Selasa, 24 Maret 2009

GOLPUT? JANGAN, DONG........!

Pengantar

Golput jadi menarik setelah MUI mengharamkannya. Ada kekhawatiran terhadap orang-orang yang tendensius menentang fatwa ini. Dilain fihak, ada yang beruntung bila umat Islam yang mayoritas di negeri ini ikut-ikutan golput. Sebenarnya bagaimana kita seharusnya menyikapi golput? Di bawah ini akan dipaparkan hal-hal yang perlu difikirkan untuk diwaspadai dan diantisipasi mengenai fenomena golput.

Ilustrasi Golput

Golput terjadi pada pemilu (legistatif dan presiden /wakilnya) dan pilkada. Sesungguhnya para golput ini adalah orang-orang yang tidak puas dengan situasi dan kondisi yang ada, serta terhadap orang-orang dan partai yang akan dipilih. Sebagian golput lainnya adalah orang-orang yang ikut-ikutan dan orang-orang yang terprovokasi oleh fihak-fihak tertentu agar berlaku golput.

Sekarang mari kita kalkulasi sembari berandai-andai. Richard (40 th), adalah calon pertama yang bertarung dalam pemilu, ber-KTP Islam, suka judi, mabuk dan main perempuan. Calon ini didukung oleh gabungan Islam KTP dan orang nonislam, katakanlah berkekuatan 1000 orang. Badu (45 th), calon kedua, orang Islam yang terkadang lalai berislam tapi berakhlak baik, anti judi dan miras serta tidak menyukai apa saja yang berbau maksiat. Calon ini didukung oleh 750 orang. Kemudian kelompok terakhir adalah Golput yang sebenarnya punya hak pilih, Islam idealis dan menghendaki segala sesuatu berdasarkan aturan Islam. Jumlah kelompok ini adalah 500 orang. Mereka tidak memilih.

Pemilu berlangsung. Segala trik dilakukan. Segala tipudaya dijalankan. Pemilu selesai, Ricahrd menang. Pesta kemenangan berlangsung. Jaipongan semalam suntuk. Penonton bebas mabuk dan memakai narkoba. Waktu berjalan, diskotik, rumah bordir, warung remang-remang ada dimana-mana. Tempat judi dan mabuk ada disetiap sudut kampung. Gerakan penyesatan dan pemurtadan menemukan lahannya. Akidah masyarakat merosot, moral jatuh pada titik terendah, masjid dan surau sepi dan kampung menjadi tidak aman. So, siapa yang paling bertanggung jawab?

Para Golput adalah orang paling bertanggung jawab. Mereka dapat mencegah Richard tidak terpilih dalam pemilu itu. Mereka tidak berfikir logis, mengabaikan hati nuraninya dengan jujur, tidak dapat obyektif, terpengaruh oleh provokasi yang menganjurkan golput. Tentu, mereka telah mengabaikan kewajibannya dalam pemilu dan bukan hanya sekedar hak saja.

Memilih Pemimpin Islam, Antara Hak dan Kewajiban

Pemerintah telah menyatakan dalam perundang-undangan bahwa setiap warga negara punya hak untuk memilih dan dipilih. Tetapi bagi bagi orang Islam, pemilu adalah wajib secara syariah. Dalam ilustrasi di atas, betapa pemilu untuk memilih pemimpin menjadi penting bagi kita. Kita bisa memilih pemimpin dengan kriteria yang memang terpampang di lapangan. Pertama, pilih yang terbaik dari calon(-calon) yang paling baik. Kedua, pilih yang baik dari yang baik dan buruk. Ketiga, pilih yang mendingan di antara yang buruk.

Orang mendudukkan kasus golput di lapangan dengan beberapa keadaan. Pertama, pengikut golput karena menolak sistem yang dipakai oleh negeri ini (dalam hal ini adalah sistem demokrasi). Kedua, golput muncul karena adanya barisan sakit hati. Kelompok ini muncul karena sakit hati oleh partainya atau pemerintah yang berkuasa sekarang. Ketiga, kelompok golput yang ikut(-ikutan) terprovokasi oleh kelompok tertentu. Tujuan adalah untuk mengurangi jumlah pemilih dari kelompok agama tertentu. Atau, ikut merasa gagah karena telah menjadi golput.

Sejak berakhirnya sistem diktator di negeri ini, orang Islam Indonesia dihadapkan kepada tiga pilihan. Pertama, memilih sistem Islam. Ini sudah dilakukan dengan berbagai cara dan jalan serta akan berlanjut terus. Kedua, masih mau melanjutkan sistem diktator. Belakangan suara-suara keinginan ini mulai marak terdengar. Mereka beranggapan bahwa kualitas kehidupan jauh lebih baik pada waktu zaman diktator ketimbang hidup zaman sekarang. Ketiga, sekarang harus hidup pada zaman demokrasi.

Dalam memilih pemimpin, orang Islam Indonesia harus cerdas berfikir dan bertindak. Kita menyadari bahwa kuantitas belum menjamin mewujudkan keinginan. Tetapi dengan kualitas seadanya, juga memayahkan perjalanan kita. Ada juga sebagian kita merindukan kehidupan yang lalu. Padahal, jelas bahwa sistem itu (diktator) adalah musuh kemanusiaan.

Saat ini kita berada di alam demokrasi dengan segala kekurangan dan keburukannya. Inilah alternatif yang sedang kita hadapi. Kepemimpinan di negeri ini harus berlanjut. Kita tidak ingin negeri ini dikuasai oleh gerombolan yang saling bunuh. Kita tidak juga ingin seperti Somalia, menjadi sarang bajak laut. Sistem yang sedang berlangsung, bolehlah kita sebut dalam kondisi darurat. Bila kita berada pada kondisi ini, tidaklah perlu mempersoalkan hal-hal yang tidak perlu dipersoalkan. Kondisi darurat bisa digunakan tanpa mempersoalkan bagaimana, kenapa, dan kok begini sich.

Ketika kita terpaksa memakai sistem demokrasi, jangan lagi mempersoalkan cara memilih pemimpin, jangan keheranan dengan cara memilih wakil rakyat. Kita faham betul bahwa menerima Islam harus kaffah. Tetapi mengamalkan Islam tidak harus 100%. Sesuaikanlah dengan kesanggupan. Bukan muslim seseorang bila menolak ibadah haji, meski rukun Islam lainnya dijalankannya. Namun seseorang Islamnya telah sempurna meski orang itu tidak pernah melaksanakan zakat dan haji (karena tidak mampu), sedangkan ia menerima seluruh rukan Islam. Kita boleh mengamalkan Islam seberapapun yang kita sanggup. Bahkan pada batas minimal sekalipun jika kesanggupannya hanya sebatas itu.

Dalam perjuangan mencapai sesuatu, katakanlah sistem Islam, maka perjuangkanlah sampai batas yang disanggupi. !00%, sangat bagus. 5%, bukan masalah. Jangan pernah berkata untuk apa 5%; kita mau yang 100%. Berfikir dan prinsip seperti itu tidak diajarkan Islam. Bila seluruhnya tidak bisa dicapai, maka tidak boleh ditinggalkan semuanya.

Tahun 1998 berlangsung pemilu di Jerman. Ketika itu Jerman dipimpin oleh Partai Kristen panatik. Partai dan capem semuanya nonmuslim. Ketika itu banyak beredar fatwa yang mengharamkan ikut pemilu. Seorang teman justru melawan fatwa itu dan menganjurkan umat Islam menggunakan hak pilih. Tahun itu, Sozial Demokratische Partei Deutschland (DSP), memenangkan pemilu. Partai ini toleran terhadap Islam dan pemerintahannya memberikan hak-hak kepada umat Islam. Sekolah di Jerman dibolehkan memiliki guru yang mengajarkan agama Islam, padahal sebelumnya para murid Islam terpaksa mengikuti agama Kristen. Mendirikan masjid lebih dipermudah. Saat itu umat Islam langsung merasakan manfaatnya.

Cerdaslah Berfikir dan Bertindak

Kita tentu faham bahwa umat Islam belum mampu memperjuangkan Islam yang 100%. Tetapi bila ada sarana yang kurang dari 100%, maka prosentase itu harus diperjuangkan. Bila umat Islam ramai-ramai dan terprovokasi menjadi golput, maka kita secara langsung ikut melestarikan kekuasaan partai yang selama ini telah merampas hak-hak umat Islam. Janganlah berprinsip harus Islam 100% atau tidak sama sekali. Pergunakanlah anugerah akal yang telah disematkan Allah SWT pada diri kita.

Perjuangan itu bisa kita pakai untuk mencegah capem (calon pemerintahan) yang fasiq, yang tidak peduli terhadap kerusakan akhlak dan akidah umat. Kita cegah kemenangannya meskipun harus memenangkan capem buruk tetapi tetapi tidak separah capem yang fasiq itu.

Muslim yang golput sejatinya telah menggembosi capem dan dalam waktu bersamaan telah melapangkan jalan bagi capem fasiq dan kafir. Dengan perilaku golput, mereka telah sukses menghantarkan capem fasiq dan kafir ke kursinya, dengan ikhlas, sukarela, tanpa imbalan apapun.

Ada cerita teman mualaf yang patut kita renungkan. Dia membeberkan strategi yang dilakukan oleh kelompok kafirnya yang sesungguhnya minoritas, namun dapat memenangkan capem. Pertama, mereka kompak memilih satu calon saja sehinga suara tidak pecah. Kedua, mendekati tokoh-tokoh Islam, membantunya ikut bursa pencalonan dengan tujuan suara orang Islam terpecah. Ketiga, aktif mendekati kaum minoritas lainnya atas dasar kesamaan nasib sebagai kaum minoritas. Keempat, mendekati kaum Islam abangan agar mau mendukung mereka. Kelima, membeli suara orang-orang Islam yang tidak punya prinsip (waktu itu sistem yang dipakai tidak seperti sekarang). Perjuangan itu membuahkan hasil. Merekan memenangkan capemnya. Lalu mereka tempatkan kader-kadernya pada posisi strategis.

Golput sangat menguntungkan orang lain untuk menguasai negeri mayoritas Muslim ini. Setelah capemnya terpilih, maka dengan leluasa mereka akan menghancurkan akhlak dan akidah umat bahkan melakukan pemurtadan. Boleh golput, tetapi dengan 2 (dua) keadaan. Pertama, semua capem baik sehingga mau golput atau tidak, bukan persoalan. Kedua, semua capem buruk sehingga siapapun yang terpilih akan menyusahkan dan menyengsarakan umat Islam. Tapi saya tidak ingin membuat fatwa bahwa golput itu haram atau halal. Berfikirlah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar