Sabtu, 20 Februari 2010

Zakat itu Bukan Aktifitas Cuci Uang

Oleh Aya Hasna



Luar biasa Kyai kita ini. Hari itu ditolaknya zakat seorang pengusaha kontraktor yang sengaja mendatanginya. Padahal kondisi pesantren yang dikelola Pak Kyai di pelosok Bogor itu sungguh memprihatinkan. Kalaulah saja Pak Kyai mau menerima zakat si pengusaha, maka dua lokal kelas yang lebih mirip kandang ayam itu bisa ditembok.

Tetapi dengan halus Kyai kita itu menampik amplop tebal yang disorongkan pengusaha. Alasannya sederhana saja, Pak Kyai merasa tidak bisa membedakan apakah dana itu berasal dari bagian fee atau mark up proyek.

Benar, Rasulullah Saw telah berpesan, ‘’Bersihkanlah hartamu dengan zakat, dan obatilah sakit kalian dengan bersedekah, dan tolaklah olehmu bencana-bencana itu dengan do’a". (HR. Khatib dari Ibnu Mas’'ud). Tetapi, maksud membersihkan harta adalah menyisihkan sebagian darinya yang bukan menjadi hak si empunya melainkan milik kaum dhuafa (mustahik). Dengan zakat dan sedekah itu, orang Islam diajak untuk membersihkan diri dari dominasi sifat-sifat kebinatangan yang inheren dalam diri setiap insan, semisal bakhil (QS.4:37).

Bakhil, kikir, pelit, medit, koret, kucrit, menjauhkan insan dari surga dan mendekatkannya ke neraka. Hatta, sifat ini dimiliki seorang pakar ibadah sekalipun. Rasulullah SAW berwasiat: “Orang pemurah dekat dengan Allah, manusia, dan dengan surga, serta jauh dari neraka. Orang bakhil jauh dari Allah, manusia, dan jauh dari surga serta dekat dengan neraka. Orang jahil (bodoh) tapi pemurah, lebih dicintai Allah daripada ahli ibadah yang bakhil” (HR Turmudzi). Jadi, membersihkan harta sama sekali berbeda dengan praktek money laundering.

Abu Hurairah ra meriwayatkan, bahwa Rasulullah Saw telah berwasiat, ‘’Sesuatu yang dishadaqahkan seseorang dari yang baik-baik -- dan Allah tidak akan menerima shadaqah kecuali yang baik-- tiada lain shadaqah itu pasti diterima Ar Rahman dengan tangan kanan-Nya; dan jika shadaqah itu berupa sebiji korma, maka akan berkembang dalam tapak tangan Ar Rahman sehingga ia membesar melebihi gunung, sebagaimana seseorang di antara kalian memelihara mahar atau anak onta.” (HR. Ibnu Majah dan An-Nasai).

Dalam Kitab ‘’Shahih Bukhari’’ terdapat bab khusus yang menguraikan bahwa zakat hanyalah dari harta yang halal dan bersih. Selain baik dari segi kualitas zat, harta ZIS (zakat, infak, sedekah) dipersyaratkan pula baik (halal) dari segi perolehan atau sumber pemilikannya. Bagaimana mungkin ZIS berupa harta haram, sedangkan fungsinya justru untuk membersihkan kekayaan. Ibarat hendak mengepel lantai kotor, tentulah harus digunakan lap yang bersih.

Syekh Taqiyuddin An Nabhani dalam Kitab ‘’Nizhamul Iqtishody fil Islam’’ menjelaskan bahwa syariat Islam telah menetapkan sumber pemilikan harta individu yang sah, yaitu hasil bekerja, warisan, hak hidup (hak individu yang tidak mampu mendapatkan harta untuk memenuhi kebutuhan pokoknya), pemberian negara kepada rakyat, dan perolehan secara cuma-cuma seperti hibah, hadiah, wasiat, diyat, mahar (bagi wanita), serta harta temuan (rikaz).

Kehalalan sumber zakat, mendahului keutamaan kuantitasnya. Ketika Nabi Muhammad Saw menyerukan penghimpunan dana dan logistik untuk mengirim ekspedisi jihad, para sahabat berbondong-bondong datang menyerahkan sebagian hartanya. Di antaranya Abdurrahman bin Auf, yang berkata, ‘’Aku mempunyai uang 4000 dirham. Yang 2000 untuk nafkah keluargaku, 2000 lagi untuk kuinfakkan.’’

‘’Semoga Allah menerima yang engkau infakkan, dan memberkahi yang engkau sisakan untuk keluargamu,’’ sambut Nabi. Lalu datang seorang Anshar membawa dua gantang kurma. ‘’Wahai Rasulallah,’’ katanya sembari menghapus keringat di wajahnya, ‘’aku baru saja mendapat upah dua gantang kurma. Ini yang segantang aku infakkan, sisanya kuberikan untuk keluargaku.’’

Menyaksikan kesederhanaan pemberian orang Anshar itu, orang-orang munafik tertawa terbahak-bahak. ‘’Ho, ho, ho, ini ada orang mau melawan pedang dan tombak dengan segantang kurma,’’ ledek mereka. Nabi murka pada kelakuan munafikin. Bersamaan dengan itu turunlah ayat 79 Surat At Taubah yang mencela perbuatan kaum itu dan memuji pengorbanan sahabat Nabi betapapun sederhananya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar