Senin, 09 Maret 2009

BILA KARTINI BERDAKWAH

Pengantar

Bagaimana jika Kartini tempo doeloe ikut berdakwah seperti yang dilakukan oleh Muslimah sekarang? Pertanyaan ini penting untuk melihat sejauhmanakah keterbatasan ruang gerak mereka. Kalau RA Kartini merupakan wanita pertama yang berani menggugat agar teks Al Quraan bahasa Arab diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa, maka peran apa yang bisa disumbangkan oleh Kartini masa kini? Wajibkah Kartini era kini mengemban dakwah seperti yang dilakukan oleh kaum bapak?


Wanita (tidak) Sama dengan Pria


Taklif (beban) hukum syara' dibebankan kepada laki-laki dan wanita. Apabila diserukan: "Hai orang-orang yang beriman", maka seruan itu bersifat umum untuk lelaki dan wanita. Tak perlu ada seruan khusus: "Hai kaum wanita yang beriman".


Walaupun banyak seruan yang bertebaran di dalam Al Quraan dan Sunnah Rasul yang berbentuk muzhakkar (khusus untuk pria), namun dalam kaidah bahasa Arab, seruan itu juga ditujukan kepada kaum ibu. Namun tidak sebaliknya.

Ada beberapa hukum dikhususkan bagi kaum bapak karena ada qarinah (indikasi) yang menerangkan bahwa hukum itu bukan untuk kaum ibu. Contohnya, lelaki adalah pemimpin bagi wanita; tidak sebaliknya. Lelaki memberikan mahar dan nafkah, serta di tangannya ada kewenangan akad talak. Tetapi 'iddah mati dan talak hanya berlaku bagi wanita saja. Aurat dan kesaksian wanita berbeda dengan laki-laki. Wanita terputus shalat dan shaumnya ketika haid, lelaki tidak. Juga, ada perbedaan dalam hal bagian dari hak waris antara laki-laki dengan wanita. Demikianlah keadaannya. Lalu, bagaimana peran Muslimah dalam mengemban dakwah Islam?


Memang Terbatas


Aktifitas berdakwah bagi Muslimah bukanlah perbuatan yang terpisah dan berdiri sendiri. Bahasan ini tidak cukup dengan cara mencari pembenaran dari sudut dakwah wanita saja. Tetapi ia harus dilihat dari semua kumpulan perbuatan yang berkaitan dengan kedudukan wanita, antara lain kedudukan perempuan di dalam keluarga, masyarakat dan negara, batas-batas hubungannya dengan kaum laki-laki, dan sebagainya. Dengan demikian, dakwah bagi kalangan wanita telah ada batas dan dibatasi oleh sejumlah hukum syara' yang khas dan wajib baginya.

Di bawah ini ada beberapa hal yang sama dilakukan bagi laki-laki dan wanita, yaitu: (1) beriman dan memperhatikan tentang halal-haram; (2) menuntut ilmu mengenai hukum syara yang menyangkut urusan dan perbuatan kaumnya; (3) beraktifitas dalam amar ma'ruf nahyi munkar, sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya; (4) mengoreksi tingkah laku penguasa; (5) mengajarkan hukum-hukum Islam dan memerangi berbagai bentuk pemikiran kufur dan sesat; (6) membentuk dan atau bergabung dalam kelompok dakwah untuk berusaha melanjutkan kehidupan Islam bagi umat Islam.


Itu ketentuan umum bagi dua jenis kelamin anak manusia Muslimin. Ini pulalah titik persamaan di antara keduanya.

Namun demikian, kita akan mendapatkan keadaan khusus bagi wanita, yang sekaligus sebagai pembatas gerak mereka, yaitu antara lain: (1) tidak boleh keluar rumah tanpa izin walinya (ayah, saudara lelaki, suami, paman, dan lainnya); (2) tidak boleh mendatangi "tempat-tempat khusus" (rumah, kantor, dan sebagainya) tanpa didampingi oleh nuhrimnya, bila di sana ada lelaki asing yang bukan muhrimnya (butir ini sudah langka diperhatikan); (3) wajib menaati walinya ketimbang pimpinan dakwah yang diikutinya, selama ketaatan itu bukan kemaksiatan.


Tiga butir pembatas gerak dakwah bagi kaum ibu itu tidak lain adalah manifestasi bentuk ketaatan kepada walinya. Bahkan, ketaatan itu tetap mengatasi di atas ketaatan seorang wanita terhadap khalifah /kepala negara, pemimpin jama'ah dakwah, pejabat, pimpinan partai /organisasi Islam).

Demikianlah yang ditunjukkan oleh nash-nash syara' bahwa wanita wajib taat kepada walinya (dalam hal ini ayah atau suami). Kita bisa menjumpai fenomena ini, misalnya:


"Ayah itu menduduki pertengahan pintu-pintu jannah. Karena itu, peliharalah pintu itu kalau kalian mau. Atau, tinggalkanlah ia (tetapi dengan segala akibatnya)".


Menurut Imam Al Baidlawi, Hadits tersebut menerangkan bahwa sebaik-baiknya titipan pelintas masuk jannah dan mencapai derajat yang tinggi bagi kaum wanita adalah mematuhi perintah seorang ayah dan berbuat baik kepadanya. Bahkan di dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Iman Ath Thabari, disebutkan bahwa taat atau maksiat kepada suami (hampir) sama kadarnya dengan taat atau maksiat kepada ayah. Adapun taat kepada suami, Rasulullah Saw menyebutkan:


"Tidak boleh seorang mukminah (wanita beriman) mengizinkan seorang (lelaki) masuk ke dalam rumah suaminya, sementara sang suami tidak menyukai (orang tersebut). Juga, tidak boleh seorang wanita keluar rumah kalau suaminya tidak suka".


Pembatas itu memang ringan-ringan berat. Ia ringan kalau kita yakini kebenarannya. Bisa jadi ia berat bila ia menimpa wanita yang tidak perduli kepada dirinya sendiri. Perlu diingat bahwa aktifitas terpenting dalam mengemban dakwah adalah keterikatan para pengembannya terhadap hukum-hukumNya.

Sesungguhnya keterikatan seperti itu, baik dari pihak kaum bapak maupun kaum ibu, adalah termasuk salah satu kegiatan dakwah untuk merealisasikan Islam. Apabila seorang wanita berpakaian secara syar'iyah, perilakunya islami di lingkungan masyarakat dan keluarganya, serta bangga dengan ide, hukum, adat /kebiasaan yang bernafaskan Islam pada saat menampilkan semua sifat dan ciri Islam di dalam dirinya, tetapi juga membenci adat kebiasaan Barat yang kini mendominasi berbagai aspek kehidupan umat Islam, maka sesungguhnya ia telah menjadi seorang da'iyah (pengemban dakwah), walaupun ia tidak pernah merencanakan demikian. Perilaku yang baik adalah langkah awal dalam berdakwah kepada Islam, khususnya bagi Kartini-kartini Muslimah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar