikan pendapat dan tuntutan, atau bantahan terhadap opini atau kebijakan yang dijalankan oleh para penguasa. Sasarannya bukan hanya ditujukan kepada pemerintah, tetapi untuk semua kelompok yang memegang kekuasaan. Jadi masirah bisa ditujukan kepada legislatif, eksekutif, yudikatif, partai yang sedang berkuasa, ataupun kelompok yang menjadi sandaran kekuasaan (seperti polisi dan militer). Pendapat, tuntutan, atau bantahan disampaikan sebagai bentuk seruan (dakwah) atau koreksi (muhâsabah); tetapi tanpa disertai aksi yang justru bertentangan dengan misi dakwah dan muhâsabah itu sendiri. Jadi tidak ada aksi pemogokan, kerusuhan, apalagi teror.

Hukum asal masîrah adalah mubah, mengikuti status hukum uslûb. Masîrah sebagai salah satu uslûb digunakan untuk melaksanakan kewajiban, seperti menyampaikan seruan kepada para penguasa yang zalim atau mengoreksi kebijakannya. Sabda Nabi Saw:

«أَلاَ وَأَنَّ أَفْضَلَ الْجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ»

“Ketahuilah oleh kalian bahwa sesungguhnya jihad yang paling baik adalah menyerukan perkataan yang hak (kebenaran) kepada penguasa yang zalim” (HR al-Hakim).

Walapupun statusnya sebagai uslûb yang mubah, tetapi tetap saja tidak dapat berubah menjadi wajib, sekalipun uslûb tersebut bisa digunakan untuk menyempurnakan suatu kewajiban. Sebagai uslûb yang mubah, masîrah tidak boleh diwarnai dengan perkara-perkara yang diharamkan, seperti aksi pemogokan, kerusuhan, dan teror. Bahkan pernyataan-pernyataan yang disampaikan pada saat masîrah harus diperhatikan tiga ketentuan sebagi berikut:

1. Al-jur’ah bi al-haq (berani menyuarakan kebenaran)
2. Al-Hikmah fi al-Khithâb (bijak dalam menyampaikan seruan)
3. Husna al-Hadits (santun dalam tutur bahasa).

Mubah Bagi Wanita yang Ikut Masîrah


Pertama, mereka ikut long march, atau rombongan perjalanan bersama kaum laki-laki di tempat terbuka. Ini diperbolehkan, baik dengan atau tanpa mahram. Dalilnya adalah pada saat hijrah ke Habasyah, selain kaum laki-laki juga terdapat 16 kaum wanita yang ikut dalam rombongan tersebut.[3]

Kedua, aspek orasi, pidato atau penyampaian pendapat di tempat terbuka, hukumnya mubah. Suara wanita jelas bukan aurat. Para sahabat laki-laki biasa bertanya kepada ‘Aisyah bila mereka tidak memahami persoalan yang mereka hadapi, termasuk tentang kehidupan Rasulullah saw.

Dari sisi penyampaian pendapat atau protes, Ijma’ Sahabat telah menyatakan kemubahan sikap seorang wanita memprotes kebijakan penguasa, sebagaimana yang dilakukan oleh seorang wanita terhadap ‘Umar bin al-Khatthab selaku khalifah dalam kasus penetapan mahar. (Lihat penuturan Abu Hatim al-Basri, dalam Musnad sahihnya, dari Abu al-Ajfa’ as-Salami).

Tidak ada seorang sahabat pun yang mencegah tindakan wanita itu. Mereka mendiamkannya. Tindakan tersebut dilakukan di tempat terbuka, di hadapan orang banyak. Jika itu melanggar hukum, pastilah perempuan itu telah dicegah.[4]

Tindakan muhâsabah semacam ini dilakukan oleh para sahabat wanita. Itulah yang dilakukan Asma’ binti Abu Bakar ketika mengoreksi tindakan para penguasa Bani Umayah yang selalu menghina keluarga ‘Ali bin Abi Thalib di atas mimbar-mimbar masjid.[5]

Dalil-dalil di atas dengan jelas membuktikan, bahwa masîrah (long march) sebagai sebuah uslûb (cara) untuk berdakwah dan menyampaikan pandangan hukum syariat atau protes terhadap pelanggaran hukum syariat jelas mubah. Kemubahan ini berlaku bukan hanya untuk kaum pria, tetapi juga untuk para wanita. Wallâhu a‘lam. []

Catatan Kaki:

[1] Ba’albakki, Qamus al-Mawrid: Arabiyyah-Injeliziyyah, materi: Masirah.
[2] V.I. Lennin, Where to Begin, dalam V.I. Lenin, Collected Works, cet. IV, Foreign Languages Publishing House, Moscow, 1961, V/13-24.
[3] Ibn Hisyam, As-Sîrah an-Nabawiyyah, ed. Thaha ‘Abd ar-Ra’uf Sa’ad, Dar al-Jil, Beirut, cet. I, 1411, V/15.
[4] Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, ed. Ahmad ‘Abd al-’Alim al-Barduni, Dar as-Sya’b, Beirut, cet. II, 1372, V/99.
[5] Al-Ya’qubi, Târîkh al-Ya’qûbi, Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, Beirut, t.t.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar